Thursday 26 March 2015

Tanda Tanya


Tanda  Tanya

oleh: M.e. Widjaya


Diam, 
Padam, 
Aku melongok berwajah muram

Sedih, kemudian tertawa
Tawa, kemudian menangis
Tangis tak lagi bersuara

Isap, isap, isap aku terbatuk
Tiup, tiup, tiup, aku harus tiup apa?

Kilat itu menyilaukan
Tapi petir bagiku adalah lantunan lagu.

Disini
Ya
Disinilah
Aku masih tengok kiri dan kanan

26, Maret, 2015

Hijrah Rasulullah ke Madinah

Di Susun Oleh :


BAB I
PENDAHULUAN

Allah telah merahmati Rasulullah. Beliau merupakan embusan samawi yang Allah hadirkan ke muka bumi dengan sifat-sifatnya yang indah dan mulia. Beliau telah menghadirkan dari tngannya satu agama yang memang cocok untuk menjadi agama terakhir karena beliau mampu mengatur dan member arahan cara hidup dunia dan akhirat.

Inti kehidupan Rasulullah adalah melaksanakan tugas kerasulannya berdasarkan petunjuk Al-Qur`an dan dijalankannya dengan ikhlas. Banyak rintangan dan gangguan yang harus dihadapi Rasulullah dalam menyebarkan agama Islam. Selama kurang lebih berdakwah selama 23 tahun, 10 tahun di Mekah dan 13 tahun di Madinah. Merupakan jangka waktu yang relatif cepat dalam pertumbuhan dan perkembangan Islam. Penataan perkembangan Islam yang luhur mampu merubah wajah sejarah dan mampu mengembangkannya dengan peradaban mulia disegala aspek kehidupan.
Rumasan masalah:

1.      ISLAM PRA HIJRAH KE MADINAH
2.      FASE HIJRAH KE MADINAH
3.      PELETAKAN ASAS-ASAS ISLAM

Tangkuban Parahu 2014

Tangkuban Parahu



video ini adalah memori persahabatan. mengingatkan kita yang pernah bersama dan harus selalu bersama. irama musik tradisional terdengar nyaring di telinga. panorama alam, indah, tanda sang penguasa. 

Thursday 5 March 2015

Abu Bakar Ash-Shiddiq

Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Reputasinya


Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah: Sejarah Paradaban Islam
Dosen Pengampu: Dr. Nashihun Amin, M. Ag.








Disusun oleh:
Estanu Wijaya (134211055)
Fakultas Ushuluddin
Jurusan Tafsir Hadits
UIN Walisongo Semarang
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah merupakan permulaan semua peristiwa sejarah dunia Islam. Karena waktu itulah awal kemenangan yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya dalam menghadapi mereka yang memerangi risalahnya. Kemudian mereka melakukan perbuatan makar hendak membunuhnya. Dalam hijrah itu, hanya Abu Bakar sendiri yang menemani hijrah Nabi. Di saat Nabi diserang sakitnya yang terakhir dan tidak kuat lagi untuk mengimami shalat, Abu Bakarlah yang ditunjuk Nabi sebagai penggantinya memimpin shalat.
Dipilihnya Abu Bakar menemani Nabi ketika hijrah dan mengimami menggantikannya salat, karena Abu Bakar Muslim pertama yang beriman kepada Allah dan kepada Rasulullah, dan demi imannya itu pula dialah yang paling banyak berkorban. Sejak masuk Islam besar sekali hasratnya hendak membantu Nabi dalam berdakwah demi agama Allah dan membela kaum Muslimin. la lebih mencintai Rasulullah daripada dirinya sendiri, mendampinginya selalu dalam setiap peristiwa. Selain itu, di samping iman yang begitu teguh akhlaknya pun sudah mendekati kesempurnaan, cintanya begitu besar kepada orang lain, paling dekat dan akrab kepada mereka.
Jika demikian halnya, tidak heran bila Muslimin kemudian mengangkatnya sebagai pengganti Rasulullah. Memang, tidak heranlah dengan sikapnya itu ia membela Islam dan menyebarkan agama Allah di muka bumi ini. Dialah yang telah memulai sejarah lahirnya kedaulata Islam, yang kemudian menyebar di timur dan di barat, ke India, Tiongkok, hingga sampai Indonesia di Asia, ke Maroko dan Andalusia di Afrika dan Eropa, dan yang kemudian mengarahkan kebudayaan umat manusia ke suatu tujuan, yang pengaruhnya di seluruh dunia masih terasa sampai sekarang.
Namun, dalam pengangkatannya sebagai khalifah, tentu tidak semulus yang dikira. Banyak pertentangan dimana-mana yang menandai awalnya perpecahan dalam tubuh Islam. Terjadi perselisihan pendapat mengenai siapa yang lebih berhak menggantikan Nabi sebagai pemimpin mereka. Karena memang Nabi tidak pernah berwasiat menunjuk siapa yang akan menggantikannya sebagai pemimpin Muslimin sepeninggalnya.
Abu Bakar, sahabat dekat Muhammad, orang yang paling banyak berhubungan dengan dia, di samping memang orang yang paling setia dan paling banyak mengikuti ajaran-ajarannya. Selain itu ia memang orang yang sangat ramah dan lembut hati, dan karena dia jugalah puluhan dan ratusan ribu Muslimin tersebar ke segenap penjuru, Juga, dengan segala kelembutannya itu dia terpilih menjadi Khalifah pertama.
Dialah yang telah memperkuat Islam kembali tatkala orang-orang Arab yang murtad mencoba mau menggoyahkan sendi-sendi Islam. Di samping juga dialah yang telah merintis penyebaran Islam ke luar dan merintis pula kedaulatannya.
B.     Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, pemakalah tertarik untuk mengulas beberapa masalah sebagai berikut:
1.      Biografi Abu Bakar Ash-Shiddiq
2.      Pengangkatannya Menjadi Khalifah Pertama
3.      Langkah-Langkah dan Torehan-torehan masa kekhalifahannya
4.      Wafatnya
C.    Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1.      Memenuhi tugas akhir semester mata kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI)
2.      Mengenal sosok Abu Bakar Ash-Shiddiq
3.      Mengetahui peran penting beliau dalam kemajuan Islam
4.      Mengambil pelajaran dari sosok dan perjalanan hidupnya, baik sebagai seorang muslim  maupun pemimpin



BAB II
PEMBAHASAN
A.    BIOGRAFI ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ

