"Benarkah Rasul Bodoh?"
oleh: M.e. Widjaya
Benarkah Nabi Muhammad Buta Huruf (Ummi)?
Oleh: Estanu Wijaya
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kita sebagai mahasiswa di perguruan
tinggi Islam tentu sudah tidak asing dengan satu kata ummi dan definisinya. Banyak definisi atau
tafsiran yang ditawarkan oleh para mufassir (ahli tafsir) untuk mengartikan satu kata tersebut. Salah
satunya adalah definisi yang menyatakan bahwa, ummi adalah orang yang tidak bisa membaca dan menulis (buta
huruf)[1].
Namun, definisi ini dirasa tidak logis, jika dinisbatkan pada objek yang mustahil
mempunyai sifat sebagaimana dalam definisi tersebut, yaitu seorang Rasul
sebagai manusia pilihan Tuhan. Karena sebagaimana kita ketahui Rasul memiliki
empat sifat wajib yang diantaranya adalah fathonah (pintar, jenius atau cerdas) dan mustahil bagi Rasul
memiliki sifat baladah
(bodoh). Sedangkan, menurut logika kita, tidak bisa membaca dan menulis adalah
sebagian dari kebodohan.
B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian ummi (buta huruf)?
b.
Apa makna ke-ummi-an Nabi Saw.?
C. Tujuan atau Manfaat
Penulisan
Bisa
berbagi pendapat tentang makna ummi dengan
para pembaca. Sehingga pembaca dapat lebih memahami arti ummi. Karena sering kali dijumpai dalam
kajian ilmu kalam, mempermasalahkan benarkah Rasul yang atas kemuliaannya, sampai
namanya disandingkan dengan nama Tuhan, tidak bisa membaca dan menulis?
Sedangkan pemahaman kita, jika seseorang buta huruf (tidak bisa baca tulis),
berarti orang itu bodoh. Sehingga kadang mereka bingung dengan makna ke-ummi-an Rasul saw. padahal dalam Al-Qur’an
maupun hadits, Rasul memang dinyatakan ummi. Hal inilah yang melatarbelakangi pentingnya pembahasan
ini.
II.
PEMBAHASAN
a.
Definisi Ummi
Secara bahasa kata(أمّي)
ummi terambil dari kata (أمّ) umm/ibu dalam arti seorang
yang tidak pandai membaca dan menulis, yang mana keadaan ini sama dengan
keadaannya ketika baru dilahirkan oleh ibunya atau sama dengan keadaan ibunya
yang tidak pandai membaca dan menulis. Dalam pendapat lain kata ummi dari
kata (أمة) ummah yang
menunjuk kepada keadaan masyarakat ketika itu. Sebagai mana dilukiskan oleh
sabda beliau Rasul Saw.: “Sesungguhnya kita adalah umat yang Ummi, tidak bisa
membaca dan berhitung.[2]”
Di dalam Al-Qur’an kata ummi disebutkan dalam enam ayat yang tersebar dalam
surat-surat yang berbeda, yaitu surat al-A’rof ayat 157 dan 158, Aali ‘Imran
ayat 20 dan 75, al-Jumu’ah ayat 2, dan al-Baqoroh ayat 78. Dari enam ayat
tersebut, hanya dua ayat yang membahas ummi Rasul saw. yaitu ayat yang disebutkan pertama dan kedua[3].
Untuk ayat ketiga, keempat dan kelima adalah orang Arab. Sedangkan yang
dikehendaki ayat keenam adalah golongan dari Yahudi yang tidak bisa baca tulis[4].
b. Makna
ke-ummi-an`Nabi Muhammad saw.
Selama ini kita difahamkan bahwa ummi itu berarti orang yang tidak tahu membaca dan menulis. Orang Arab pada masanya
disebut ummi karena kebanyakan dari mereka tidak
bisa baca dan tulis. Budaya tulis-menulis belum
berkembang pada zaman itu, bahkan kemampuan menulis dan membaca bisa dianggap
aib yang menunjukkan lemahnya daya hafal orang tersebut. Sebab saat itu daya
hafal bangsa Arab sangat kuat; seperti kemampuan mereka dalam menghapal hingga
ratusan syair dan silsilah nasab mereka di kepala mereka, bukan dalam
tulisan.
