Masa Keemasan Intelektual Bani Abbasiyyah
Makalah
Disusun untuk Memenuhi Tugas Ulangan Akhir Semester
Mata Kuliah Sejarah
Peradaban Islam
Dosen
Pengmapu: Dr. Nasihun Amin, M.Ag.
Disusun oleh:
Ali Nashokha
(134211079)
Jurusan Tafsir
dan Hadis
Fakultas
Ushuluddin
Universitas
Islam Negeri Walisongo Semarang
2015
Bab I
Pendahuluan
1.
Latar Belakang
Permasalahan
Sebelum Islam turun ke dunia melalui perantara
Nabi Muhammad, bangsa arab tengah mengalami zaman jahiliyyah. Sangat
sedikit di antara merekayang mengenal ilmu pengetahuan, hidup mereka hanya
menuruti keinginan dan hawa nafsu saja. Akibatnya tejadi pertikaian dan
penindasan hingga berlakulah hukum rimba, yang kuat menguasai yang lemah.
Virus jahiliyyah tidak hanya menjangkit
bangsa Arab, namun juga bangsa-bangsa besar lain di dunia kala itu. Fakta
sejarah menujukkan bahwa pada masa itu bangsa Byantium, bangsa Persia, dan
bangsa India juga mengalami hal serupa. Raja mereka berkuasa dengan
semena-mena, dan agama seakan telah menghilang dari hati mereka.
Oleh karena itu Nami Muhammad diutus untuk
menghapus sifat jahiliyyah dari hati dan pikiran manusia, dengan cahaya
Islam. Salah satu cara yang digunakan rasul untuk menumbangkan sifat jahiliyyah
adalah melawannya menggunakan pengetahuan. Hal ini sejalan dengan firman Allah
dalam Q.S. al-Alaq ayat 1-5, yang sangat menekankan pentingnya ilmu
pengetahuan.
Sekitar satu abad setelah rasul wafat,
berdirilah sebuah dinasti yang sangat besar dan terkenal dengan kemajuan ilmu
pengetahuannya. Karena kemajuan yang luar biasa tersebut, ia sering dianggap
sebagai masa keemasan Islam. Dinasti
tersebut adalah Dinasti Abbasiyyah, yang mencapai puncak kejayaan pada
masa kepemimpina Harun al-Rasyid.
Dari gambaran singkat tersebut, pastinya ada
hal-hal menarik harus terungkapkan. Hal tersebut sangat penting, khususnya bagi
umat Islam agar mampu belajar dan menghargai sejarah leluhurnya. Oleh karena
itu makalah ini disusun untuk untuk mengungkap keberhasilan Bani Abbasiyyah, serta
berusaha menjelaskan dengan menggunakan bahasa yang menarik dan mudah dipahami.
2.
Rumusan
Masalah
a.
Sejarah singkat Dinasti Abbasiyyah
b.
Masa kebangkitan dan keemasan
intelektual
c.
Faktor di balik keemasan
intelaktual Dinasti Abbasiyyah
d.
Perkembangan sains, budaya, tekhnologi serta para tokohnya,
dan pengaruhnya terhadap kehidupa zaman sekarang
e.
Peninggalan Dinasti Abbasiyyah yang
masih tersisa
Bab II
Pembahasan
1.
Sejarah
singkat Bani Abbasiyyah
Dinasti Abbasiyyah merupakan suatu dinasti
Islam yang didirikan oleh Abu Abbas al-Shaffah, seorang keturunan Ibn Abbas,
paman Nabi Muhammad. Dinasti Abbasiyyah mampu bertahan selama lebih dari lima
abad, yaitu selama rentan waktu 750 M – 1258 M[1].
Hal tersebut merupakan sebuah realisasi dari janji Bani Hasyim, bahwa yang
berhak menjadi khalifah sepeninggal Nabi Muhammad adalah keturunan Nabi
Muhammad sendiri.
Berdasarkan situasi politiknya, para
sejarahwan membagi masa Bani Abbasiyyah dalam lima masa. Periode pertama (750 M
– 847 M), dikenal juga sebagai periode
Persia pertama[2].
Disebut demikian karena pada masa ini banyak orang Persia yang memilki pengaruh
besar dalam pemerintahan. Pada masa ini Islam mengalami zaman keemasan dalam
segala bidang, khususnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Akhirnya mencapai
puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid.
Periode kedua (847 M – 945 M), disebut juga
masa pengaruh Turki pertama[3].
Pada masa ini pemerintahan Bani Abbasiyyah banyak dipengaruhi oleh bangsa
Turki, yang mempunyai jabatan dalam pemerintahan. Pada zaman ini kejayaan Islam
mulai memudar, karena kebebasan berpikir mulai dibatasi oleh aliran salaf.