1.      Nasab, Nama, dan kabilah[1]nya
Menurut para penulis biografi bahwa, Nama Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terkenal itu merupakan kuniyah dari seorang yang bernama asli Abdullah bin Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al-Quraisy at- Taimiy. Nasabnya bertemu dengan Nabi Saw pada kakeknya Murrah bin Ka’ab.[2]
Disebutkan juga oleh penulis lain bahwa, nama aslinya adalah ‘Atiq, Namun menurut mayoritas ‘Ulama ‘Atiq adalah nama julukan bukan nama asli, Abu Bakar mendapat julukan tersebut karena dia dibebaskan dari api neraka, sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits.
Adapula yang mengatakan, bahwa Abdul Ka’bah adalah nama Abu Bakar sebelum masuk Islam, dinamai demikian karena dari pihak ibunya tak pernah ada anak laki-laki yang hidup. Lalu Ibunya bernadzar jika ia melahirkan anak laki-laki akan diberi nama Abdul Ka’bah dan akan disedekahkan kepada Ka’bah. Namun kemudian Nabi memanggilnya Abdullah setelah masuk Islam.
Dan ibunya adalah Ummu al-Khair Salma binti Shakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim.[3]
Ayahnya diberi kuniyah[4] Abu Quhafah. Imam Thabari menyebutkan dari jalur Ibnu Lahi’aah bahwa Abu Quhafah memiliki tiga orang anak, pertama Atiq (Abu Bakar), kedua Mu’taq, dan ketiga Utaiq[5].
Dari keterangan di atas berarti Abu Bakar adalah keturunan dari kabilah Quraisy Taimi. Bani Taim adalah satu dari dua belas cabang kabilah Quraisy. Namun bani itu bukanlah kelompok yang besar.[6] Namun, setiap kabilah yang tinggal di Mekah
Punya keistimewaan tersendiri, yakni ada tidaknya hubungannya dengan sesuatu jabatan di Ka’bah, sedang bani Taim memiliki jabatan sebagai penyusun masalah diat (tebusan darah) dan segala macam ganti rugi. Pada masa jahiliyah masalah tebusan darh ini ditangan Abu Bakr tatkala posisinya cukup kuat, dan dia juga yang memegang pimpinan kabilahnya. Dan ketika dia harus menanggung suatu tebusan dan meminta bantuan Quraisy, mereka akan percaya dan mau memberikan tebusan itu, yang tak akan dipenuhi sekiranya orang lain yang memintanya.[7] Karena memang sejak masa jahiliyah ia merupakan orang yang jujur dan dipercaya, oleh karena itu dia digelari Ash-Shiddiq.[8]
Mengenai gelar Abu Bakr yang dibawanya dalam hidup sehari-hari sumber-sumber itu tidak menyebutkan alasannya, meskipun penulis-penulis kemudian ada yang menyimpulkan bahwa dijuluki begitu karena ia orang paling dini (b. Arab “Bakr” = dini) dalam Islam dibanding dengan yang lain.[9]

2.      Masa Kecil dan Mudanya
Mengenai masa kecil Abu Bakar tidak ditemukan sumber yang bisa membantu banyak untuk mengenal pribadinya dalam situasi kehidupan saat itu. Cerita sekitar masa kanak-kank dan remajanya tidak juga memuaskan. Begitu juga cerita tentang kedua orangtuanya tidak lebih dari hanya sekedar menyebut namanya. Begitu Abu Bakar menjadi tokoh Muslim yang penting, baru ayahnya disebut-sebut. Yang menjadi perhatian sejarawan justru yang menyangkut kabilahnya serta kedudukannya di tengah masyarakat Quraisy. Dengan melihat pertaliannya kepada salah satu kabilah, sudah cukup untuk mengetahui watak dan akhlak mereka. Sebagaimana dikatakan Muhammad Husain Haekal, inilah yang membuat mereka tidak cermat dalam meneliti.[10]
Semasa kecil Abu Bakar hidup seperti umumnya anak-anak di Mekah. Lepas masa anak-anak ke masa remajanya ia bekerja sebagai pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat sukses. Dalam usia muda itu ia kawin dengan Qutailah binti Abul Uzza dari perkawinan ini lahir Abullah dan Asma’. Sesudah dengan Qutailah ia kawin dengan Ummu Rauman bin Amir bin Uwaimir, dari pernikahan ini lahir Abdur Rahman dan ‘Aisyah. Kemudian di Madinah Ia menikahi Habibah binti Kharijah bin Zaid bin bin Abi Zuhair dari Bani al-Haris bin al-Khazraj, selain itu dengan Asma’ binti Umais bin Ma’ad bin Taim al-Khats’amiyyah yang sebelumnya diperistri oleh Ja’far bin Abi Thalib. Dari hasil pernikahan ini lahirlah Muhammad bin Abu Bakar. Sementara itu usaha dagangnya berkembang dan dengan sendirinya ia memperoleh laba yang besar.[11]

3.      Karakteristik Fisik dan Perangainya
Mungkin saja, keberhasilannya dalam berdagang dikarenakan oleh pribadi dan wataknya. Abu Bakar adalah seorang yang bertubuh kurus, berkulit putih, dengan sepasang bahu yang kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas — begitulah dilukiskan oleh putrinya, Aisyah Ummulmukminin.  
Adapun perangainya begitu damai, sangat lemah lembut dan sikapnya tenang sekali. Tak mudah ia terdorong oleh hawa nafsu. Dibawa oleh sikapnya yang selalu tenang, pandangannya yang jernih serta pikiran yang tajam, banyak kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang tidak diikutinya.
Aisyah menyebutkan bahwa ia tak pernah minum minuman keras, di zaman jahiliah atau Islam, meskipun penduduk Mekah umumnya sudah begitu hanyut ke dalam khamar dan mabuk-mabukan. Ia seorang ahli genealogi — ahli silsilah — bicaranya sedap dan pandai bergaul. Seperti dilukiskan oleh Ibn Hisyam, penulis kitab Sirah:
"Abu Bakr adalah laki-laki yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai karena ia serba mudah. Ia dari keluarga Quraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui seluk-beluk kabilah itu, yang baik dan yang jahat. Ia seorang pedagang dengan perangai yang sudah cukup terkenal. Karena suatu masalah, pemuka-pemuka masyarakatnya sering datang menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak."[12]

