Wednesday 4 March 2015

Masa Keemasan Intelektual Bani Abbasiyyah

Masa Keemasan Intelektual Bani Abbasiyyah

Makalah Disusun untuk Memenuhi Tugas Ulangan Akhir Semester
Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengmapu: Dr. Nasihun Amin, M.Ag.



Disusun oleh:
Ali Nashokha (134211079)

Jurusan Tafsir dan Hadis
Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
2015



Bab I
Pendahuluan
1.      Latar Belakang Permasalahan
Sebelum Islam turun ke dunia melalui perantara Nabi Muhammad, bangsa arab tengah mengalami zaman jahiliyyah. Sangat sedikit di antara merekayang mengenal ilmu pengetahuan, hidup mereka hanya menuruti keinginan dan hawa nafsu saja. Akibatnya tejadi pertikaian dan penindasan hingga berlakulah hukum rimba, yang kuat menguasai yang lemah.
Virus jahiliyyah tidak hanya menjangkit bangsa Arab, namun juga bangsa-bangsa besar lain di dunia kala itu. Fakta sejarah menujukkan bahwa pada masa itu bangsa Byantium, bangsa Persia, dan bangsa India juga mengalami hal serupa. Raja mereka berkuasa dengan semena-mena, dan agama seakan telah menghilang dari hati mereka.
Oleh karena itu Nami Muhammad diutus untuk menghapus sifat jahiliyyah dari hati dan pikiran manusia, dengan cahaya Islam. Salah satu cara yang digunakan rasul untuk menumbangkan sifat jahiliyyah adalah melawannya menggunakan pengetahuan. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Q.S. al-Alaq ayat 1-5, yang sangat menekankan pentingnya ilmu pengetahuan.
Sekitar satu abad setelah rasul wafat, berdirilah sebuah dinasti yang sangat besar dan terkenal dengan kemajuan ilmu pengetahuannya. Karena kemajuan yang luar biasa tersebut, ia sering dianggap sebagai masa keemasan Islam. Dinasti  tersebut adalah Dinasti Abbasiyyah, yang mencapai puncak kejayaan pada masa kepemimpina Harun al-Rasyid.
Dari gambaran singkat tersebut, pastinya ada hal-hal menarik harus terungkapkan. Hal tersebut sangat penting, khususnya bagi umat Islam agar mampu belajar dan menghargai sejarah leluhurnya. Oleh karena itu makalah ini disusun untuk untuk mengungkap keberhasilan Bani Abbasiyyah, serta berusaha menjelaskan dengan menggunakan bahasa yang menarik dan mudah dipahami.
2.      Rumusan Masalah
a.       Sejarah singkat Dinasti Abbasiyyah
b.      Masa kebangkitan dan keemasan intelektual
c.       Faktor di balik keemasan intelaktual Dinasti Abbasiyyah
d.      Perkembangan sains, budaya, tekhnologi serta para tokohnya, dan pengaruhnya terhadap kehidupa zaman sekarang
e.       Peninggalan Dinasti Abbasiyyah yang masih tersisa
Bab II
Pembahasan
1.      Sejarah singkat Bani Abbasiyyah
Dinasti Abbasiyyah merupakan suatu dinasti Islam yang didirikan oleh Abu Abbas al-Shaffah, seorang keturunan Ibn Abbas, paman Nabi Muhammad. Dinasti Abbasiyyah mampu bertahan selama lebih dari lima abad, yaitu selama rentan waktu 750 M – 1258 M[1]. Hal tersebut merupakan sebuah realisasi dari janji Bani Hasyim, bahwa yang berhak menjadi khalifah sepeninggal Nabi Muhammad adalah keturunan Nabi Muhammad sendiri.
Berdasarkan situasi politiknya, para sejarahwan membagi masa Bani Abbasiyyah dalam lima masa. Periode pertama (750 M – 847 M), dikenal juga sebagai  periode Persia pertama[2]. Disebut demikian karena pada masa ini banyak orang Persia yang memilki pengaruh besar dalam pemerintahan. Pada masa ini Islam mengalami zaman keemasan dalam segala bidang, khususnya ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Akhirnya mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid.
Periode kedua (847 M – 945 M), disebut juga masa pengaruh Turki pertama[3]. Pada masa ini pemerintahan Bani Abbasiyyah banyak dipengaruhi oleh bangsa Turki, yang mempunyai jabatan dalam pemerintahan. Pada zaman ini kejayaan Islam mulai memudar, karena kebebasan berpikir mulai dibatasi oleh aliran salaf.