Periode ketiga, (945 M – 1075 M), disebut juga
sebagai periode Persia kedua[4].
Pada masa ini khalifah hanya memiliki peran simbolik dan formalitas, Dinasti
Abbasiyyah masih berdiri dikendalikan oleh Bani Buwaih. Keluarga Bani Buwaih
banyak yang menjadi orang kepercayaan khalifah, sehingga dapat dengan mudah
mempengaruhinya. Akibatnya Bani Buwaih memiliki kekuasaan melebihi kuasa
khalifah.
Periode keempat (1075 M – 1160 M), dikenal
sebagai masa pengaruh Turki kedua[5].
Pada zaman ini Bani Abbasiyyah dipengaruhi oleh Bani Saljuk yang berkebangsaan
Turki. Tiga Bani Saljuk, yaitu bani Saljuk Syiria, bani Saljuk Irak, dan Bani
Saljuk Kurdistan, bersama-sama mengendalikan para khalifah Dinasti Abbasiyyah.
Periode kelima (1160 M – 1258 M), pada masa
ini Dinasti Abbasiyyah tidak berada dalam intervensi pihak manapun[6].
Namun wliyah kekuasaannya telah banyak yang melepaskan diri, yang tersisa
hanyalah wilayah Baghdad dan sekitarnya. Akibatnya kekuatan Dinasti Abbasiyyah
semakin melemah, hingga tahun 1528 M tentara Mongol datang menyerang dan
mengakhiri sepak terjang Dinasti Abbasiyyah.
2.
Masa
kebangkitan dan keemasan intelektual
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
arti kata intelektual adalah cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan
ilmu pengetahuan. Selain itu juga memiliki arti totalitas pengertian atau
kesadaran, terutama yg menyangkut pemikiran dan pemahaman.[7]
Dalam makalah ini akan dibahas keemasan intelektual dalam makna umum, bukan
hanya berarti ilmu pengetahuan aqli dan naqli saja.
Profesor Nicholson memberikan
sebuah gambaran tentang aktivitas intelektual yang berkembang selama masa
Dinasti Abbasiyyah[8].
Beliau menggambarkan pada masa itu ilmuwan muslim mengembara ke berbagai
belahan dunia untuk mencari ilmu pengetahuan baru. Negara yang pernah mereka
datangi antara lain, Yunani, Romawi, India, Cina, dan masih banyak lagi. Mereka
kembali dengan membawa khazanah ilmu baru, kemudian mengembangkan serta
membukukannya.
Dalam bukunya yang berjudul Sejarah
dan Kebudayaan Islam 3, Prof. Dr. A. Syalabi membagi zaman keemasan
intelektual ini dalam tiga masa,[9]
yaitu:
a.
Masa Kodifikasi
buku-buku ilmiah
Pada masa ini cara berpikir
masyarakat arab berubah drastis. Ketika Dinasti Umayyah masih berkuasa tradisi
hafalan yang berasal dai masa jahiliyyah masih tetap diperyahankan dan
diagungkan. Namun setelah Dinasti Abbasiyyah berkuasa tradisi tersebut perlahan
terkikis, umat islam memulai era baru dengan melakukan kodofikasi pada setiap
ilmu yang mereka ketahui.
Kegiatan kodifikasi terbagi dalam
tiga tingkatan, masing-masing memilki keistimewaannya tersendiri[10].
Pertama, tingkat awal merupakan tingkatan yang paling mudah. Pada
tingkatan ini seorang penulis mencatat kemudian menyalin suatu ide, percakapan
atau hal lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Pada tahap ini seorang
penulis hanya menulis ulang, dan tidak menambahkan gagasan-gagasannya dalam
tulisan tersebut.
Kedua, tingkat
pertengahan yang bertugas membukukan ide-ide yang serupa dengan hadis nabi.
Pada tingkatan inilah hukum fiqih, hadis nabi, dan sirah nabawiyyah
dihimpun dalam satu buku[11].
Ketiga, tingkat
tertinggi yang bertugas menyusun dan memilih ilmu pengetahuan yang ditulis
sebelumnya. Sebelum masa ini para cendikiawan telah menuliskan hafalan dari
para sahabat maupun thabi’in, namun sistematikanya masih belum jelas. Maka dari
itu para cendikiawan tingkat tertinggi ini menyusun kembali tulisan-tuisan
tersebut dalam satu urutan yang jelas. Serta melakukan pengurangan dan
penambahan menyesuaikan kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat pada masa itu.
b.
Masa pengaturan
ilmu-ilmu yang bersumber dari naqli
Ilmu yang bersumber dari naqli,
seperti ilmu tafsir dan hadis mengalami banyak perkembangan. Sebelum masa ini
ilmu tafsir al-Qur’an dan hadis masih bercampur satu sama lain. Al-qu’ran hanya
ditafsirkan sebagian saja, tidak secara keseluruhan, melainkan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat saat itu saja. Dalam penafsiran tersebut terkadang
disebutkan hadis sebagai penguat, namun tidak dijelaskan secara rinci jalur
periwayatanya.