4.      Keakrabannya dengan Nabi dan Keislamannya
Ia tinggal di Mekah, di kampung yang sama dengan Khadijah bint Khuwailid, tempat saudagar-saudagar terkemuka yang membawa perdagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim panas ke Syam[13] dan ke Yaman. Karena bertempat tinggal di kampung itu, itulah yang membuat hubungannya dengan Muhammad begitu akrab setelah Muhammad kawin dengan Khadijah dan kemudian tinggal serumah. Hanya dua tahun beberapa bulan saja Abu Bakr lebih muda dari Muhammad. Besar sekali kemungkinannya, usia yang tidak berjauhan itu, mempengaruhi persamaan bidang usaha serta ketenangan jiwa dan perangainya, di samping ketidaksenangannya pada kebiasaan-kebiasaan Quraisy — dalam kepercayaan dan adat — mungkin sekali itulah semua yang berpengaruh dalam persahabatan Muhammad dengan Abu Bakr. Beberapa sumber berbeda pendapat, sampai berapa jauh eratnya persahabatan itu sebelum Muhammad menjadi Rasul. Di antara mereka ada yang menyebutkan bahwa persahabatan itu sudah begitu akrab sejak sebelum kerasulan, dan bahwa keakraban itu pula yang membuat Abu Bakar cepat-cepat menerima Islam. 
Ada pula yang menyebutkan, bahwa akrabnya hubungan itu baru kemudian dan bahwa keakraban pertama itu tidak lebih hanya karena bertetangga dan adanya kecenderungan yang sama. Mereka yang mendukung pendapat ini barangkali karena kecenderungan Muhammad yang suka menyendiri dan selama bertahun-tahun sebelum kerasulannya menjauhi orang banyak. Setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul teringat ia pada Abu Bakar dan kecerdasan otaknya. Lalu diajaknya ia bicara dan diajaknya menganut ajaran tauhid. Tanpa ragu Abu Bakar pun menerima ajakan itu. Sejak itu terjadilah hubungan yang lebih akrab antara kedua orang itu. Kemudian keimanan Abu Bakar makin mendalam dan kepercayaannya kepada Muhammad dan risalahnya pun bertambah kuat. Seperti dikatakan oleh Aisyah: "Yang kuketahui kedua orangtuaku sudah memeluk agama ini, dan setiap kali lewat di depan rumah kami, Rasulullah selalu singgah ke tempat kami, pagi atau sore."[14]
Abu Bakar adalah lelaki yang pertama kali memeluk Islam, walaupun Khadijah lebih dahulu masuk Islam daripadanya, adapun dari golongan anak-anak, Ali yang pertama kali memeluk Islam, sementara Zaid bin Haritsah adalah yang pertama kali memeluk Islam dari golongan budak. Ternyata keislaman Abu Bakar ra. paling banyak membawa manfaat besar terhadap Islam dan kaum muslimin dibandingkan dengan keislaman selainnya, karena kedudukannya yang tinggi dan semangat serta kesungguhan-nya dalam berdakwah. Dengan keislamannya maka masuk mengikutinya tokoh-tokoh besar yang masyhur sepérti Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqas, Usman bin Affan, Zubair bin Awwam, dan Talhah bin Ubaidil-lah ra.
Di awal keislamannya beliau menginfakkan di jalan Allah apa yang dimilikinya sebanyak 40.000 dirham, beliau banyak memerdekakan budak-budak yang disiksa karena keislamannya di jalan Allah, seperti Bilal ra. Beliau selalu mengiringi Rasulullah saw. selama di Makkah, bahkan dialah yang mengiringi beliau ketika bersembunyi dalam gua dan dalam perjalanan hij-rah hingga sampai di kota Madinah. Di samping itu beliau mengikuti seluruh peperangan yang diikuti Rasulullah saw. baik perang Badar, Uhud, Khandaq, Penaklukan kota Makkah, Hunain maupun peperangan di Tabuk.[15]
Namun, adakalanya orang akan merasa heran betapa Abu Bakar. Tidak merasa ragu menerima Islam ketika pertama kali disampaikan Muhammad kepadanya itu. Dan karena menerimanya tanpa ragu itu kemudian Rasulullah berkata: "Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali Abu Bakr bin Abi Quhafah. la tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika kusampaikan kepadanya."
Sebenarnya tak perlu heran tatkala Muhammad menerangkan kepadanya tentang tauhid dan dia diajaknya lalu menerimanya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi bila Muhammad menceritakan kepadanya mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya, ia mempercayainya tanpa ragu. Malah keheranan kita bisa hilang, atau berkurang, bila kita ketahui bahwa Abu Bakr adalah salah seorang pemikir Makkah yang memandang penyembahan berhala itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka. Ia sudah mengenal benar Muhammad — kejujurannya,kelurusan hatinya serta kejernihan pikirannya. Semua itu tidak memberi peluang dalam hatinya untuk merasa ragu, apa yang telah diceritakan kepadanya, dilihatnya dan didengarnya. Apalagi karena apa yang diceritakan Rasulullah kepadanya itu dilihatnya memang sudah sesuai dengan pikiran yang sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi, ia sudah mempercayainya dan menerima semua itu.[16]

B.     PROSES PEMBAIATAN KHALIFAH ABU BAKAR

1.       Muslimin Terkejut karena kematian Rasulullah
Rasulullah telah berpulang ke sisi Tuhannya pada 12 Rabiulawal tahun 11 Hijri (3 Juni 632 M.). Subuh hari itu Rasulullah Sallallahn 'alaihi wasallam merasa sudah sembuh dari sakitnya. la keluar dari rumah Aisyah ke mesjid dan ia sempat berbicara dengan kaum Muslimin. Dipanggilnya Usamah bin Zaid dan diperintahkannya berangkat untuk menghadapi Rumawi. Setelah tersiar berita bahwa Rasulullah telah wafat tak lama setelah duduk-duduk dan berbicara dengan mereka, mereka sangat terkejut sekali.
Umar bin Khattab yang berada di tengah-tengah mereka berdiri dan berpidato, membantah berita itu. Ia mengatakan bahwa Rasulullah tidak meninggal, melainkan sedang pergi menghadap Tuhan seperti halnya dengan Musa bin Imran, yang menghilang dari masyarakatnya selama empat puluh malam, kemudian kembali lagi setelah tadinya dikatakan meninggal. Umar terus mengancam orang-orang yang mengatakan bahwa Rasulullah telah wafat. Dikatakannya bahwa Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam akan kembali kepada mereka dan akan memotong tangan dan kaki mereka.
Abu Bakr sudah pulang ke rumahnya di Sunh di pinggiran kota Medinah setelah Nabi 'alaihis-salam kembali dari mesjid ke rumah Aisyah. Sesudah tersiar berita kematian Nabi, orang menyusul Abu Bakr menyampaikan berita sedih itu. Abu Bakr segera kembali. la melihat Muslimin dan Umar yang sedang berpidato. la tidak berhenti tetapi terus menuju ke rumah Aisyah. Dilihatnya Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam di salah satu bagian dalam rumah itu, sudah diselubungi kain. la maju menyingkap kain itu dari wajah Nabi lalu menciumnya dan katanya: "Alangkah sedapnya sewaktu engkau hidup, dan alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat." la keluar lagi menemui orang banyak lalu berkata kepada mereka:
"Saudara-saudara! Barang siapa mau menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang siapa menyembah Allah, Allah hidup selalu, tak pernah mati."
Selanjutnya ia membacakan firman Allah:
"Muhammad hanyalah seorang Rasul; sebelumnya pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu akan berbalik belakang? Barang siapa berbalik belakang samasekali tak akan merugikan Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang bersyukur." (Qur'an, 3. 144).
Setelah didengarnya Abu Bakr membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak dapat menahan lagi, setelah dia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat. Orang semua terdiam setelah mendengar dan melihat kenyataan itu. Setelah sadar dari rasa kebingungan demikian, mereka tidak tahu apa yang hendak mereka perbuat.[17]
Baik Umar maupun kaum Muslimin yang ada di sekelilingnya dan yang merasa puas dengan apa yang dikatakannya bahwa Nabi sudah wafat, kecuali mereka yang tak dapat berpikir apa yang ada di balik itu, karena mereka dalam kebingungan setelah berita tersebut. Tetapi mereka yang sudah yakin akan kenyataan berita itu begitu pertama kali mereka mengetahui, tidak sampai kesedihan itu membuat mereka kehilangan akal.[18]

2.      Dilema Kepemimpinan
Kesedihan dan duka yang mendalam memunculkan kepanikan. Semua orang menduga-duga, siapakah kini yang layak memimpin mereka? Siapakah manusia terbaik yang layak mereka teladani; menusia utama yang mesti mereka taati peintahnya; hamba Allah yang paling mulia diantara mereka? Tak ada seorang pun yang tahu. Tak ada seorang pun yang merasa yakin, karena sang Nabi pergi tanpa meninggalkan pesan. Beliau meninggalkan umat tanpa mengabarkan wasiat tentang siapa yang layak menjadi Sang Pengganti.
      Saat itu pendapat umat terbagi ke dalam dua arus utama, pandangan kaum muhajirin dan Anshar. Masing-masing berpandangan, kelompok merekalah yang paling layak memimpin seluruh umat. Tak ada yang dapat memungkiri, kedua kelompok itu sama-sama memilki kemuliaan dan keistimewaan. Mereka adalah sahabat baik Rasulul Muhamm Saw.
      Kalangan Muhajirin adalah orang yang paling awal mengikuti Rasulullah Saw. mereka beriman ketika manusia lain lelap dalam kesesatan. Mereka tunduk dan patuh kepada Rasulullah saat semua orang tenggelam dalam pengingkaran. Mereka berjuang mendampingi Rasulullah menegakkan kebenaran. Mereka hijrah meninggalkan harta dan sanak keluarga demi tegaknya keagungan Islam.
      Dan tak layak seorang pun meremehkan peran kaum Ansar. Merekalah para penolong sejati. Mereka korbankan harta dan jiwa raga mereka demi kelangsungan dakwah Islam. Mereka tak pantang berbagi dengan para pendatang yang baru mereka kenal. Mereka berikan yang segala mereka miliki, harta, kebun, rumah bahkan istri untuk saudara yang baru mereka temui, tanpa rasa segan dan tanpa penyesalan. Sungguh berkat ketulusan dan perjuangan mereka, dakwah Islam menyebar ke saentero Jazirah[19].

