Masa Disintegrasi dan Kondisi Perkembangan Intelektual
Oleh:
M.e. Widjaya
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Disintegrasi
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah
dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah.
Adapun dalam makalah ini, kami (penulis) akan mencoba
membahas tentang disintegrasi yang terjadi pada kekhalifahan di masa lampau.
Semenjak pemerintahan Harun ar-Rasyid
(786-809 M./ 170-194H). Dikatakan pada saat itu terjadinya masa keemasan bani
Abbasiyah. Tetapi pada waktu inilah terjadi benih-benih disintegrasi tepatnya
pada saat penurunan tahta. Harun Ar-rasyid telah mewariskan tahta kekhalifaan
pada putra tertuanya yaitu Al-Amin (809-812 M./ 194-198 H.) dan kepada
puteranya yang lebih muda yaitu al-Ma’mun yang pada saat itu menjabat sebagai
gubernur Khurasan. Setelah wafatnya Harun ar-Rasyid, al-Amin berusaha
mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya
kelak. Akhirnya pecah perang sipil. Al-amin didukung oleh militer Abbasiyah di
Baghdad, sementara al-Ma’mun harus berusaha memerdekakan Khurasan dalam rangka
untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma’mun akhirnya
dapat mengalahkan saudara tertuanya al-Amin dan mengklaim khalifah pada tahun
813 H. Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer
Abbasiyah melainkan melemahkan warga Irak dan propinsi lainnya.
Pada masa kekhalifaan al-Ma’mun
(198-218 H./813-833 M.) juga terjadi disintegrasi yang menyebabkan munculnya
dinasti Thahiriyah, yang didirakan oleh Thahir, dia adalah mantan guberner
Khurasan dan menjadi jendral militer Abbasiyah, yang diangkat karena membantu
merebut kekuasaan al-Amin. Al-Ma’mun
telah memberikan jabatan kepada Thahir dan berjanji jabatan-jabatan tersebut
dapat diwariskan kepada keturunannya. Upaya untuk menyatukan kalangan elit di
bawah arahan khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya pemerintahan
dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan penguasa gubernur besar[1].
2.2. Penyebab Terjadinya disintegrasi
a.
Dinasti-Dinasti
yang Memerdekakan Diri Dari Baghdad
Disintegrasi dalam bidang politik
sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman bani Umayyah. Akan terlihat
perbedaan antara pemerintahan bani Umayyah dengan pemerinatahan bani Abbas.
Wilayah kekuasaan bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa
keruntuhanya, sejajar dengan batas wilayah kekuasaan Islam. Ada kemungkinan
bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari
provinsi-provinsi tertentu. Dengan pembiayaan upeti. Alasanya, pertama mungkin
para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya. Kedua, penguasa bani Abbas lebih menitik beratkan
pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang
lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada
persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari
genggaman penguasa bani Abbas, dengan berbagai cara diantaranya pemberontakan
yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan
penuh, seperti Daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di
Maroko. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukanya
semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di
Khurasan.
Kecuali bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko, provinsi-provinsi itu pada mulanya patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan Khalifah mampu mengatasi pergolakan yang muncul. Namun, saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari Baghdad. Mereka tidak hanya menggerogogoti kekuasaan, bahkan diantara mereka ada yang berusaha menguasai Khalifah itu sendiri.
Menurut Watt, sebenarnya
keruntuhan kekuasaan bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan.
Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pimimpin yang memiliki
kekuasaan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar
independen.
Kekuatan militer Abbasiyah waktu
itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah
mengerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara
Turki dengan sistem perbudakan baru. Pengangkatan anggota militer Turki ini,
dalam perkembangan selanjutnya ternyata menjadi ancaman besar terhadap
kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah
sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyyah (kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang banyak
memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan
keagamaan. Nampaknya para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari
fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan
dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya
ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan
ada diantara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan
keagamaan itu.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan
diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasyiah, diantaranya adalah :
1. Yang berbangsa Persia :
a. Thahiriyah[2]
di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
b. Shafariyah[3]
di Fars (254-290 H/868-901 M)
c. Samaniyah[4]
di Transoxania (261-289 H/873-998 M)
d. Sajiyyah di Azerbeijan (266-318
H/878-930 M)
e. Buwaihiyah bahkan menguasai Baghdad (320-447 H / 932-1055 M)
2. Yang berbangsa Turki
a. Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
b. Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
c. Ghazanawiyah di Afganistan (351-585 H/962-1189 M)
d. Dinasti Seljuk dan
cabang-cabangnya
3. Yang berbangsa Kurdi
a. Al Barzuqani (348-406 H/959-1015 M)
b. Abu Ali ((380-489 H/990-1095 M)
c. Ayubiyah (564- 648 H/1167-1250 M)
4. Yang berbangsa Arab
a. Idrisiyah di maroko (172-375 H/788-985 M)
b. Aghlabiyah di Tunisia (184-289
H/800-900 M)
c. Dulafiyah di Kurdistan (210-285
H/825-898 M)
5. Yang mengaku dirinya sebagai
khalifah
a. Umawiyah di spanyol
b. Fathimiyah di mesir (909-1171 M)[5]
Faktor–faktor yang menyebabkan
kemunduran bani Abbas, sehingga daerah banyak yang memerdekakan diri ;
a. Luasnya wilayah kekuasan Bani
Abbasiyah
b. Dengan profesionalisasi angkatan
senjata, ketergantungan khalifah sangat tinggi
c. Keuangan negara sangat sulit
karena untuk biaya tentara sangat besar[6].
b.