Pada masa Bani Abbasiyyah terjadi
perombakan secara besar-besaran dalam ilmu naqli, khususnya ilmu tafsir
dan hadis. Atas perintah Umar bin Bukair, al-Fara’ menyusun sebuah kitab tafsir
yang menafsirkan ayat al-Qur’an secara keseluruhan[12].
Tafsir al-Fara’ merupakan kitab tafsir pertama yang melakuka hal itu, dan
menginspirasi ulama-ulama lain untuk melakukan hal serupa. Sejak itu kita
tafsir adalah sebuah kitab yang berisi penafsiran seorang mufassir terhadap
ayat al-Qur’an. Bukan nukilan hadis yang disesuaikan denga ayat al-Qur’an.
Sehingga antara ilmu tafsir dan hadis tidak lagi bercampur, masing-masing memiliki
wilayah otonomi tersendiri.
c.
Masa
penerjemahan buku-buku berbahasa asing
Kebangkitan intelektual kaum muslim
pada masa Dinasti Abbasiyyah sangat bergantung pada penerjemahan buku-buku berbahasa
asing. Pada tahun 762 M Khalifah al-Manshur mengumpulkan para cendikiawan,
untuk menerjemahkan buku berbahasa Sansekerta, Yunani, dan Suriyani ke dalam Bahasa
Arab.[13]
Banyak kalangan yang mendukung gerakan ini, terutama para ilmuwan muslim.
Akibatnya geliat penerjemahan buku berbahasa asing semakin berkembang, untuk
mengetahui ilmu yang belum mereka ketahui, kenudian mengembangkannya.
Untuk menunjang penerjemahan
tersebut, pada tahun 832 M Khalifah al-Ma’mun membangun sebuah lembaga bernama
Baitul Hikmah di Baghdad. Lembaga tersebut merupakan sebuah perpustakaan
terbesar yang dimiliki kaum muslim saat itu, dan juga berfungsi sebagai
observatorium.[14]
3.
Faktor di
balik masa keemasan intelaktual Dinasti Abbasiyyah
Dunia telah mengakui bahwa Islam
pernah mencapai puncak kejayaannya pada masa awal Dinasti Abbasiyyah (750 M –
847 M). Telah manyak dasar-dasar lmu pengetahuan yang ditemukan oleh
cendikiawan muslim, dan dikembangka menjadi ilmu pengetahuan modern seperti
sekarang ini. Pastinya ada banyak hal yang melatar belakangi terjadinya masa keemasan
tersebut baik dari internal maupun dari eksternal.
a.
Faktor
internal
v Kondisi
politik yang stabil
Pada masa awal Dinasti Abbasiyyah
khalifah merombak sistem pemerintahan yang telah dicapai oleh Dinasti Umayyah[15].
Dibentuk beberapa sekretariat dan departemen untuk mengurus urusan negara
sesuai tugas masing-masing, serta bertanggung jawab kepada khalifah. Selain itu
Dinasti Abbasiyyah juga menggunakan sistem pemerintahan sentralisasi yang
disebut Nidhamu al-Idariy al-Markaziy[16].
Kebijakan ini diambil untuk menghindari pemberontakan yang mungkin terjadi di
wilayah tertentu. Kalaupun ada pemberontakan maupun serangan dari pihak luar,
semua itu mampu diatasi oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyyah.
Pada periode pertama, Dinasti
Abbasiyyah dipimpin oleh para khalifah yang cerdas da haus ilmu pengetahuan.
Akibatnya hampir seluruh kebijakannya berorientasi pada ilmu pengetahuan. Ekspansi
wilayah tidak lagi dilakukan, mereka labih fokus pada eksplorasi ilmu
pengetahuan. Berkat kestabilan politik dan peran para khalifah yang haus akan
ilmu, perkembangan intelektual bisa dicapai dengan maksimal.
v Kondisi sosial
masyarakat yang heterogen
Sitem kekuasaan primitif yang
menjadi pola organisasi sosial bangsa Arab yang paling mendasar, mulai runtuh
pada masa awal Dinasti Abbasiyyah[17].
Bangsa Arab tak lagi mempunyai hak istimewa dalam pemerintahan. Siapa saja yang
memiliki kecakapan maka ia akan diangkat sebagai pejabat pemerintahan, tanpa
mempedulikan suku bangsa.