Periode ketiga, (945 M – 1075 M), disebut juga sebagai periode Persia kedua[4]. Pada masa ini khalifah hanya memiliki peran simbolik dan formalitas, Dinasti Abbasiyyah masih berdiri dikendalikan oleh Bani Buwaih. Keluarga Bani Buwaih banyak yang menjadi orang kepercayaan khalifah, sehingga dapat dengan mudah mempengaruhinya. Akibatnya Bani Buwaih memiliki kekuasaan melebihi kuasa khalifah.
Periode keempat (1075 M – 1160 M), dikenal sebagai masa pengaruh Turki kedua[5]. Pada zaman ini Bani Abbasiyyah dipengaruhi oleh Bani Saljuk yang berkebangsaan Turki. Tiga Bani Saljuk, yaitu bani Saljuk Syiria, bani Saljuk Irak, dan Bani Saljuk Kurdistan, bersama-sama mengendalikan para khalifah Dinasti Abbasiyyah.
Periode kelima (1160 M – 1258 M), pada masa ini Dinasti Abbasiyyah tidak berada dalam intervensi pihak manapun[6]. Namun wliyah kekuasaannya telah banyak yang melepaskan diri, yang tersisa hanyalah wilayah Baghdad dan sekitarnya. Akibatnya kekuatan Dinasti Abbasiyyah semakin melemah, hingga tahun 1528 M tentara Mongol datang menyerang dan mengakhiri sepak terjang Dinasti Abbasiyyah.
2.      Masa kebangkitan dan keemasan intelektual
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata intelektual adalah cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Selain itu juga memiliki arti totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yg menyangkut pemikiran dan pemahaman.[7] Dalam makalah ini akan dibahas keemasan intelektual dalam makna umum, bukan hanya berarti ilmu pengetahuan aqli dan naqli saja.
Profesor Nicholson memberikan sebuah gambaran tentang aktivitas intelektual yang berkembang selama masa Dinasti Abbasiyyah[8]. Beliau menggambarkan pada masa itu ilmuwan muslim mengembara ke berbagai belahan dunia untuk mencari ilmu pengetahuan baru. Negara yang pernah mereka datangi antara lain, Yunani, Romawi, India, Cina, dan masih banyak lagi. Mereka kembali dengan membawa khazanah ilmu baru, kemudian mengembangkan serta membukukannya.
Dalam bukunya yang berjudul Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Prof. Dr. A. Syalabi membagi zaman keemasan intelektual ini dalam tiga masa,[9] yaitu:
a.      Masa Kodifikasi buku-buku ilmiah
Pada masa ini cara berpikir masyarakat arab berubah drastis. Ketika Dinasti Umayyah masih berkuasa tradisi hafalan yang berasal dai masa jahiliyyah masih tetap diperyahankan dan diagungkan. Namun setelah Dinasti Abbasiyyah berkuasa tradisi tersebut perlahan terkikis, umat islam memulai era baru dengan melakukan kodofikasi pada setiap ilmu yang mereka ketahui.
Kegiatan kodifikasi terbagi dalam tiga tingkatan, masing-masing memilki keistimewaannya tersendiri[10]. Pertama, tingkat awal merupakan tingkatan yang paling mudah. Pada tingkatan ini seorang penulis mencatat kemudian menyalin suatu ide, percakapan atau hal lain yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan. Pada tahap ini seorang penulis hanya menulis ulang, dan tidak menambahkan gagasan-gagasannya dalam tulisan tersebut.
Kedua, tingkat pertengahan yang bertugas membukukan ide-ide yang serupa dengan hadis nabi. Pada tingkatan inilah hukum fiqih, hadis nabi, dan sirah nabawiyyah dihimpun dalam satu buku[11].
Ketiga, tingkat tertinggi yang bertugas menyusun dan memilih ilmu pengetahuan yang ditulis sebelumnya. Sebelum masa ini para cendikiawan telah menuliskan hafalan dari para sahabat maupun thabi’in, namun sistematikanya masih belum jelas. Maka dari itu para cendikiawan tingkat tertinggi ini menyusun kembali tulisan-tuisan tersebut dalam satu urutan yang jelas. Serta melakukan pengurangan dan penambahan menyesuaikan kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat pada masa itu.
b.      Masa pengaturan ilmu-ilmu yang bersumber dari naqli
Ilmu yang bersumber dari naqli, seperti ilmu tafsir dan hadis mengalami banyak perkembangan. Sebelum masa ini ilmu tafsir al-Qur’an dan hadis masih bercampur satu sama lain. Al-qu’ran hanya ditafsirkan sebagian saja, tidak secara keseluruhan, melainkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat saat itu saja. Dalam penafsiran tersebut terkadang disebutkan hadis sebagai penguat, namun tidak dijelaskan secara rinci jalur periwayatanya.