Sebagaimana Prof. Quraish Shihab dalam
bukunya Wawasan Al-Qur’an mengatakan, “Harus disadari bahwa
masyarakat beliau ketika itu menganggap kemampuan menulis sebagai bukti
kelemahan seseorang. Pada masa itu sarana tulis-menulis amat langka, sehingga
masyarakat amat mengandalkan hafalan. Seseorang yang menulis dianggap tidak
memiliki kemampuan menghafal, dan ini merupakan kekurangan. Penyair Zurrumah
pernah ditemukan sedang menulis, dan ketika ia sadar ada orang yang melihatnya,
ia bermohon, jangan beri tahu siapa pun, karena ini (kemampuan menulis) bagi kami
adalah aib. Memang, nilai-nilai dalam masyarakat berubah, sehingga
apa yang dianggap baik pada hari ini, boleh jadi sebelumnya dinilai buruk. Pada
masa kini kemampuan menghafal tidak sepenting masa lalu, karena sarana
tulis-menulis dengan mudah diperoleh.”
Nabi Saw. juga begitu,
dia tidak membaca dan tidak menulis. Keadaan Beliau yang tidak dapat membaca dan menulis merupakan di
antara penjelasan yang menunjukkan bahwa Beliau benar-benar utusan Allah Swt.
yang datang dengan membawa Al-Qur’an dari sisi-Nya, oleh karena itu Allah
Ta’ala berfirman: “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya
(Al-Qur’an) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab
dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar
ragulah orang yang mengingkari(mu).” (QS. Al Ankabut: 48) yaitu
seandainya Beliau bisa membaca dan menulis maka mungkin saja dia datang
membawa Al-Qur’an yang berasal dari tulisan dan hasil bacaannya sendiri,
tetapi Beliau Saw. tidak bisa membaca dan tidak pula menulis[5]. Oleh karenanya, ke-ummi-an Nabi Saw. bukanlah cela dan aib, justru menunjukkan
keutamaan Beliau sebagai utusan dan pembawa wahyu Allah Swt. dan menegaskan
bahwa Al-Qur’an benar-benar wahyu Allah Swt. tanpa campur tangan manusia.
III.
PENUTUP
Demikian penjelasan singkat dari penulis, semoga dari
penjelasan ini, kita menjadi paham bahwa pada hakikatnya Nabi Muhammad Saw.
memang ummi atau tidak bisa membaca dan menulis. Dan hal ini ternyata tidak
bertentangan dengan logika kita yang menyatakan tidak bisa menulis dan membaca
adalah bodoh bila kita menggunakan perspektif sosio-history pada masa itu. nilai-nilai dalam
masyarakat berubah, sehingga apa yang dianggap baik pada hari ini, boleh jadi
sebelumnya dinilai buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Farmawi , Abdul Hayyi. 1977. Al-Bidayatu fii Tafsiiri al-Maudhuu’iy. Mesir: al-Hadhorotu al- Arobiyyah.
Al-Qurthubi. 2003. Al-Jaami’u li Ahkami Al-Qur’an. Riyadh: Daaru ‘Aalamu al-Kutub.
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
[1] Abdul Hayyi Al-Farmawi,
Al-Bidayatu fii Tafsiiri al-Maudhuu’iy (Mesir: al-Hadhorotu al-Arobiyyah,
1977), hlm. 96.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati,
2002), Vol. 4 Hlm. 324-325.
[3] Al-Qurthubi, Al-Jaami’u li
Ahkami Al-Qur’an (Riyadh: Daaru ‘Aalamu al-Kutub, 2003), Jilid. 7 hal. 296.
mantap
ReplyDeleteapek2 bosss.... buka juga http://masbosmasmu.blogspot.com/2014/11/dalil-tentang-media-dakwah.html mantaab dijamin bro hehehe....
ReplyDelete