Pemerintahan yang terbuka tersebut
mendorong muslim non-Arab, seperti bangsa Persia, India, Mesir, dan lainnya
untuk ikut berpartisipasi dalam memajukan negara. Mereka turut membawa khazanah
keilmuwan baru, serta semangat baru untuk melakukan ekspansi dalam bidang ilmu
pengetahuan. Akibatnya orang muslim Arab pun terpacu untuk mengikuti jalan
mereka. Sehingga persaingan etnis yang sebelumnya terjadi, berubah menjadi
sebuah kerja sama yang solid di antara mereka. Karena kondisi masyarakat yang
damai, ilmu pengetahuan dapat berkembang tanpa ada intervensi dari pihak
manapun.
v Kondisi
ekonomi masyarakat yang sejahtera
Pada masa awal Dinasti Abasiyyah
perkembangan ekonominya cukup stabil, bahkan cenderung meningkat. Khalifah
al-Mansyur berperan penting dalam peletakkan dasar-dasar ekonomi yang kuat,
berkat beliau devisa negara saat itu sangat melimpah.[18]
Devisa tersebut berasal dari berbagai sektor, baik dalam sektor pertanian
maupun perdagangan. Dalam sektor pertanian, khalifah mengambil kebijakan untuk
memperluas laha pertanian, serta membangun saluran irigasi. Sementara sektor
perdagangan difokuskan di kota Baghdad sebagai pusat perdagangan internasional
Dinasti Abbasiyyah.
Dengan sumber devisa negara yang
sangat melimpah tersebut, tentunya juga berpengaruh dalam perkembangan
intelektual pada masa awal Dinasti Abbasiyyah. Ilmuwan yang ingin melakukan penelitian
atau aktivitas intelektual lainnya, akan dengan mudah mendapat pembiayaan dari
negara. Jadi para ilmuwan bisa lebih fokus dalam penelitian mereka, tanpa perlu
takut kekurangan dana.
v Kesadaran kaum muslim terhadap pentingnya ilmu
pengetahuan mulai tergugah
Pada masa Dinasti Umayyah,
kebudayaan Islam masih didominasi oleh peradaban jahiliyyah. Mereka
masih mengagunggan ras dan nasab mereka, keindahan syair masih diagungkan, dan hafalan
masih menjadi menjadi metode pembelajaran yang peling utama. Pada masa Dinasti
Abbasiyyah, kebudayaan tersebut perlahan mulai bergeser, disebabkan sistem
pemerintahan baru yang lebih tertata.
Pada masa awal Dinasti Abbasiyyah
tingkat intelektualitas seseorang tak lagi diukur dari seberapa kuat hafalannya,
karena hafalan dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan saat itu.
Sejak hadirnya kertas yang berasal dari Cina, cendikiawan muslim mulai
menuliskan pemikiran mereka untuk menjaga pemikiran mereka agar tidak mudah
hilang ditelan zaman.
v Didirikan
lembaga pendidikan yang menunjang berkembangnya ilmu pengetahuan
Pada masa awal Dinasti Abbasiyyah para
khalifah banyak mendirikan lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai pusat
pengembangan ilmu pengetahuan. Di antaranya yang paling terkenal adalah Baitul
Hikmah, lembaga tersebut merupakan perpustakaan sekaligus observatorium
yang didirikan di kota Baghdad. Dengan hadirnya Baitul Hikmah semangat
kaum muslim untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan semakin menggebu.
b.
Faktor
eksternal
v Pengaruh
kebudayaan dari bangsa lain
Peradaban Islam pada masa Dinasti
Abbasiyyah banyak dipengaruhi oleh bangsa Yunani, bangsa India, dan bangsa
Persia. Budaya India yang menjadi inspirasi utamanya adalah bidang mistisme dan
matematika. Hal tersebut bermula ketika seorang pengembara India memperkenalkan
naskah astronomi ke Baghdad yang berjudul Shiddanta (dalam Bahasa Arab Sindhind).[19]
Atas perinta khalifah al-Manshur naskah tersebut diterjemahkan oleh Muhammad
bin Ibrahim al-Farazi, yang menjadi seorang astronom pertama dalam Islam.
Selanjutnya yaitu budaya Persia,
yang berpengaruh besar dalam bidang kesenian, satra, dan kaligrafi. Salah satu
karya sastra penting yang dipengaruhi oleh budaya Persia adalah Kalilah wa
Dimmah[20].
Kitab sastra tersebut berisi panduan bagi para pangeran mengenai hukum
pemerintahan, yang disampaikan malalui kisah-kisah hewan. Sebenarnya karya
sastra ini merasal dari Bahasa Sansekerta, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa
Persia, dan akhirnya diterjemahkan kembali dalam Bahasa Arab. Versi Bahasa Arab
dari karya ini telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa, termasuk bahasa-bahasa
Eropa, Ibrani, Turki, dan Melayu[21].