Pada masa Bani Abbasiyyah terjadi perombakan secara besar-besaran dalam ilmu naqli, khususnya ilmu tafsir dan hadis. Atas perintah Umar bin Bukair, al-Fara’ menyusun sebuah kitab tafsir yang menafsirkan ayat al-Qur’an secara keseluruhan[12]. Tafsir al-Fara’ merupakan kitab tafsir pertama yang melakuka hal itu, dan menginspirasi ulama-ulama lain untuk melakukan hal serupa. Sejak itu kita tafsir adalah sebuah kitab yang berisi penafsiran seorang mufassir terhadap ayat al-Qur’an. Bukan nukilan hadis yang disesuaikan denga ayat al-Qur’an. Sehingga antara ilmu tafsir dan hadis tidak lagi bercampur, masing-masing memiliki wilayah otonomi tersendiri.
c.       Masa penerjemahan buku-buku berbahasa asing
Kebangkitan intelektual kaum muslim pada masa Dinasti Abbasiyyah sangat bergantung pada penerjemahan buku-buku berbahasa asing. Pada tahun 762 M Khalifah al-Manshur mengumpulkan para cendikiawan, untuk menerjemahkan buku berbahasa Sansekerta, Yunani, dan Suriyani ke dalam Bahasa Arab.[13] Banyak kalangan yang mendukung gerakan ini, terutama para ilmuwan muslim. Akibatnya geliat penerjemahan buku berbahasa asing semakin berkembang, untuk mengetahui ilmu yang belum mereka ketahui, kenudian mengembangkannya.
Untuk menunjang penerjemahan tersebut, pada tahun 832 M Khalifah al-Ma’mun membangun sebuah lembaga bernama Baitul Hikmah di Baghdad. Lembaga tersebut merupakan sebuah perpustakaan terbesar yang dimiliki kaum muslim saat itu, dan juga berfungsi sebagai observatorium.[14]
3.      Faktor di balik masa keemasan intelaktual Dinasti Abbasiyyah
Dunia telah mengakui bahwa Islam pernah mencapai puncak kejayaannya pada masa awal Dinasti Abbasiyyah (750 M – 847 M). Telah manyak dasar-dasar lmu pengetahuan yang ditemukan oleh cendikiawan muslim, dan dikembangka menjadi ilmu pengetahuan modern seperti sekarang ini. Pastinya ada banyak hal yang melatar belakangi terjadinya masa keemasan tersebut baik dari internal maupun dari eksternal.
a.      Faktor internal
v  Kondisi politik yang stabil
Pada masa awal Dinasti Abbasiyyah khalifah merombak sistem pemerintahan yang telah dicapai oleh Dinasti Umayyah[15]. Dibentuk beberapa sekretariat dan departemen untuk mengurus urusan negara sesuai tugas masing-masing, serta bertanggung jawab kepada khalifah. Selain itu Dinasti Abbasiyyah juga menggunakan sistem pemerintahan sentralisasi yang disebut Nidhamu al-Idariy al-Markaziy[16]. Kebijakan ini diambil untuk menghindari pemberontakan yang mungkin terjadi di wilayah tertentu. Kalaupun ada pemberontakan maupun serangan dari pihak luar, semua itu mampu diatasi oleh pemerintahan Dinasti Abbasiyyah.
Pada periode pertama, Dinasti Abbasiyyah dipimpin oleh para khalifah yang cerdas da haus ilmu pengetahuan. Akibatnya hampir seluruh kebijakannya berorientasi pada ilmu pengetahuan. Ekspansi wilayah tidak lagi dilakukan, mereka labih fokus pada eksplorasi ilmu pengetahuan. Berkat kestabilan politik dan peran para khalifah yang haus akan ilmu, perkembangan intelektual bisa dicapai dengan maksimal.
v  Kondisi sosial masyarakat yang heterogen
Sitem kekuasaan primitif yang menjadi pola organisasi sosial bangsa Arab yang paling mendasar, mulai runtuh pada masa awal Dinasti Abbasiyyah[17]. Bangsa Arab tak lagi mempunyai hak istimewa dalam pemerintahan. Siapa saja yang memiliki kecakapan maka ia akan diangkat sebagai pejabat pemerintahan, tanpa mempedulikan suku bangsa.