3.      Pertentangan Klasik Muhajirin dan Ansar
Keadaan Medinah sudah stabil di tangan Rasulullah dan agama pun sudah merata ke seluruh daerah. Tetapi setelah Nabi tiada, ke tangan siapakah semua itu harus berpindah, sementara pengaruh Rasulullah sudah meluas ke kawasan Arab yang lain setelah mereka menganut Islam dan sesudah Ahli Kitab yang tetap pada agama masing-masing bersedia membayar jizyah? Masih akan berlanjutkah pengaruh Medinah itu? Kalau ya, siapakah dari penduduk kota itu yang akan memegang tanggung jawab?
Golongan Ansar penduduk Medinah pernah marah kepada kaum Muhajirin, karena pertama kali mereka datang sebagai tamu bersama Rasulullah, kaum Ansar jugalah yang memberi tempat perlindungan dan membela mereka. Setelah sekarang mereka dalam keadaan aman mereka mau menguasai sendiri keadaan. Demikian perasaan mereka pada masa Nabi, dan sudah wajar apabila setelah Nabi wafat hal ini akan jelas naik ke permukaan. Bahkan pada masa Nabi pun pernah terasa juga, yakni setelah Mekah dibebaskan dan sesudah perang Hunain dan Ta'if. Tindakan Muhammad memberikan rampasan perang yang cukup banyak kepada golongan mualaf penduduk Mekah telah menjadi bahan pembicaraan kalangan Ansar: "Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya sendiri," kata mereka.
Setelah hal ini disampaikan kepada Nabi, dimintanya Sa'd bin Ubadah — pemimpin Khazraj — mengumpulkan mereka. Sesudah mereka berkumpul kata Nabi kepada mereka:
"Saudara-saudara kaum Ansar. Ada desas-desus disampaikan kepadaku, yang merupakan perasaan yang ada dalam hati kamu terhadap diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Allah membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Allah memberikan kecukupan kepada kamu, kamu dalam permusuhan, Allah raempersatukan kamu?"
Mendengar itu Ansar hanya menekur, dan jawaban mereka hanyalah:
"Ya benar. Allah dan Rasulullah juga yang lebih bermurah hati."
Nabi bertanya lagi: "Saudara-saudara Ansar, kamu tidak menjawab kata-kataku!"
Mereka masih menekur, dan tak lebih hanya mengatakan:
 "Dengan apa harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala kemurahan hati dan kebaikan ada pada Allah dan Rasul-Nya juga."       
Mendengar jawaban itu Rasulullah berkata lagi:
"Ya, sungguh, demi Allah. Kalau kamu mau, tentu kamu masih dapat mengatakan — kamu benar dan pasti dibenarkan — "Engkau (Nabi) datang kepada kami didustakan orang, kamilah yang mempercayaimu; engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu; engkau diusir, kamilah yang memberimu tempat; engkau dalam sengsara, kami yang menghiburmu."
Kata-kata itu diucapkan oleh Nabi dengan jelas sekali dan penuh keharuan. Kemudian katanya lagi.
"Kamu marah, Saudara-saudara Ansar, hanya karena sekelumit harta dunia yang hendak kuberikan kepada orang-orang yang perlu diambil hatinya agar mereka sudi masuk Islam, sedang keislamanmu sudah dapat dipercaya. Tidakkah kamu rela Saudara-saudara Ansar, apabila orang-orang itu pergi membawa kambing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah ke tempat kamu? Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena hijrah, tentu aku termasuk orang Ansar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah gunung, dan Ansar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan Ansar. Allahumma ya Allah, rahmatilah orang-orang Ansar, anak-anak Ansar dan cucu-cucu Ansar."
Begitu terharu orang-orang Ansar mendengar kata-kata Nabi yang keluar dari lubuk hati yang ikhlas diucapkan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, terutama kepada mereka yang dulu pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dengan satu sama saling memberikan kekuatan — sehingga orang-orang Ansar itu menangis seraya
berkata: "Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian kami."[20]

4.      Di Tangan Siapa Tampuk Kepemimpinan Umat Setelah Rasulullah
Begitu mereka mengetahui Rasulullah sudah wafat, sangat wajar dengan perasaan yang demikian itu kaum Ansar akan cepat-cepat berpikir mengenai kota mereka. Adakah orang-orang Medinah dan orang-orang Arab itu akan diurus oleh kaum Muhajirin, yang ketika tinggal di Mekah dulu mereka masih lemah, tak ada tempat berlindung, tak ada pembelaan sebelum mereka diangkat oleh Medinah, ataukah akan diurus oleh penduduk Medinah sendiri, yang seperti kata Rasulullah ia datang kepada mereka didustakan orang, lalu mereka yang mempercayainya, ia ditinggalkan orang, mereka yang menolongnya, ia diusir mereka yang memberi tempat dan ia sengsara mereka yang menghiburnya.
Beberapa orang dari kalangan Ansar membicarakan masalah ini. Mereka lalu berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah. Ketika itu Sa'd sedang sakit di rumahnya. Oleh mereka diminta keluar sebagai orang yang akan menentukan pendapat di kalangan Ansar. Setelah mendengar laporan itu ia berkata kepada anaknya atau kepada salah seorang sepupunya: "Karena sakitku ini kata-kataku tak akan terdengar oleh khalayak itu
semua. Tetapi teruskanlah kata-kataku biar terdengar oleh mereka."[21]