Kebudayaan terakhir yang banyak
mempengaruhi kebudayaan Islam pada masa awal Dinasti Abbasiyyah adalah budaya
Yunani. Selama ekspansi ke tanah Romawi, terutama pada masa khalifah Harun,
menjadi awal masuknya manuskrip-manuskrip Yunani terutama yang berasal dari
Amporium dan Ankara.[22]
Namun bangsa Arab mengalami kesulitan dalam menterjemahkan manuskrip dala Bahasa
Yunani, hingga akhirnya mereka meminta bantuan kepada bangsa Suriah. Mereka
menterjemahkan manuskrip berbahasa Yunani ke dalam bahasa Suryani, baru
kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian bangsa Suriah
memilki pengaruh beasr dalam perkembangan Hellenisme[23]
bagi bangsa Arab. Ilmu yang paling berpengaruh adalah pemikiran filsafat yang
mengandalkan pemikiran rasional.
4.
Perkembangan ilmu,
tekhnologi, dan seni serta para tokohnya
Sebenarnya telaah ilmu pengetahuan
oleh umat Islam sudah dimulai sejak masa akhir Dinasti Umayyah, namun semangat
tersebut baru mencapai puncaknya pada masa awal Dinasti Abbasiyyah. Gerakan
membangun ilmu secara besar-besaran dimulai sejak masa pemerintahan khalifah
Ja’far al-Manshur[24].
Beliau menjadikan Baghdad sebagai ibukota, sehingga kota tersebut menjadi pusat
peradaban umat Islam kala itu.
Beragam langkah dan kebijakan untuk
mengeksplorasi ilmu pengetahuan telah dilakukan, mulai dari penelitian
lapangan, penterjemahan buku-buku asing, maupun mengembangkan ilmu-ilmu yang
telah ada. Berikut ini akan dijelaskan ilmu-ilmu yang berkembang pada masa itu
beserta para tokohnya. Namun sebelumnya, kita kategorikan ilmu-ilmu tersebut
sebagai ilmu naqli dan ilmu aqli.
a.
Ilmu naqli
v Ilmu Tafsir
Sebelum masa Dinasti Abbasiyyah, ayat
al-Qur’an ditafsirkan menggunakan hadis serta atsar yang mereka saksikan
ketika ayat tersebut turun. Pada masa Dinasti Abbasiyyah mulai dipisahkan
antara ilmu tafsir dan ilmu hadis, sehingga keduanya memiliki wilayah
tersendiri namun saling mendukung dan saling melengkapi satu sama lain.[25]
Penafsiran pada masa ini mencakup semua ilmu pengetahuan yang saat itu sudah
diketahui, ilmu hukum, ilmu fiqih, ilmu astronomi dan lainnya.
Secara garis besar corak penafsiran
pada masa awal Dinasti Abbasiyyah terbagi menjadi dua. Pertama, Tafsir
bi al-Ma’tsur. Yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan ayat itu sendiri, atau
dengan hadis nabi[26].
Tokoh yang menggunakan corak ini antara lain; Ibnu Jarrir al-Thabary dan Ibnu
Athiyyah al-Andalusy.
Kedua, Tafsir bil-Ra’yi yaitu
menafsirkan ayat al-Qur’an dengan mengandalkan rasionalitas pikiran. Golongan
yang banyak menggunakan corak tafsir ini adalah aliran Mu’tazillah, di antara
tokoh-tokohnya yang terkenal yaitu; Abu Bakar Asma dan Abu Muslim Muhamad bin
Nashr al-Ishfahany.[27]
Berkat usaha tersebut, kini metode serta corak penafsiran dalam ilmu tafsir
semakin beragam. Dan para mufassir bisa memilih metode mana yang ia
gunakan sesuai dengan ilmu yang ia kuasai.
v Ilmu Hadis
Pada masa ini penulisan hadis tidak
dilakukan secara tekstual, melainkan ditulis ulang dan disempurnakan. Dalam
menuliskan hadis seorang muhadissin terlebih dahulu melakukan
penelitian, kemudian memisahkan antara hadis shahih dan hadis dhaif.
Para muhadissin yang berperan dalam pembukuan hadis pada masa ini antara lain;
al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w.
275 H),[28]
dan masih banyak lagi.
Dengan adanya pembukuan selektif
tersebut, maka naskah dan teks hadis masih bisa kita pelajari hingga sekarang. Kita
dapat membedakan hadis shahih maupun dhaif dengan ketentuan yang
telah dirumuskan oleh para muhadissin pada masa awal Dinasti Abbasiyyah.