Pemerintahan yang terbuka tersebut mendorong muslim non-Arab, seperti bangsa Persia, India, Mesir, dan lainnya untuk ikut berpartisipasi dalam memajukan negara. Mereka turut membawa khazanah keilmuwan baru, serta semangat baru untuk melakukan ekspansi dalam bidang ilmu pengetahuan. Akibatnya orang muslim Arab pun terpacu untuk mengikuti jalan mereka. Sehingga persaingan etnis yang sebelumnya terjadi, berubah menjadi sebuah kerja sama yang solid di antara mereka. Karena kondisi masyarakat yang damai, ilmu pengetahuan dapat berkembang tanpa ada intervensi dari pihak manapun.
v  Kondisi ekonomi masyarakat yang sejahtera
Pada masa awal Dinasti Abasiyyah perkembangan ekonominya cukup stabil, bahkan cenderung meningkat. Khalifah al-Mansyur berperan penting dalam peletakkan dasar-dasar ekonomi yang kuat, berkat beliau devisa negara saat itu sangat melimpah.[18] Devisa tersebut berasal dari berbagai sektor, baik dalam sektor pertanian maupun perdagangan. Dalam sektor pertanian, khalifah mengambil kebijakan untuk memperluas laha pertanian, serta membangun saluran irigasi. Sementara sektor perdagangan difokuskan di kota Baghdad sebagai pusat perdagangan internasional Dinasti Abbasiyyah.
Dengan sumber devisa negara yang sangat melimpah tersebut, tentunya juga berpengaruh dalam perkembangan intelektual pada masa awal Dinasti Abbasiyyah. Ilmuwan yang ingin melakukan penelitian atau aktivitas intelektual lainnya, akan dengan mudah mendapat pembiayaan dari negara. Jadi para ilmuwan bisa lebih fokus dalam penelitian mereka, tanpa perlu takut kekurangan dana.
v  Kesadaran  kaum muslim terhadap pentingnya ilmu pengetahuan mulai tergugah
Pada masa Dinasti Umayyah, kebudayaan Islam masih didominasi oleh peradaban jahiliyyah. Mereka masih mengagunggan ras dan nasab mereka, keindahan syair masih diagungkan, dan hafalan masih menjadi menjadi metode pembelajaran yang peling utama. Pada masa Dinasti Abbasiyyah, kebudayaan tersebut perlahan mulai bergeser, disebabkan sistem pemerintahan baru yang lebih tertata.
Pada masa awal Dinasti Abbasiyyah tingkat intelektualitas seseorang tak lagi diukur dari seberapa kuat hafalannya, karena hafalan dianggap sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan saat itu. Sejak hadirnya kertas yang berasal dari Cina, cendikiawan muslim mulai menuliskan pemikiran mereka untuk menjaga pemikiran mereka agar tidak mudah hilang ditelan zaman.
v  Didirikan lembaga pendidikan yang menunjang berkembangnya ilmu pengetahuan
Pada masa awal Dinasti Abbasiyyah para khalifah banyak mendirikan lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan. Di antaranya yang paling terkenal adalah Baitul Hikmah, lembaga tersebut merupakan perpustakaan sekaligus observatorium yang didirikan di kota Baghdad. Dengan hadirnya Baitul Hikmah semangat kaum muslim untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan semakin menggebu.
b.      Faktor eksternal
v  Pengaruh kebudayaan dari bangsa lain
Peradaban Islam pada masa Dinasti Abbasiyyah banyak dipengaruhi oleh bangsa Yunani, bangsa India, dan bangsa Persia. Budaya India yang menjadi inspirasi utamanya adalah bidang mistisme dan matematika. Hal tersebut bermula ketika seorang pengembara India memperkenalkan naskah astronomi ke Baghdad yang berjudul Shiddanta (dalam Bahasa Arab Sindhind).[19] Atas perinta khalifah al-Manshur naskah tersebut diterjemahkan oleh Muhammad bin Ibrahim al-Farazi, yang menjadi seorang astronom pertama dalam Islam.
Selanjutnya yaitu budaya Persia, yang berpengaruh besar dalam bidang kesenian, satra, dan kaligrafi. Salah satu karya sastra penting yang dipengaruhi oleh budaya Persia adalah Kalilah wa Dimmah[20]. Kitab sastra tersebut berisi panduan bagi para pangeran mengenai hukum pemerintahan, yang disampaikan malalui kisah-kisah hewan. Sebenarnya karya sastra ini merasal dari Bahasa Sansekerta, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Persia, dan akhirnya diterjemahkan kembali dalam Bahasa Arab. Versi Bahasa Arab dari karya ini telah diterjemahkan ke dalam 40 bahasa, termasuk bahasa-bahasa Eropa, Ibrani, Turki, dan Melayu[21].