5.      Pidato Provokasi Sa’d[22] di Saqifah[23] dan Sikap Ansar
Ia tak berpidato sendiri, namun seorang menjadi penyambung lidahnya kepada hadirin di Saqifah. Setelah mengucap syukur dan pujian kepada Allah dia berkata:
"Saudara-saudara Ansar, kamu adalah orang-orang terkemuka dalam agama dan yang mulia dalam Islam, yang tak ada pada kabilah-kabilah Arab yang lain. Muhammad 'alaihis-salam selama sekitar sepuluh tahun di tengah-tengah masyarakatnya itu mengajak mereka beribadah kepada Allah, dan menjauhi penyembahan berhala, tetapi hanya sedikit saja dari mereka yang beriman. Mereka tidak mampu melindungi Rasulullah atau mengangkat kedudukan agama, juga mereka tak dapat membela diri mereka sendiri dari kezaliman lawan yang sudah begitu merajalela. Karena Allah menghendaki kamu menjadi orang yang bermartabat, maka kamu telah diberi kehormatan dan kenikmatan. Karunia Allah kepada kamu ialah kamu telah beriman kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, dapat memberikan perlindungan kepadanya dan kepada sahabat-sahabatnya,sama-sama mendukungnya dalam mengangkat martabat serta memperkuat agamanya, berjuang menghadapi musuh-musuhnya. Kamu adalah orang-orang yang paling keras menghadapi musuhnya itu, baik yang datang dari dalam kalangan kamu ataupun dari luar. Sampai akhirnya kawasan Arab itu mau tak mau tunduk kepada perintah Allah, sampai ke tempat yang jauh semua tunduk menyerah, sehingga Allah memberikan kemenangan kepada Rasulullah. Dengan pedang kamu orang-orang Arab itu tunduk kepadanya. Dengan kehendak Allah Rasulullah sekarang telah berpulang ke sisi-Nya, dengan senang hati terhadap kamu sekalian, Oleh karena itu Saudara-saudara, pertahankanlah kekuasaan ini di luar orang lain, karena itu memang hak kamu, bukan hak orang lain."[24]
      Para Ansar yang hadir, mengamini hal itu. Namun, mereka masih mendiskusikan dan tidak segera melakukan pembaiatan kepada Sa’d.  Di antara mereka masih ada yang berkata: "Kalau kaum Muhajirin Quraisy itu menolak lalu mereka berkata "Kami adalah kaum Muhajirin, sahabat-sahabat Rasulullah yang mulamula,kami masih sesuku dari keluarga dekatnya, lalu dengan apa harus kita hadapi mereka dalam hal ini?"
Kata-kata ini mendapat perhatian hadirin. Mereka berpendapat ini benar juga. Tadinya menurut anggapan sebagian mereka sudah tak dapat dibantah. Ketika itulah ada sekelompok orang berkata: "Kalau begitu, kita bisa mengatakan, dari kita seorang amir dan dari kamu seorang amir. Di luar ini kami samasekali tidak setuju."[25]

6.      Kedatangan dan Hasil Pertemuan Muhajirin di Saqifah
Sementara Ansar masih di Saqifah Banu Sa'idah bertukar pikiran antara sesama mereka yang ingin memegang kekuasaan di kawasan Arab itu, Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah dan beberapa kalangan terkemuka Muslimin lainnya dan yang awam, sedang sibuk membicarakan kematian Rasulullah. Ketika itu Abu Bakr, Ali bin Abi Talib dan keluarga Nabi yang lain sedang berada di sekeliling jenazah, menyiapkan segala sesuatunya untuk pemakaman.
Umar, setelah yakin benar bahwa Nabi memang sudah wafat, mulai berpikir apa yang akan terjadi sesudah itu. Tak terlintas dalam pikirannya bahwa pihak Ansar sudah lebih dulu berpikir ke arah itu, atau mereka ingin menguasai keadaan di luar yang lain. Dalam at-Tabaqat Ibn Sa'd mengatakan: "Umar mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah dengan mengatakan: 'Bentangkan tanganmu akan kubaiat engkau. Engkaulah orang kepercayaan umat ini atas dasar ucapan Rasulullah. Abu Ubaidah segera menjawab: "Sejak engkau masuk Islam tak pernah kau tergelincir. Engkau akan memberikan sumpah setia kepadaku padahal masih ada Abu Bakr?'"
Sementara mereka sedang berdialog demikian itu, berita tentang Ansar serta pertemuan mereka di Saqifah Banu Sa'idah sampai kepada Umar dan kawan-kawan. Umar mengutus orang menyusul Abu Bakr di rumah Aisyah dan memintanya segera datang. Abu Bakr mengatakan kepada utusan itu: Saya sedang sibuk. Tetapi Umar menyuruh kembali lagi utusan itu dengan pesan kepada Abu Bakr: "Ada suatu kejadian penting memerlukan kedatanganmu."
Dengan penuh keheranan Abu Bakr datang menemui Umar. Ada persoalan apa meminta ia datang sampai harus meninggalkan persiapan jenazah Rasulullah. "Engkau tidak tahu," kata Umar kemudian, "bahwa Ansar sudah berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah. Mereka ingin menyerahkan pimpinan ini ke tangan Sa'd bin Ubadah. Ucapan yang paling baik ketika ada yang mengatakan: Dari kami seorang amir dan dari Kuraisy seorang amir." Mendengar itu, tanpa ragu lagi Abu Bakr bersama Umar berangkat cepat-cepat ke Saqifah disertai juga oleh Abu Ubaidah bin Jarrah.
Bagaimana ia akan ragu sedang masalah yang dihadapinya kini masalah Muslimin dan hari depannya, bahkan masalah agama yang telah diwahyukan kepada Muhammad serta masa depannya juga. Dalam- mengurus jenazah Rasulullah sudah ada keluarganya, mereka yang akan mempersiapkan pemakaman. Maka sebaliknya ia dan kedua sahabatnya itu pergi ke Saqifah. Ini sudah menjadi kewajiban; suatu hal yang tak dapat dipikulkan kepada orang lain. Tak boleh sehari pun dibiarkan tanpa suatu tanggung jawab serta memikul beban yang betapapun beratnya, meskipun harus dengan pengorbanan harta dan nyawa.
Dalam perjalanan ketiga orang itu bertemu dengan Asim bin Adi dan Uwaim bin Sa'idah yang lalu berkata kepada mereka: "Kembalilah, tak akan tercapai apa yang kamu inginkan." Dan setelah mereka berkata: "Jangan mendatangi mereka, selesaikan saja urusanmu." "Tidak! Akan kami datangi mereka!" jawab Umar.
Tatkala ketiga orang itu tiba, pihak Ansar masih berdiskusi, belum mengangkat Sa'd, juga belum mengambil suatu keputusan mengenai kekuasaan itu. Seperti menyesali keadaan, orang-orang Ansar itu terkejut melihat kedatangan mereka bertiga. Orang-orang Ansar berhenti bicara. Di tengah-tengah mereka ada seorang laki-laki berselimut, yang oleh Umar bin Khattab ditanya siapa orang itu.
"Ini Sa'd bin Ubadah, sedang sakit," jawab mereka.
Abu Bakr dan kedua kawannya itu juga duduk di tengah-tengah mereka dengan pikiran masing-masing sudah ditimbuni oleh pelbagai pertanyaan, apa yang akan dihasilkan oleh pertemuan itu.[26]
Juru bicara Ansar berdiri memuji Allah, kemudian berkata, “kita adalah para penolong (Ansar) Allah dan memelihara Islam, dan kalian –kaum Muhajirin- adalah kaum yang besar, namun sebagian kecil kaummu telah menyimpang, mereka ingin mengucilkan kami dari asal kami dan menyingkirkan kami dari hak kekhalifahan.”
Umar terlihat gelisah mendengar ucapan orang Ansar itu. Ia ingin berbicara membantah pandangan mereka tentang Muhajirin. Pikirannya berkecamuk. Namun, Abu Bakar yang mengetahui hal itu memegang pundaknya dan berkata, “diam saja jangan bicara apa-apa.” [27]
Umar tak dapat berbuat apa-apa. Ia biarkan Abu Bakar angkat bicara. Umar menceritakan apa yang terjadi berikutnya, “Abu Bakar bangkit berbicara di hadapan kaum Ansar. Sungguh gaya bicaranya lebih lembut dan santun daripada aku. Demi Allah setiap pikiran yang ingin kusampaikan untuk membalas pembicara Ansar tadi, Abu Bakar menyampaikannya dengan cara yang lebih baik.”
Semua orang terdiam saat Abu Bakar berbicara. Ia mengawali kata-katanya dengan pujia dan sanjungan kepada kaum Ansar. “Kebaikan yang kalian sebutkan tentang Ansar sama sekali tidak salah. Namun ketahuilah, kekhalifahan peling layak dipegang oleh orang Quraisy yang mulia. Ia adalah seorang Arab yang mulia dari sisi keturunan dan keluarga. Sungguh aku rela jika kekhalifahan dipegang oleh salah seorang dari dua orang yang mulia ini. Berbaiatlah kepada salah seorang di antara keduanya sesuai dengan keinginan kalian,” ujar Abu Bakar sambil memeganfg tangan Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah yang duduki di sisinya. Keduanya bangkit berdiri untuk dibaiat. Namun Umar berkata menanggapi ucapan Abu Bakar, “Sungguh aku menyukai ucapan Abu Bakar kecuali bagian tentang diriku. Demi Allah, seandainya saat ini aku dibunuh dan mati, itu lebih kusukai di banding harus memimpin suatu kaum yang di dalamnya ada Abu Bakar.”[28]
Lalu Umar berteriak lantang melanjutkan perkataannya, “Hai Abu Bakar, bentangkan tanganmu.” Saat Abu Bakar membentangkan tangannya, Umar langsung membaiatnya. Orang-orang diam terkesima. Namun hanya sekejapan. Tindakan umar itu langsung diikuti kaum Muhajirin dan kemudian tanpa keraguan kaum Ansar pun membaiat Abu Bakar.[29]
Dikatakan oleh Muhammad Husain Haekal dalam bukunya “Abu Bakr As-Siddiq. Sebenarnya pertemuan ini sangat penting dalam sejarah Islam yang baru tumbuh itu. Dalam pertemuan serupa ini, kalau Abu Bakr tidak memperlihatkan sikap tegas dan kemauan yang keras — seperti juga di kawasan Arab yang lain —justru di kandang sendiri hampir saja agama baru ini menimbulkan perselisihan, sementara jenazah pembawa risalah itu masih berada di dalam rumah, belum lagi dikebumikan.
Andaikata pihak Ansar tetap bersikeras akan memegang tampuk pimpinan sesuai dengan seruan Sa'd bin Ubadah, sedang pihak Quraisy sebaliknya tidak mau menyerahkannya kepada pihak lain, maka dapat kita bayangkan, betapa jadinya Medinah Rasulullah ini akibat tragedi pemberontakan itu kelak! Betapa hebatnya ledakan pemberontakan bersenjata itu sementara pasukan Usamah masih berada di tengah-tengah mereka, terdiri dari kaum Muhajirin dan Ansar, masing-masing sudah bersenjata lengkap, sudah dengan baju besi dan sudah sama-sama siap tempur!
”. Andaikata kaum Muhajirin yang hadir di Saqifah itu bukan Abu Bakr, bukan Umar dan bukan Abu Ubaidah, melainkan orang-orang yang belum punya tempat dalam hati segenap kaum Muslimin seperti pada kedua wazir (pendamping) Rasulullah dan orang-orang kepercayaan umat ini, niscaya timbul perselisihan hebat antara mereka dengan Ansar, niscaya berkecamuk pertentangan.antara kaum Muslimin dengan segala akibatnya — yang sampai sekarang belum terpikirkan oleh para sejarawan — dan niscaya sebagian besar yang hadir dalam pertemuan Saqifah itu tak akan berhenti hanya pada peristiwa dan pertukar pikiran yang berakhir dengan dilantiknya Abu Bakr itu saja. Tetapi mereka yang dapat menilai peristiwa itu sebagaimana mestinya akan melihat pengaruh pertemuan bersejarah itu dalam sejarah Islam, seperti pada waktu Ikrar Aqabah dan pada hijrah Rasulullah dari Mekah ke Medinah.
Orang akan melihat bahwa sikap Abu Bakr menghadapi situasi itu adalah sikap seorang politikus, bahkan seorang negarawan yang punya pandangan jauh, yang dapat memperhitungkan hasil-hasil dan segala kemungkinannya, dengan terus mengarahkan segala usahanya dengan tujuan hendak mencapai yang baik dan mencegah bahaya dan segala yang buruk.