Tugas kita sekarang adalah melestarikannya dan memperbaikinya jika sudah tidak
relevan lagi dengan perkembangan zaman.
v Ilmu Bahasa
Arab
Bahasa Arab sebagai bahasa nasional
Dinasti Abbasiyyah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan bentuk
hurufnya telah mencapai kesempurnaan dengan dilengkapi titik untuk membedakan
huruf dengan bentuk sama, seperti yang telah ada sekarang ini. Seiring dengan
meluasnya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, perlahan bahasa Arab menjadi salah satu
bahasa internasional.
Kota Basrah dan Kuffah merupakan
pusat pertumbuhan dan perkembangan ilmu bahasa Arab kala itu. Keduanya saling
berlomba dalam bidang tersebut, sehingga muncul dua aliran yaitu aliran Basrah
dan aliran Kuffah.[29]
Dari kedua kota ini tercipta kitab-kitab yang bernilai tinngi seperti kitab Nahwu,
Sharf, Maani, Qamus, dan lainnya. Bahasa Arab sangat penting bagi umat
Islam, karena untuk mempelajari al-Qur’an dan hadis harus menggunakan bahasa
Arab. Jika pada masa itu belum dilakukan penyempurnaan terhadap huruf Arab,
maka bagi orang-orang non-Arab akan kesulitan dalam mempelajari bahasa Arab.
v Ilmu Fiqh
Pada masa awal Dinasti Abbasiyyah
ilmu Fiqh terpecah menjadi dua aliran, yaitu ahli hadis dan ahli
ra’yi. Ahli hadis adalah aliran yang mengambil ketetapan hukum
berdasarkan hadis nabi, yang termasuk dalam golongan ini adalah Imam Syafi’i
dan Imam Hambali. Sedangkan ahli ra’yi adalah aliran yang menetapkan
ketetapan hukum fiqh berdasarkan akal dan rasionalitas.[30]
Tak jarang terjadi konflik di antara keduanya tentang perbedaan yang terjadi.
Untuk mengatasi konflik tersebut,
para ulama kemudian membangun dasar-dasar ilmu fiqh yang disebut Ushul Fiqh, yang menjadi
landasan para mujtahid dalam mengambil hukum. Dari sinilah muncul
istillah-istilah yang kita kenal sekarang seperti wajib, sunnah, mandub, dan
mustahil. Pada masa ini muncul para empat Imam Fuqaha besar yang ijtihadnya
menjadi rujukan para Fuqaha setelahnya, di antaranya Nu’man ibn Tsabit ibn
Zauthi[31],
Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir[32],
Abu Abdulish Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i[33],
dan Ahmad ibn Hambal ibn Hilal ibn al-Zahily al-Syaibany[34].
b.
Ilmu Aqli
Ilmu aqli merupakan ilmu
yang didasarkan pada rasionalitas manusia, sehingga peran akal sangat
berpengaruh dalam pengembangan ilmu ini. Umat Islam Arab umumnya baru mendalami
ilmu aqli setelah belajar dari bangsa lain di luar Arab. Umat Islam
menterjemahkan karya-karya yang berasal dari luar ke dalam bahasa Arab, seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Setelah mampu menguasai ilmu tersebut, mereka
memadukannya dengan agama Islam sehingga tercipta khazanah ilmu yang baru. Ilmu-ilmu
yang berkembang pesat pada masa itu antara lain:
v Ilmu
Kedokteran
Ketika Khalifah al-Manshur menderita
sakit pada tahun 765, atas nasehat Khalid ibn Barmak[35]
maka dipanggillah Girgis ibn Buchtyishu[36]
untuk mengobati Khalifah. Sejak saat itu keturunan Girgis diangkat menjadi
dokter istana dan pemerintahan.[37]
Ilmu kedokteran pun mulai dieksplorasi,
yang menjadi sumber utama ilmu kedokteran saat itu adalah manuskrip yang
berasal dari Yunani.
Sejak saat itu ilmu kedokteran
menjadi salah satu fokus utama dalam eksplorasi ilmu pengetahua oleh Dinasti
Abbasiyyah, hingga melahirkan tokoh terkenal. Satu di antara tokoh dalam bidang
kedokteran yang paling terkenal adalah Abu Ali Husain bin Abdillah bin Shina[38],
beliau lahir di Afsyana. Selain seorang dokter, Ibnu Shina juga seorang filosof
yang banyak menghasilkan karya. Di antara karya beliau dalam bidang kedokteran
adalah al-Qanun fii al-Thibb[39],yang
menjadi rujukan ilmu kedokteran hingga abad ke-18.[40]
v Ilmu Filsafat
Di antara sekian banyak filosof
muslim, yang pantas menyandang gelar sebagai bapak filosof muslim adalah Abu
Yusuf ibn Ishaq[41].