Perebutan
Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan
Faktor lain yang menyebabkan
peran politik bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat
pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan
Islam sebelumnya. Nabi Muhammad memang tidak menentukan bagaiman acara
penggantian pemimpin setelah ditinggalkanya. Beliau menyerahkan masalah ini
kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan yangberkembang dikalangan
masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam. Setelah nabi wafat, terjadi
pertentangan pendapat diantara kaum muhajirin dan anshar dibalai kota bani
Sa’idah di madinah. Akan tetapi, karena pemahaman keagaamaan mereka yang baik,
semangat musyawarah, ukhuwah yang tinggi, perbedaan itu dapat diselesaikan. dan
Abu Bakar terpilih menjadi khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam
Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin abi thalib. Ali
terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri. Pemberontakan-pemberontakan yang
muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkanya dari kursi khalifah dan
diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini sama juga terjadi pada masa
kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti pemberontakan Husein bin Ali,
syi’ah yang dipimpin oleh al- Muchtar, Abdullah bin Zubair, dan terakhir pemberontakan Bani Abbas
yang untuk pertama kalinya dengan menggunakan nama gerakan Bani Hasyim. Pemberontakan terakhir ini berhasil dan kemudian
mendirikan pemerintahan baru yang diberi nama khilafah Abbasiyah atau Bani
abbas.
Pada pemerintahan bani Abbas,
perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi pada masa-masa
berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun
khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari
tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaanya dengan
membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas.
Hal ini terjadi karena Khalifah dianggap sebagai
jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa di ganggu gugat lagi. Sedangkan
kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat
pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki
berhasil merebut kekuasaan tersebut. Ditangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat
apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan
keinginan politik mereka.
Setelah kekuasaan berada di
tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334 H/945
M-447 H/1055 M), Daulah Abbasyiah berada dibawah kekuasaan bani Buwaih.
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Umayyah memindahkan
markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di
tengah-tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah.
Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Kekuasaan
Bani Buwaih akhirnya jatuh ke tangan Saljuk. Pergantian kekuasaan ini
menandakan awal periode keempat Bani Abbasiyah.
Dinasti Saljuk diakui sebagai dinasti yang sukses
dalam membangun masyarakat ketika itu. Diantara jasa-jasanya antara lain:
1. Memperluas Masjidi al-Haram dan
Masjid Nabawi
2. Pembangunan rumah sakit di
Naisabur
3. Pembangunan gedung peneropong
bintang
4. Pembangunan sarana pendidikan.
Di bawah
pemerintahan Malik Syah (1072-1092) kekuasaan Saljuk mencapai puncaknya,
wilayah kekuasaan terbentang luas dari kasygar, sebuah kota kecil di wilayah
paling ujung Turki, setelah kematian Malik syah, sejumlah perang antara
putera-puteranya ditambah berbagi kerusauhan telah melemahkan otoritas Saljuk
dan mengakibatkan hancurnya pemerintahan[7].
c.
Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095, saat Paus
Urbanus II[8]
berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk
memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh
Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat
kristen yang hendak berziarah ke sana.
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam
gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart,
tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000
prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang
berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr,
Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan
kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan
Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait
al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan
di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang
ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka.
Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada
tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya
melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib,
yang terjadi dalam tiga periode[9].
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan
daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak
sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya dengan demikian hal ini
mengakibatkan kekuatan poloitik umat Islam menjadi lemah dan terpecah belah.
Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah
di Baghdad.[10]
d. Sebab-sebab
Kemunduran Bani Abbas
Berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad atau
khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini,
khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu,
walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada diantaranya yang cukup besar,
namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah
merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah
kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa
inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan
dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat
serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut
masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah,
masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor
penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah
terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat
kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani
Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan
sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa
mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang
menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut
saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1.
Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu
dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib
kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama
tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap
mempertahankan persekutuan itu. Ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih
orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi
orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan
warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan
adanya Nashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak
ditegakkan di atas Nashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas.
Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka
adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di
dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama
sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir,
Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit.
Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang
bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban,
muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh
penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru.
Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka
diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap
sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia
dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa
negara adalah milik mereka, mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan
kekuasaan khalifah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi
kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi,
karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan
kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang
khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi.
Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di
tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa
Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada
periode keempat.
2.
Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang
ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama,
pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih
besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan
dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan
negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya
pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan,
banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya
pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi
membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh
kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin
beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil
menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang
buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling
berkaitan dan tak terpisahkan.
3.
Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan.
Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan
para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa
perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan
melakukan mihnah (ujian) dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua
itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan
golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti
polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah
di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik
bersenjata itu.
4.
Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal.
Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah
Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, Perang Salib yang berlangsung
beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua serangan
tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang
Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II
(1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat
perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun,
diantara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon
yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara
Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci
Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen
Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang
anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol,
setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.[11]
2.3.
Perkembangan
Intelektual Masa Disintegrasi
Betapapun juga seramnya situasi
politik di ibukota negara baghdad tetapi ilmu-ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam tetap menunjukkan semaraknya.
Pada
masa disintegrasi yang menyebabkan kehancuran dalam kekhalifahan Abbasiyah,
tetapi tidak menghambat perkembangan intelektual. Pada saat disintegrasi yang
dimulai dengan berdirinya dinasti Thahiriyah, perkembangan intelektual
mengalami perkembangan yang cukup berarti. Ini terbukti dengan munculnya
tokoh-tokoh intelektual pada bidangnya, baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu
filsafat, dan kedokteran maupun dalam bidang hukum dan politik.
1) Ilmu sastra, tokohnya ;
a. Abul ‘Alla al- ma’ary (363–449
H./973-1057 M.), seorang penyair filosof yang banyak karangannya, diantaranya
diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Inggris oleh Thomas Carlyle dan ke
bahasa Jerman oleh Von Kremer.
b. Pujangga Proza Shabi (313 – 383
H./925-994 M.)
c. Shahib ibnu Ubbad (326–385
H./938-985 M.)
d. Ulama penyair, Abu Bakar
Khuwarizmi (389 H./993 M.)
e. Penyair pengarang Badie’uz Zaman
Hamdani ( 358–398 H./969-1007 M.)
f. Penyair Ibnu ‘Amied
2) Ilmu Filsafat dan
kedokteran
a. Muhammad ibn Zakaria ar – razi,
seorang filosof dan dokter yang terkenal
b. Ali ibn al–Majusi, dokter pribadi
dari ‘Adhudud Daulah dan sekaligus pengarang buku “Kamil as-Shina’at”
3) Hukum dan
Politik
Satu
nama yang tidak boleh dilupakan ialah seorang ahli hukum yang menjabat sebagai
mahkamah agung dan juga pengarang politik yaitu Imam Mawardi (368-450
H./974-1058 M.) seorang pengarang ilmu politik yang sangat aktif, penulis buku ‘Al Ahkam as- Sulthaniyah tentang hukum pemerintahan[12].
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah
dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Penyebab terjadinya
disintegrasi pada masa kekhalifahan Islam di masa lampau yaitu di antaranya;
adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad, perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, perang salib serta faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Bani
Abbas.
Masa disintegrasi itu muncul akibat adanya perpecahan dalam
pemerintahan Bani Abbasiyah. Perpecahan itu mulai terjadi sejak akhir pemerintahan
Harun ar-Rasyid tepatnya pada saat penurunan tahta beliau mengangkat puteranya
yaitu al-Amin. Selain itu yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas adalah
persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, dan ancaman
dari luar.
Perkembangan intelektual dalam masa disintegrasi tetap
menunjukkan perkembangan yang berarti. Itu terbukti dengan munculnya
tokoh-tokoh intelektual pada bidangnya baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu
filsafat, dan kedokteran maupun dalam bidang hukum dan politik.
.
REFERENSI
K. Hitti, Philip. 2010. Terjemah History of the Arabs. Jakarta: Serambi.
Syukur, Fatah. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: LSIK.
[2] Pendirinya adalah Thahir ibn al-Husain dari Khurasan,
orang yang pernah di percaya al-Ma’mun untuk menduduki jabatan jendral yang
berhasil memimpin balatentara rajanya untukmelawan al-Amin. Lihat. History of
the Arabs Philip K. Hitti, hlm. 585.
[3] Didirikan
oleh Ya’qub ibn al-Laits al-Shaffar (867-878). Lih. Philip K. Hitti, History of
the Arabs, hlm 586.
[4] Pendirinya
adalah Nashr ibn Ahmad (874-892), cicit Saman seorang bangsawan penganut ajaran
Zoroaster dari Balkh. Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 586.
[8] Lihat.
Dalam buku Sejarah Peradaban Islam Fatah Syukur, hal. 115, tertulis Paus Urbanus I, tapi dalam bukunya
Badri Yatim hal, 77, tertulis Paus
Urbanus II.
No comments:
Post a Comment