Kebudayaan terakhir yang banyak mempengaruhi kebudayaan Islam pada masa awal Dinasti Abbasiyyah adalah budaya Yunani. Selama ekspansi ke tanah Romawi, terutama pada masa khalifah Harun, menjadi awal masuknya manuskrip-manuskrip Yunani terutama yang berasal dari Amporium dan Ankara.[22] Namun bangsa Arab mengalami kesulitan dalam menterjemahkan manuskrip dala Bahasa Yunani, hingga akhirnya mereka meminta bantuan kepada bangsa Suriah. Mereka menterjemahkan manuskrip berbahasa Yunani ke dalam bahasa Suryani, baru kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dengan demikian bangsa Suriah memilki pengaruh beasr dalam perkembangan Hellenisme[23] bagi bangsa Arab. Ilmu yang paling berpengaruh adalah pemikiran filsafat yang mengandalkan pemikiran rasional.
4.      Perkembangan ilmu, tekhnologi, dan seni serta para tokohnya
Sebenarnya telaah ilmu pengetahuan oleh umat Islam sudah dimulai sejak masa akhir Dinasti Umayyah, namun semangat tersebut baru mencapai puncaknya pada masa awal Dinasti Abbasiyyah. Gerakan membangun ilmu secara besar-besaran dimulai sejak masa pemerintahan khalifah Ja’far al-Manshur[24]. Beliau menjadikan Baghdad sebagai ibukota, sehingga kota tersebut menjadi pusat peradaban umat Islam kala itu.
Beragam langkah dan kebijakan untuk mengeksplorasi ilmu pengetahuan telah dilakukan, mulai dari penelitian lapangan, penterjemahan buku-buku asing, maupun mengembangkan ilmu-ilmu yang telah ada. Berikut ini akan dijelaskan ilmu-ilmu yang berkembang pada masa itu beserta para tokohnya. Namun sebelumnya, kita kategorikan ilmu-ilmu tersebut sebagai ilmu naqli dan ilmu aqli.
a.      Ilmu naqli
v  Ilmu Tafsir
Sebelum masa Dinasti Abbasiyyah, ayat al-Qur’an ditafsirkan menggunakan hadis serta atsar yang mereka saksikan ketika ayat tersebut turun. Pada masa Dinasti Abbasiyyah mulai dipisahkan antara ilmu tafsir dan ilmu hadis, sehingga keduanya memiliki wilayah tersendiri namun saling mendukung dan saling melengkapi satu sama lain.[25] Penafsiran pada masa ini mencakup semua ilmu pengetahuan yang saat itu sudah diketahui, ilmu hukum, ilmu fiqih, ilmu astronomi dan lainnya.
Secara garis besar corak penafsiran pada masa awal Dinasti Abbasiyyah terbagi menjadi dua. Pertama, Tafsir bi al-Ma’tsur. Yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan ayat itu sendiri, atau dengan hadis nabi[26]. Tokoh yang menggunakan corak ini antara lain; Ibnu Jarrir al-Thabary dan Ibnu Athiyyah al-Andalusy.
Kedua, Tafsir bil-Ra’yi yaitu menafsirkan ayat al-Qur’an dengan mengandalkan rasionalitas pikiran. Golongan yang banyak menggunakan corak tafsir ini adalah aliran Mu’tazillah, di antara tokoh-tokohnya yang terkenal yaitu; Abu Bakar Asma dan Abu Muslim Muhamad bin Nashr al-Ishfahany.[27] Berkat usaha tersebut, kini metode serta corak penafsiran dalam ilmu tafsir semakin beragam. Dan para mufassir bisa memilih metode mana yang ia gunakan sesuai dengan ilmu yang ia kuasai.
v  Ilmu Hadis
Pada masa ini penulisan hadis tidak dilakukan secara tekstual, melainkan ditulis ulang dan disempurnakan. Dalam menuliskan hadis seorang muhadissin terlebih dahulu melakukan penelitian, kemudian memisahkan antara hadis shahih dan hadis dhaif. Para muhadissin yang berperan dalam pembukuan hadis pada masa ini antara lain; al-Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Ibn Majah (w. 273 H), Abu Dawud (w. 275 H),[28] dan masih banyak lagi.
Dengan adanya pembukuan selektif tersebut, maka naskah dan teks hadis masih bisa kita pelajari hingga sekarang. Kita dapat membedakan hadis shahih maupun dhaif dengan ketentuan yang telah dirumuskan oleh para muhadissin pada masa awal Dinasti Abbasiyyah. Tugas kita sekarang adalah melestarikannya dan memperbaikinya jika sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman.
v  Ilmu Bahasa Arab
Bahasa Arab sebagai bahasa nasional Dinasti Abbasiyyah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Bahkan bentuk hurufnya telah mencapai kesempurnaan dengan dilengkapi titik untuk membedakan huruf dengan bentuk sama, seperti yang telah ada sekarang ini. Seiring dengan meluasnya kekuasaan Dinasti Abbasiyyah, perlahan bahasa Arab menjadi salah satu bahasa internasional.