C.    REPUTASI KHALIFAH ABU BAKAR
Abu Bakar ash-Shiddiq ra. adalah sahabat yang pertama kali masuk Islam, dan selalu menyertai Rasulullah sepanjang hidupnya baik di Makkah maupun di Madinah. Tidak hanya itu, beliau adalah sahabat Rasulullah saw. sekaligus teman bermusyawarah dan wazirnya. Di tangannya para senior sahabat masuk memeluk Islam seperti Usman bin Affan, az-Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah.26 Setia mendampingi Rasulullah saw. dalam menghadapi berbagai macam halangan dan rintangan, siap membela beliau dengan sepenuh jiwa, bahkan beliau pula yang telah membebaskan banyak budak-budak yang di siksa karena masuk Islam seperti Bilal, Amir bin Fuhairah, Ummu Ubaisy. Zinnirah, Nahdiyyah dan kedua putrinya, serta budak wanita milik Bani Muammal27 Beliaulah yang menemani Nabi di kala hijrah, dan turut serta dalam setiap peperangan bersama Rasulullah saw. seperti Badar, Uhud, Khandaq, Hudaibiyyah, Penaklukan kota Makkah, Hunain, Tabuk dan pertempuran besar lainnya.[30]
Setelah menjabat sebagai khalifah maka beliaulah yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap seluruh negeri Islam dan wilayah kekhalifahannya sepeninggal Rasulullah saw. meskipun masa pemerintahannya sangatlah singkat, hanya berkisar 2 tahun 3 bulan.[31] Namun, walaupun berjangka pendek maka tercatat sejumlah reputasi beliau yang gemilang di antaranya:

1.    Melanjutkan Misi Pasukan Usamah
Sebelumnya Rasulullah saw. telah memerintahkan pasukan Usamah agar berjalan menuju tanah al-Balqa yang berada di Syam, persisnya di tempat terbunuhnya Zaid bin Haritsah, Ja'far dan Ibnu Rawahah. Dengan misi agar pasukan Usamah segera menaklukkan wilayah tersebut. Maka berangkatlah pasukan Usamah ke Jurf dan mendirikan perkemahan di sana. Di antara pasukan tersebut terdapat Umar bin al-Khaththab dan ada pula yang me-ngatakan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. turut pula di situ, namun Rasulullah saw. mengecualikannya agar menjadi imam shalat.
Ketika Rasulullah saw. sakit mereka masih berdiam di Jurf, persis setelah Rasulullah saw. wafat maka menjadi keadaan kacau balau. Kemunafikan mulai kelihatan di Madinah. Bahkan tidak sedikit dari suku-suku Arab sekitar Madinah yang murtad keluar dari Islam. Ditambah lagi sebagian dari mereka tidak mau membayar zakat kepada Abu Bakar ash-Shiddiq ra.. Dan ketika itu shalat Jum'at tidak lagi didirikan kecuali di Makkah dan Madinah. Tersebut-lah sebuah kota yang bernama Juwatsan di Bahrain, kota ini termasuk kota yang pertama kali yang mendirikan Jum'at setelah situasi agak tenang dan orang-orang kembali kepada kebenaran, sebagaimana yang termaktub dalam Shahih al-Bukhari.
Di antara negeri yang tetap istiqamah di atas Islam adalah negeri Tsaqif di Thaif, mereka tidak lari dan tidak pula murtad. Ketika berbagai masalah besar ini terjadi, banyak orang-orang mengusulkan kepada Abu Bakar agar menunda keberangkatan pasukan Usamah, karena umat membutuhkan mereka untuk mengatasi masalah yang lebih pentíng. Dengan alasan bahwa pasukan yang disiapkan nabi tersebut sebelumnya di persiapkan ketika negera Islam Madinah dalam kondisi aman. Termasuk di antara orang-orang yang mengajukan usul tersebut adalah Umar, ia mengusulkan penundaan keberangkatan pasukan Usamah
itu. Namun Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dengan tegas menolak sarán tersebut.[32]
Hal ini dilakukan Abu Bakar sebagai usaha untuk menampakkan kepada semua pihak bahwa kekuatan Islam masih tetap kokoh dan sulit dikalahkan baik secara material maupun spiritual. Ternyata pasukan ini memetik kemenangan yang sangat gemilang. Kemenangan ini telah membuat banyak orang kokoh berpegang kepada agama Islam.[33]