Dalam konsep ilmu filsafatnya, al-Kindi membagi filsafat ke dalam tiga
kelompok, yaitu:
Pengelompokkan tersebut berdasarkan pada objek
dari kajian ilmu tersebut, semakin tinggi tingkatannya maka objeknya semakin
sulit untuk diindera. Hasil pemikiran al-Kindi banyak menginspirasi para
ilmuwan barat, seperti Roger Bacon yang menjadikan karya al-Kindi tentang optik
sebagai rujukan utama.
v Ilmu Optik
Sebelum masa keemasan intelektual
Dinasti Abbasiyyah, perhatian masyarakat tentang adanya optik masih sangat
kurang. Hal itu disebabkan karena kebutuhan mereka akan optik belum terlalu
urgen. Kemudian muncullah seorang ilmuwan muslim bernama Abu Ali al-Hasan ibn
al-Haytam[45]
yang mulai memperkenalkan ilmu optik kepada dunia. Alhazen mewariskan sebuah
teori penting, orang barat biasa menyebutnya dengan “Alhazen Problem[46]”.
Melalui percobaannya Alhazen menemukan lensa pembesar, lensa teleskop, serta
lensa mikroskop yang sangat penting bagi kehidupan ilmu pengetahuan sekarang.
v Ilmu Astronomi
Bintang-bintang di angkasa dan
benda-benda langit lainnya memang telah sejak lama menjadi perhatian manusia,
namun mereka belum mampu untuk
mempelajarinya. Baru pada masa awal Dinasti Abbasiyyah semangat tersebut mulai
bergejolak. Diawali dengan penterjemahan buku tentang astronomi ke dalam bahasa
Arab, seperti buku Shidanta dari India, dan Yunani Almagest karya
Ptolomeus. Buku tersebut menjadi rujukan
utama dalam mengembangkan ilmu astronomi.
Pada awal abad IX masehi, atas
perintah al-Ma’mun sebuah observatorium dibangun di kota Yunde Sahpur, serta
Baitul Hikmah di Baghdad.[47]
Waktu itu observatorium telah dilengkapi beragam alat astronomi, seperti quadrant,
astrolobe[48],
dial[49],
dan globe. Pada masa ini telah dilakukan usaha untuk mengukur keliling palnet
bumi, yang menghasilkan kesimpulan keliling Bumi adalah 20.400 mil, dengan
garis tengah 6.500 mil. Ilmuwan yang berperan dalam penelitian tersebut antara
lain, Musa ibn Syakir dan al-Khawarizmi. Faktanya ilmu astronomi yang sekarang
ini begitu maju, tidak bisa dilepaskan dari peran kaum muslim yang telah
meletakkan dasar-dasarnya.
v Ilmu
Matematika
Entah kita sadari atau tidak,
angka-angka yang kita kenal sekrang ini merupakan salah satu kontribusi ilmuwan
muslim dalam bidang matematika. Sistem angka tersebut mulanya berasal dari
India, yang hanya terdiri dari angka 1,2,3,4, dan 5. Kemudian al-Khawarizmi
menambahkan angka 6,7,8, dan 9, serta disusul dengan penciptaan angka 0. Dunia
barat baru menggunakan sistem angka ini 250 tahun kemuidian,satu paket angka
yang terdiri dari sepuluh bilangan.
Pada abad VII Masehi Leonardo
Fibbonacci melakukan penelitian tentang aljabar di negara Mesir, Syiria,
Yunani, dan Sisilia. Ia ingin memastikan apakah aljabar merupakan hasil temuan
ilmuwan muslim atau bukan. Dari hasil penelitiannya itu ia berkesimpulan bahwa
aljabar memang hasil pemikiran kaum muslim.
BAB III
Penutup
1.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang cukup panjang
di atas, maka penulis berksimpulan bahwa peradaban Islam pada awal masa Dinasti
Abbasiyyah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di belahan dunia lain
ketika itu bangsa barat masih terkungkung dalam zaman kegelapan, mereka masih
percaya dengan hal-hal mistik, serta masih primitif. Namun Umat Islam di timur
telah mencapai zaman keemasannya, hal tersebut merupakan sebuah prestasi yang
sangat membanggakan. Hal tersebut dapat dilihat dari fakta dan bukti sejrah yag
hingga sekarang masih dapat kita pelajari, bahkan dunia internasional pun
mengakui hal tersebut.
Namun
jika kita kontekstualisasikan dengan zaman sekarang, zaman keemasan tersebut
seakan berbalik arah. Kini negara-negara barat berkembang pesat dalam segala
bidang, semntara itu umat Islam justru masih tertinggal. Lantas muncul sebuah
pertanyaan, apa penyebab dari kemunduran ini? Kita sebagai umat Islam hendaknya
bukan hanya mengagumi dan membanggakan apa yang telah leluhur kita capai,
melainkan juga mempertahankan dan mengembangkannya gar masa kejayaan tersebut
dalam diraih kembali. Jadi masa kejayaan tersebut seakan tidak ada artinya jika
kaum muslim sekarang hanya jumud pada keadaan, dan hanya memikirkan urusan ukhrawi
saja tanpa diimbangi ikhtiyar duniawi.