Kota Basrah dan Kuffah merupakan pusat pertumbuhan dan perkembangan ilmu bahasa Arab kala itu. Keduanya saling berlomba dalam bidang tersebut, sehingga muncul dua aliran yaitu aliran Basrah dan aliran Kuffah.[29] Dari kedua kota ini tercipta kitab-kitab yang bernilai tinngi seperti kitab Nahwu, Sharf, Maani, Qamus, dan lainnya. Bahasa Arab sangat penting bagi umat Islam, karena untuk mempelajari al-Qur’an dan hadis harus menggunakan bahasa Arab. Jika pada masa itu belum dilakukan penyempurnaan terhadap huruf Arab, maka bagi orang-orang non-Arab akan kesulitan dalam mempelajari bahasa Arab.
v  Ilmu Fiqh
Pada masa awal Dinasti Abbasiyyah ilmu Fiqh terpecah menjadi dua aliran, yaitu ahli hadis dan ahli ra’yi. Ahli hadis adalah aliran yang mengambil ketetapan hukum berdasarkan hadis nabi, yang termasuk dalam golongan ini adalah Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Sedangkan ahli ra’yi adalah aliran yang menetapkan ketetapan hukum fiqh berdasarkan akal dan rasionalitas.[30] Tak jarang terjadi konflik di antara keduanya tentang perbedaan yang terjadi.
Untuk mengatasi konflik tersebut, para ulama kemudian membangun dasar-dasar ilmu fiqh  yang disebut Ushul Fiqh, yang menjadi landasan para mujtahid dalam mengambil hukum. Dari sinilah muncul istillah-istilah yang kita kenal sekarang seperti wajib, sunnah, mandub, dan mustahil. Pada masa ini muncul para empat Imam Fuqaha besar yang ijtihadnya menjadi rujukan para Fuqaha setelahnya, di antaranya Nu’man ibn Tsabit ibn Zauthi[31], Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir[32], Abu Abdulish Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Usman ibn Syafi’i[33], dan Ahmad ibn Hambal ibn Hilal ibn al-Zahily al-Syaibany[34].
b.      Ilmu Aqli
Ilmu aqli merupakan ilmu yang didasarkan pada rasionalitas manusia, sehingga peran akal sangat berpengaruh dalam pengembangan ilmu ini. Umat Islam Arab umumnya baru mendalami ilmu aqli setelah belajar dari bangsa lain di luar Arab. Umat Islam menterjemahkan karya-karya yang berasal dari luar ke dalam bahasa Arab, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Setelah mampu menguasai ilmu tersebut, mereka memadukannya dengan agama Islam sehingga tercipta khazanah ilmu yang baru. Ilmu-ilmu yang berkembang pesat pada masa itu antara lain:
v  Ilmu Kedokteran
Ketika Khalifah al-Manshur menderita sakit pada tahun 765, atas nasehat Khalid ibn Barmak[35] maka dipanggillah Girgis ibn Buchtyishu[36] untuk mengobati Khalifah. Sejak saat itu keturunan Girgis diangkat menjadi dokter istana dan pemerintahan.[37] Ilmu kedokteran pun mulai  dieksplorasi, yang menjadi sumber utama ilmu kedokteran saat itu adalah manuskrip yang berasal dari Yunani.
Sejak saat itu ilmu kedokteran menjadi salah satu fokus utama dalam eksplorasi ilmu pengetahua oleh Dinasti Abbasiyyah, hingga melahirkan tokoh terkenal. Satu di antara tokoh dalam bidang kedokteran yang paling terkenal adalah Abu Ali Husain bin Abdillah bin Shina[38], beliau lahir di Afsyana. Selain seorang dokter, Ibnu Shina juga seorang filosof yang banyak menghasilkan karya. Di antara karya beliau dalam bidang kedokteran adalah al-Qanun fii al-Thibb[39],yang menjadi rujukan ilmu kedokteran hingga abad ke-18.[40]
v  Ilmu Filsafat
Di antara sekian banyak filosof muslim, yang pantas menyandang gelar sebagai bapak filosof muslim adalah Abu Yusuf ibn Ishaq[41]. Dalam konsep ilmu filsafatnya, al-Kindi membagi filsafat ke dalam tiga kelompok, yaitu:
·         Ilmu Thibbiyyat[42] sebagai tingkatan yang paling bawah.
·         Ilmu al-Riyadhi[43] sebagai ilmu tingkat menengah.
·         Ilmu Rububiyyah[44] sebagai tingkatan ilmu yang paling tinggi.