2.    Kebijakannya Memerangi Kaum Murtad
Sebagaimana di atas disebutkan ketika Rasulullah saw. wafat maka orang-orang Arab murtad, Yahudi dan Nasrani menampakkan taringnya, sementara kemunafikan mulai tersebar, kaum muslimin ibarat domba yang kucarkacir diguyur hujan lebat pada malam yang pekat dan dingin. Sebagian orang murtad ini kembali kepada kekufuran lamanya dan mengikuti orang-orang yang mengaku nabi, sebagian yang lain hanya tidak mau membayar zakat.
Para sahabat menasihati Abu Bakar agar dia tidak memerangi mereka karena kondisi umat Islam yang sngat sulit dan karena sebagian pasukan islam sedang diberangkatkan untuk berperang melawan tentara Romawi yang dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Namu Abu Bakar menolak usulan mereka, dia mengatakan sebuah perkataan yang sangat masyhur, “Demi Allah, andaikan mereka tidak menyerahkan tali unta yang pernah mereka serahkan kepada Rasulullah, pasti aku berjihad melawan mereka.”
Dan akhirnya Abu Bakar berhasil menyatukan mereka kembali.[34]

3.    Ekspansi Islam
Perang melawan orang-orang murtad berakhir. Namun tak ada pilihan lain kecuali melanjutkan jihad. Sedangkan, musuh pemerintahan Islam saat itu adalah Persia dan Romawi. Keduanya adalah kekaisaran terbesar pada masa itu. Untungnya keduanya selalu terlibat sengketa yang sengit. Kondisi inilah yang memudahkan ihad Muslimin. Mereka menyerbu kedua kekaisaran itu pada saat yang bersamaan.

a.      Di Wilayah Timur (Persia)
Persia mendominasi wilayah yang sangat luas yang meliputi Irak, bagian utara jazirah Arab. Di samping itu, sejumlah besar kabilah-kabilah Arab juga tunduk di bawah kekuasaan mereka. Kabilah-kabilah ini bekerja dengan dukungan dari kaisar Persia.
Untuk melakukan jihad di tempat itu, Abu Bakar mengangkat Khalid bin Walid dan Mutsanna bin Haritsah sebagai panglima. Mereka mampu memenangkan peperangan dan membuka Hirrah serta beberapa kota di Irak. Di antaranya adalah Anbar, Daumatul Jandal, Faradh, dan yang lainnya. Setelah itu khalifah Abu Bakar memerintahkan kepada Khalid bin Walid untuk bergabung dengan pasukan Islam yang ada di Syam.

b.      Di Wilayah Barat (Romawi)
Abu Bakar memberangkatkan pasukan-pasukan Islam berikut ini.
1.      Pasukan di bawah pimpinan Yazid bin Abu Sufyan ke Damaskus.
2.      Pasukan di bawah pimpinan ‘Amr bin Ash ke Palestina.
3.      Pasukan di bawah pimpinan Syahrabil bin Hasanah ke Yordania.
4.      Pasukan di bawah pimpinan Abu Ubaidah ibnul-Jarrah ke Hims.[35]

4.    Jam’ul Qur’an (pengumpulan al-Qur'an)
Satu kerja besar yang dilakukan pada maa pemerintahan Abu Bakar adalah penghimpunan al-Qur’an. Ibnu Katsir berkata, Pada tahun 12 H Abu Bakar ash-Shiddiq ra. memerintahkan Zaid bin Tsabit agar mengumpulkan al-Qur'an dari berbagai tempat penulisan, baik yang ditulis di kulit-kulit, dedaunan, maupun yang dihafal dalam dada kaum muslimin.
Peristiwa itu terjadi setelah para Qari' penghafal al-Qur'an banyak yang terbunuh dalam peperangan Yamamah, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhari.[36]
Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian al-Qur’an. Sejak itulah al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf. Inilah untuk pertama kalinya al-Qur’an dihimpun atas usulan Umar.[37]

5.    Pembentukan Perangkat Kepemerintahan dan Baitul Mal
Sebelum Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, profesi beliau dalam mencari nafkah adalah seorang pedagang, setelah dilantik sebagai khalifah maka sebagaimana biasanya beliau berangkat ke pasar untuk berdagang, dijalan beliau bertemu dengan umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah, keduanya menghampirinya dan berkata, "Profesimu sebagai pedagang kini sudah tídak sesuai lagi sejak engkau mengemban amanat yang amat besar ini." Abu Bakar ash-Shiddiq ra. menjawab, "Jika tídak dengan berdagang seperti ini bagaimana aku dapat menghidupi anak istriku?" Keduanya menjawab, "Mari ikut kami agar kami siapkan untukmu gaji."
Maka sejak itu Abu Bakar diberi upah setengah kambing dan dijamin baginya pakaian beserta sandang pangan, Umar berkata, Biarlah aku yang mengurusi masalah qadha (peradilan), selanjutnya Abu Ubaidah berkata, "Serahkan kepadaku urusan pajak." Umar berkata, "Sejak aku menjabat sebagai Qadhi di peradilan, selama sebulan penuh aku duduk menganggur tídak satupun terjadi persengketaan antara dua orang."
Dan yang menjadi sekretaris dan juru tulisnya adalah Zaid bin Tsabit, Usman bin Affan atau siapa yang hadir ketika itu di sisinya.
Adapun gubernur untuk wilayah Makkah adalah Itab bin Sa'id, untuk wilayah Tha'if adalah Usman bin Abi al-Ash, untuk wilayah adalah Shan'a Muhajir bin Abi Umayyah, untuk wilayah Hadramaut adalah Ziyad bin Lubaid, untuk wilayah Khaulan adalah Ya'la bin Umayyah, untuk wilayah Zubeid dan Rima' adalah Abu Musa al-Asy'ari, untuk wilayah al-Janad adalah Mu'adz bin Jabal, untuk wilayah Bahrain adalah ai-Ala' bin al-Hadrami. Beliau juga mengutus Jabir bin Abdillah al-Bajalli ke Najran, Abdullah bin Tsaur -salah seorang dari Bani al-Ghauts- diutus ke daerah Jurasy, kemudian beliau mengutus Iyadh bin Ghanm al-Fahri ke Daumatul Jandal, wilayah Syam diserahkan kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah, Syarahbil bin Hasanah, Yazid bin Abu Sufyan, Amru bin al-Ash, seluruhnya adalah pemimipin pasukan di bawah satu komandan yaitu Khalid bin Walid.
Ketika itu Abu Bakr belum mendirikan baitul mal secara independen, melainkan hanyalah mengambil sebuah kamar kecil di rumahnya yang berada di Sunuh, ketika salah seorang sahabat berkata padanya, "Tidakkah engkau memerlukan penjaga Baitul mal tersebut?" Dia menjawab, "Tidak, sebab kamar tersebut memiliki gembok yang terkunci. Namun ketika beliau pindah ke rumahnya yang di samping masjid Nabawi maka beliau harus memindahkan baitul mal tersebut ke sana. Ketika Abu Bakar wafat, maka Umar membuat para penjaga baitul mal secara khusus, ketika baitul mal di buka tenyata mereka tidak menemukan apapun.[38]