2.
Daftar Pustaka
v
al-Farmawi, Abdull Hayy, Al-Bidayah fii Tafsir Maudhu’i, Kairo:
1977.
v
Bahasa, Kamus Pustaka, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
v
Hitti, Philip K. History of The Arabs, terjemahan Bahasa
Indonesia, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
v
Partanto, Pius A. dan al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah
Populer, Surabaya: Arkola, 2001.
v
Sunanto, Musyrifah, Sejarah
Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media,2003.
v
Syaefudin, Machfud, dkk, Dinamika
Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013.
v
Syalabi, A. Sejarah dan Kebudayaan Islam 3,
Jakarta: al-Husna Zikra, 1997.
v
Thohir, Ajid, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Bandung: Mizan, 2001.
v
Wahid, Achmadi, Sejarah
Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Insani
Madani, 2008.
[1]
Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka
Ilmu Yogyakarta, 2013, hal. 91.
[2]
Achmadi Wahid, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam,
Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008, hal. 61.
[3]
Achmadi Wahid, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam,
Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008, hal. 61.
[4]
Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka
Ilmu Yogyakarta, 2013, hal. 92.
[5]
Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka
Ilmu Yogyakarta, 2013, hal. 92.
[6]
Achmadi Wahid, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam,
Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008, hal. 61.
[7]
Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa,
2008, hal. 612.
[8]
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra,
1997, hal. 185.
[9]
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra,
1997, hal. 186.
[10]
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra,
1997, hal. 186.
[11]
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra,
1997, hal. 187.
[12]
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra,
1997, hal. 189.
[13]
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra,
1997, hal. 198.
[14]
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra,
1997, hal. 198.
[15]
Achmadi Wahid, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam,
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008, hal. 61.
[16]
Achmadi Wahid, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam,
Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008, hal. 62.
[17]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemahan Bahasa Indonesia,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal. 414.
[18]
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Bandung:
Mizan, 2001, hal. 57.
[19]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemahan Bahasa Indonesia,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal. 382.
[20]
Kisah tentang Bidpai
[21]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemahan Bahasa Indonesia,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal. 385.
[22]
Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemahan Bahasa Indonesia,
Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal. 385.
[23]
Kebudayaan Yunani Kuno, Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus
Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2001, hal.216.
[24]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media,2003,
hal. 56.
[25]
Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Perspektif Historis,
Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013, hal. 75.
[26]
Abdull Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fii Tafsir Maudhu’i, Kairo: 1977,
hal. 35.
[27]
Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Perspektif Historis,
Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013, hal 60.
[28]
Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Perspektif Historis,
Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013, hal 76.
[29]
Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Perspektif Historis,
Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013, hal 77.
[30]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media,2003,
hal. 74.
[31]
Imam Abu Hanifah, lahir di Kuffah pada tahun 80 H.
[32]
Imam Malik, lahir di Madinah tahun 93 H.
[33]
Imam Syafi’i, lahir di Askalan.
[34]
Imam Ahmad, lahir tahun 164 H.
[35]
Seorang berkebangsaan Persia yang menjabat sebagai menteri pada masa
pemerintahan khalifah al-Manshur.
[36]
Seorang kepala Rumah Sakit Yunde Sahpur.
[37]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media,2003,
hal. 74.
[38]
Lebih dikenal dengan nama Ibnu Shina, orang barat biasa menyebutnya Avichena.
Beliau dianugerahi gelar Bapak Dokter atas keluasan ilmunya dalam bidang kedokteran.
[39]
Sebuah ensiklopedi tentang ilmu kedokteran.
[40]
Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Toha Putra, 2009, hal. 103.
[41]
Dikenal dengan nama al-Kindi, Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik,
Jakarta: Prenada Media,2003, hal 87.
[42]
Ilmu fisika
[43]
Ilmu matematika
[44]
Ilmu ketuhanan
[45]
Orang barat menyebutnya Alhazen, beliau merupakan ilmuwan dari Basrah yang
pindah ke Kairo dan menjadi pegawai pemerintahanpada masa Khalifah al-Hakim
Dinasti Fatimiyyah.
[46]
Teori tersebut berbunyi, “Sebuah cekung bulat atau sebuah cembung bundar dan
sebuah kaca berbentuk silinder atau cermin tirus dapat dipergunakan untuk
mencari letak suatu benda. Dari kaca itu dapat diperoleh pengambilan cahaya
pada mata pada letak tertentu.”
[47]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media,2003,
hal 105.
[48]
Alat pengukur ketinggian.
No comments:
Post a Comment