Pengelompokkan tersebut berdasarkan pada objek dari kajian ilmu tersebut, semakin tinggi tingkatannya maka objeknya semakin sulit untuk diindera. Hasil pemikiran al-Kindi banyak menginspirasi para ilmuwan barat, seperti Roger Bacon yang menjadikan karya al-Kindi tentang optik sebagai rujukan utama.
v  Ilmu Optik
Sebelum masa keemasan intelektual Dinasti Abbasiyyah, perhatian masyarakat tentang adanya optik masih sangat kurang. Hal itu disebabkan karena kebutuhan mereka akan optik belum terlalu urgen. Kemudian muncullah seorang ilmuwan muslim bernama Abu Ali al-Hasan ibn al-Haytam[45] yang mulai memperkenalkan ilmu optik kepada dunia. Alhazen mewariskan sebuah teori penting, orang barat biasa menyebutnya dengan “Alhazen Problem[46]”. Melalui percobaannya Alhazen menemukan lensa pembesar, lensa teleskop, serta lensa mikroskop yang sangat penting bagi kehidupan ilmu pengetahuan sekarang.
v  Ilmu Astronomi
Bintang-bintang di angkasa dan benda-benda langit lainnya memang telah sejak lama menjadi perhatian manusia, namun mereka belum mampu  untuk mempelajarinya. Baru pada masa awal Dinasti Abbasiyyah semangat tersebut mulai bergejolak. Diawali dengan penterjemahan buku tentang astronomi ke dalam bahasa Arab, seperti buku Shidanta dari India, dan Yunani Almagest karya Ptolomeus.  Buku tersebut menjadi rujukan utama dalam mengembangkan ilmu astronomi.
Pada awal abad IX masehi, atas perintah al-Ma’mun sebuah observatorium dibangun di kota Yunde Sahpur, serta Baitul Hikmah di Baghdad.[47] Waktu itu observatorium telah dilengkapi beragam alat astronomi, seperti quadrant, astrolobe[48], dial[49], dan globe. Pada masa ini telah dilakukan usaha untuk mengukur keliling palnet bumi, yang menghasilkan kesimpulan keliling Bumi adalah 20.400 mil, dengan garis tengah 6.500 mil. Ilmuwan yang berperan dalam penelitian tersebut antara lain, Musa ibn Syakir dan al-Khawarizmi. Faktanya ilmu astronomi yang sekarang ini begitu maju, tidak bisa dilepaskan dari peran kaum muslim yang telah meletakkan dasar-dasarnya.
v  Ilmu Matematika
Entah kita sadari atau tidak, angka-angka yang kita kenal sekrang ini merupakan salah satu kontribusi ilmuwan muslim dalam bidang matematika. Sistem angka tersebut mulanya berasal dari India, yang hanya terdiri dari angka 1,2,3,4, dan 5. Kemudian al-Khawarizmi menambahkan angka 6,7,8, dan 9, serta disusul dengan penciptaan angka 0. Dunia barat baru menggunakan sistem angka ini 250 tahun kemuidian,satu paket angka yang terdiri dari sepuluh bilangan.
Pada abad VII Masehi Leonardo Fibbonacci melakukan penelitian tentang aljabar di negara Mesir, Syiria, Yunani, dan Sisilia. Ia ingin memastikan apakah aljabar merupakan hasil temuan ilmuwan muslim atau bukan. Dari hasil penelitiannya itu ia berkesimpulan bahwa aljabar memang hasil pemikiran kaum muslim.



BAB III
Penutup
1.      Kesimpulan
Dari penjelasan yang cukup panjang di atas, maka penulis berksimpulan bahwa peradaban Islam pada awal masa Dinasti Abbasiyyah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Di belahan dunia lain ketika itu bangsa barat masih terkungkung dalam zaman kegelapan, mereka masih percaya dengan hal-hal mistik, serta masih primitif. Namun Umat Islam di timur telah mencapai zaman keemasannya, hal tersebut merupakan sebuah prestasi yang sangat membanggakan. Hal tersebut dapat dilihat dari fakta dan bukti sejrah yag hingga sekarang masih dapat kita pelajari, bahkan dunia internasional pun mengakui hal tersebut.
            Namun jika kita kontekstualisasikan dengan zaman sekarang, zaman keemasan tersebut seakan berbalik arah. Kini negara-negara barat berkembang pesat dalam segala bidang, semntara itu umat Islam justru masih tertinggal. Lantas muncul sebuah pertanyaan, apa penyebab dari kemunduran ini? Kita sebagai umat Islam hendaknya bukan hanya mengagumi dan membanggakan apa yang telah leluhur kita capai, melainkan juga mempertahankan dan mengembangkannya gar masa kejayaan tersebut dalam diraih kembali. Jadi masa kejayaan tersebut seakan tidak ada artinya jika kaum muslim sekarang hanya jumud pada keadaan, dan hanya memikirkan urusan ukhrawi saja tanpa diimbangi ikhtiyar duniawi.