D.    WAFATNYA

Abu Bakar ash-Shiddiq ra. wafat pada hari senin di malam hari, ada yang mengatakan bahwa Abu Bakar wafat setelah Maghrib (malam selasa) dan dikebumikan pada malam itu juga yaitu tepatnya 8 hari sebelum berakhirnya bulan Jumadil Akhir tahun 13 H, setelah beliau mengalami sakit selama 15 hari. Pada waktu itu Umar menggantikan posisinya sebagai imam kaum muslimin dalam shalat. Ketika sakit beliau menuliskan wasiatnya agar tampuk pemerintahan kelak diberikan kepada Umar bin al-Khaththab, dan yang menjadi juru tulis waktu itu adalah Usman bin Affan, Setelah surat selesai segera dibacakan kepada segenap kaum muslimin, dan mereka menerimanya dengan segala kepatuhan dan ketundukan.[39]
Tatkala Abu Bakar merasa bahwa kematiannya telah dekat dan sakitnya semakin parah, dia ingin untuk memberikan kekhalifahan kepada seseorang sehingga diharapkan manusia tidak banyak terlibat konflik. Maka, jatuhlah pilihannya kepada Umar bin Khathab. Dia meminta pertimbangan sahabat-sahabat senior. Mereka semua mendukung pilihan Abu Bakar. Maka dia pun menuliskan wasiat untuk itu, lalu dia membaiat Umar. Bebeapa hari setelah itu Abu Bakar meninggal.[40]
Masa kekhalifahannya berjalan selama 2 tahun 3 bulan38, dan beliau wafat pada usia 63 tahun39 persis dengan usia Nabi, akhirnya Allah mengumpulkan jasad mereka dalam satu tanah, sebagaimana Allah mengumpulkan mereka dalam kehidupan. Sebelum wafat beliau telah mewasiatkan agar seperlima dari hartanya disedekahkan sembari berkata,"Aku akan menyedekahkan hartaku sejumlah yang Allah ambil dari harta fai' kaum muslimin.[41]




PENUTUP
Saran

Sungguh kehidupan Abu Bakar begitu penuh dengan ibarat, penuh dengan nasihat, penuh dengan ajaran dan banyak hal yang bisa dan harus kita teladani. Kita di jaman yang penuh dengan kecurangan pemerintah ini, sangat mengharapkan sosok pemimpin-pemimpin seperti Abu Bakar.
Namun kita jangan hanya berhenti untuk terus berharap Allah mengutus seorang pemimpin yang luar biasa seperti Abu Bakar dan sahabatnya. Tetapi, mulailah desain diri kita sendiri untuk menjadi seorang pemimpin itu, walau hanya untuk memimpin diri kita sendiri.
Maju tak gentar membela yang benar”.

DAFTAR PUSTAKA
 Al-‘Imroniy, Muhammad bi Ali bin Muhammad, Al-Inbaa Fii Taariikh Al-Khulafa, (Daarul          Aafaaq : Kairo), 2001.
As-Suyuthi, Abdur Rahman bin Abi Bakr Jalaluddin, Taariikh Al-Khulafa, (Maktabah Nizar         Mushtafa al-Baaz), 2004.
Audah, Ali,  Abu Bakr As-Siddiq sebuah Biografi dan Studi Analisis Tentang permulaan    Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, (PT. Pustako Utera Antar Nusa : Jakarta)         2003.
Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin, (Darul Haq : Jakarta),    2005.
Murad, Mushtafa, Kisah Hidup Abu Bakar Al-Shiddiq, (Zaman : Jakarta), 2012.
Rahman, Samson, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, (Akbar : Jakarta), 2008.




[1] Kabilah atau suku merupakan susunan masyarakat Arab yang berasal dari satu moyang , lebih kecil dari Sya’b, dan lebih besar dari ‘imaroh, kemudia berturut-turut batn, ‘imarah dab fakhz. – pnj.
[2] Lihat. Ibnu Katsir, Al-Bidayah wan Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin, hal. 13; Abdur Rahman bin Abi Bakr Jalaluddin As-Suyuthi, Taariikh Al-Khulafa, hal. 26; dan Muhammad bi Ali bin Muhammad Al-‘Imroniy, Al-Inbaa Fii Taariikh Al-Khulafa, hal. 47.
[3] Ibid; lihat juga Muhammad Husain Haekal, Abu Bakr As-Siddiq sebuah Biografi dan Studi Analisis Tentang permulaan Sejarah Islam Sepeninggal Nabi, hal. 3-4.
[4] Sebutan panggilan yang diawali dengan Abu (bapak), Ummu (ibu), ibnu/bintu (anak) dll.
[5] Loc. Cit, Ibnu Katsir.
[6] Ahmad al-Usairy, Sejarah Islam Sejak Zaman Nabi Adam Hingga Abad XX, hal. 142.
[7] Op. Cit, Muhammad Husain Haekal, hal. 2.
[8] Op. Cit, As-Suyuthi, hal. 27.
[9] Op. Cit, Muhammad Husain Haekal, hal. 3.
[10] Ibid, hal. 1.
[11]  Ibid, hal. 3. Lihat juga. Ibnu Katsir, hal. 14-15.
[12] Ibid.
[13] Meliputi Suria, Ubanon, Palestina dan Yordan sekarang. — Pnj.
[14] Husain Haekal, Loc. Cit.
[15] Ibnu Katsir, Op. Cit, 14.
[16] M. Husain Haekal, Op. Cit, 5-6.
[17] Ibid, hal 29. Lihat juga, Ibnu katsir, 42.
[18] Ibid,
[20] Ibid, 31-32.
[21] Ibid
[22] Sa'd bin Ubadah adalah pemimpin Khazraj yang sudah mereka calonkan untuk memegang pimpinan Muslimin sesudah Rasulullah.
[23] Saqifah, 'serambi beratap' (A) (LA) atau 'ruangan besar beratap' (LA), semacam balairung.
— Pnj.
[24] Ibid, 33.
[25] Ibid.
[26] Ibid, 36-37.
[27] Mushtafa Murad, Kisah Abu Bakar Al-Shiddiq, hal. 110.
[28] Ibid, 111.
[29] Ibid, 112.
[30] Ibnu Katsir, Op. Cit,  hal. 24.
[31] Ahmad al-Usairy, Op.Cit, hal. 145.
[32] Ibnu Katsir, Op. Cit, hal. 72.
[33] Al-Usairy, Op. Cit, 145.
[34] Lihat. Ibnu Katsir, hal. 74, dan Al-Usairy, hal. 145.
[35] Ibid, hal. 148.
[36] Ibnu Katsir, hal. 26.
[37] Al-Usairy, hal. 150.
[38] Ibnu katsir, Bidayah wan Nihayah, hal. 27-28.
[39] Ibid, hal. 28.
[40]Al-Usairy,  Op. Cit, hal. 150.
[41] Loc. Cit.