2.      Daftar Pustaka
v  al-Farmawi, Abdull Hayy,  Al-Bidayah fii Tafsir Maudhu’i, Kairo: 1977.
v  Bahasa, Kamus Pustaka, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
v  Hitti, Philip K.  History of The Arabs, terjemahan Bahasa Indonesia, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010.
v  Partanto, Pius A.  dan al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2001.
v  Sunanto, Musyrifah, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media,2003.
v  Syaefudin, Machfud, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013.
v  Syalabi, A.  Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra, 1997.
v  Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Bandung: Mizan, 2001.
v  Wahid, Achmadi, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008.




[1] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013, hal. 91.
[2] Achmadi Wahid, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008, hal. 61.
[3] Achmadi Wahid, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008, hal. 61.
[4] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013, hal. 92.
[5] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013, hal. 92.
[6] Achmadi Wahid, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Insani Madani, 2008, hal. 61.
[7] Kamus Pustaka Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008, hal. 612.
[8] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra, 1997, hal. 185.
[9] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra, 1997, hal. 186.
[10] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra, 1997, hal. 186.
[11] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra, 1997, hal. 187.
[12] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra, 1997, hal. 189.
[13] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra, 1997, hal. 198.
[14] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam 3, Jakarta: al-Husna Zikra, 1997, hal. 198.
[15] Achmadi Wahid, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008, hal. 61.
[16] Achmadi Wahid, dkk, Sejarah Kebudayaan Islam, Menjelajahi Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008, hal. 62.
[17] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemahan Bahasa Indonesia, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal. 414.
[18] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Bandung: Mizan, 2001, hal. 57.
[19] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemahan Bahasa Indonesia, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal. 382.
[20] Kisah tentang Bidpai
[21] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemahan Bahasa Indonesia, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal. 385.
[22] Philip K. Hitti, History of The Arabs, terjemahan Bahasa Indonesia, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2010, hal. 385.
[23] Kebudayaan Yunani Kuno, Pius A. Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 2001, hal.216.
[24] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media,2003, hal. 56.
[25] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Perspektif Historis, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013, hal. 75.
[26] Abdull Hayy al-Farmawi, Al-Bidayah fii Tafsir Maudhu’i, Kairo: 1977, hal. 35.
[27] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Perspektif Historis, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013, hal 60.
[28] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Perspektif Historis, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013, hal 76.
[29] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Perspektif Historis, Yogyakarta: Pustaka Ilmu Yogyakarta, 2013, hal 77.
[30] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media,2003, hal. 74.
[31] Imam Abu Hanifah, lahir di Kuffah pada tahun 80 H.
[32] Imam Malik, lahir di Madinah tahun 93 H.
[33] Imam Syafi’i, lahir di Askalan.
[34] Imam Ahmad, lahir tahun 164 H.
[35] Seorang berkebangsaan Persia yang menjabat sebagai menteri pada masa pemerintahan khalifah al-Manshur.
[36] Seorang kepala Rumah Sakit Yunde Sahpur.
[37] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media,2003, hal. 74.
[38] Lebih dikenal dengan nama Ibnu Shina, orang barat biasa menyebutnya Avichena. Beliau dianugerahi gelar Bapak Dokter atas keluasan ilmunya dalam bidang kedokteran.
[39] Sebuah ensiklopedi tentang ilmu kedokteran.
[40] Murodi, Sejarah Kebudayaan Islam, Semarang: Toha Putra, 2009, hal. 103.
[41] Dikenal dengan nama al-Kindi, Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media,2003, hal 87.
[42] Ilmu fisika
[43] Ilmu matematika
[44] Ilmu ketuhanan
[45] Orang barat menyebutnya Alhazen, beliau merupakan ilmuwan dari Basrah yang pindah ke Kairo dan menjadi pegawai pemerintahanpada masa Khalifah al-Hakim Dinasti Fatimiyyah.
[46] Teori tersebut berbunyi, “Sebuah cekung bulat atau sebuah cembung bundar dan sebuah kaca berbentuk silinder atau cermin tirus dapat dipergunakan untuk mencari letak suatu benda. Dari kaca itu dapat diperoleh pengambilan cahaya pada mata pada letak tertentu.”
[47] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Jakarta: Prenada Media,2003, hal 105.
[48] Alat pengukur ketinggian.
[49] Alat pengukur waktu, kecepatan, dan suhu.



No comments:

Post a Comment