Perspektif Al-Qur'an; Hutang-piutang dalam Jual-beli Kredit
oleh: M.e. Widjaya
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Islam merupakan agama yang sangat menganjurkan sedekah
dengan berbagai cara atau aturan dan bentuk yang diajarkan. Sedekah merupakan implementasi
rasa kasih sayang yang murni. Sedekah mendapatkan apresiasi sunnah dalam hukum
Islam. Bahkan ada bentuk sedekah yang diwajibkan, semisal zakat dan lainnya.
Praktek riba dalam Islam tidak diharumkan atau
dilarang, karena merupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati.
Pelarangan mengambil keuntungan melelui riba dan
perintah bersedekah sering menimbulkan kesan bahwa Islam tidak bersimpati
terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Untuk menghapuskan
kesan itu, Islam merumuskan manajemen hutang-piutang yang mengakibatkan
terpeliharanya harta. Sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang
diperankan oleh sedekah dan kekejaman yang diperagakan oleh riba.
Pada dasarnya hutang-piutang adalah bentuk
tolong-menolong. Karena debitor (orang yang berhutang) akan tertolong dalam
pemenuhan kebutuhannya. Dengan itu, kreditor (orang yang memberi hutangan)
telah menolong debitor.
Namun pada realisasinya, masih banyak praktek
hutang-piutang yang berkedok tolong-menolong,
akan tetapi ada modus pengaisan laba didalamnya. Salah satunya adalah bentuk
transaksi jual beli kredit atau dihutangkan dengan harga lebih mahal dari harga
tunainya.
Tentu hal ini sangat menarik kita bahas. Karena
melihat kenyataan yang ada, jual-beli dengan sistem kredit untuk masa kini
telah menjadi trend untuk konsumen yang tidak mampu membayar secara cash
atau tunai.
Penulis dalam hal ini akan membahas ayat-ayat
al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah hutang-piutang dan menganalisa poin
konteks ayat dalam kehidupan sekarang.
BAB
II
PEMBAHASAN
Pengertian
Hutang-piutang
Hutang-piutang dalam kajian fiqh
sering disebut al-Qardhu. Al-qardhu secara bahasa
artinya adalah al-qath’u (memotong). Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid,
al-mudiin atau debitor) memotong sebagian hartanya dan
memberikannya kepada si pengutang (muqtarid, ad-daa’in atau kreditor).
Adapun definisi syara’nya adalah
memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut
mengembalikan gantinya yang ada dalam tanggungannya. Termasuk dalam pengertian
harta yaitu; uang, binatang, dan barang dagangan[1].
Dari pengertian ini, membeli motor
dengan ganti uang yang ditempo masuk dalam pengertian hutang.
Dalam al-Qur’an kita akan menemukan
beberapa ayat yang menyinggung masalah hutang-piutang. Terkait aturan hutang-piutang,
diantaranya dibahas al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 282
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ
كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي
عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ
فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ
فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ
الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى
وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ
صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ
وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا
شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ
وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282) [البقرة: 282]
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan
hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan, dan hendaklah ia bertakwa
kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan
jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika
mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan.
Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Ayat
ini merupakan ayat terpanjang dalam al-Qur’an. Di dalamnya antara lain
berbicara tentang anjuran atau (menurut sebagian ulama) kewajiban menulis
hutang-piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya
(notaris), sambil menekankan perlunya menulis hutang, walau sedikit, disertai
jumlah dan ketetapan waktunya[2].
Sebab
Turunnya Ayat
Pada
waktu Rasulullah Saw. datang ke Madinah pertama kali orang-orang penduduk asli
biasa menyewakan kebunnya dalam satu waktu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu
Rasul bersabda: “barang siapa menyewakan (mengutangkan) sesuatu hendaklah
dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu
pula”. Sehubungan dengan itu Allah Swt. menurunkan ayat ke-282 sebagai perintah
apabila mereka utang-piutang maupun mu’amalah dalam jangka waktu tertentu
hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Untuk menjaga terjadinya
sengketa pada waktu-waktu yang akan datang[3].
Munasabatul
Ayat
Sebelum
ayat ini, yaitu al-Baqarah ayat 271-274 al-Qur’an berbicara terkait anjuran
sedekah dan berinfaq kemudian dalam ayat 275-279 berbicara larangan riba yang
dilanjutkan dengan anjuran memberi tempo hutang kepada yang tidak mampu
membayar hutangnya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau
seluruh hutang itu dalam ayat 280. Penempatan uraian tentang anjuran menulis
hutang-piutang setelah anjuran dan larangan di atas memberi kesan tersendiri.
Yaitu, untuk menepis anggapan negatif bahwa larangan mengambil keuntungan
melalui riba dan perintah bersedekah merupakan sikap al-Qur’an yang tidak
bersimpati pada orang yang memilki harta atau mengumpulkannya. Dengan ayat ini
kesan itu dapat dihapuskan, karena inti ayat ini adalah perintah untuk
memelihara harta dengan menulis hutang-piutang, walau sedikit, serta
mempersaksikannya.
Tafsiran
Ayat
Kata
tadayantum yang
diterjemahkan dengan bermuamalah terambil dari
kata dain.
Setiap kata yang tersusun dari huruf dal, ya, dan nun ini
mempunyai banyak arti, diantaranya bemakna hutang, pembalasan, ketaatan, dan
agama. Yang kesemuaannya selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak yang
satu berkedudukan lebih tinggi dari lainnya.
Dari
penggalan ayat “apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” mengandung
dua nasihat pokok untuk dua orang yang bertransaksi hutang-piutang. Pertama,
menentukan waktu pembayaran dan kedua, perintah menulis hutang-piutang.
Selanjutnya
Allah Swt. menunjukan kriteria penulis: Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan adil yakni, dengan benar, tidak
menyalahi ketentuan Allah maupun perundangan yang berlaku di masyarakat. Tidak
juga merugikan salah satu pihak. Para penulis juga diingatkan agar janganlah penulis enggan
menuliskannya sebagai tanda syukur sebab Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis.
Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab kepada penulis.
Penggalan
ayat berikutnya adalah hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa
yang akan ditulis itu), Disini, dapat dipahami bahwa debitor
sebagai pihak yang lemah mendiktekan apa yang telah disepakati untuk ditulis.
Allah
mengingatkan orang yang berhutang agar bertaqwa dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dengan
larangan mengurangi daripada hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang,
waktu, cara pembayaran atau lain-lain yang telah disepakati bersama., dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Lalu
bagai mana kalau debitor tidak mampu mendiktekan? Misal ia tidak bisa baca atau
sebagainya. Jika yang
berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya, seperti sakit, atau
sangat tua, atau dia
sendiri tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau tidak mengetahui
bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.
Lalu, setelah
mejelaskan penulisan dan pendiktean dilanjutkan dengan persaksian. Dan persaksikanlah dengan
dua orang saksi dari orang-orang lelaki
di antaramu. Saksi yang dimaksud adalah saksi
yang telah dikenal kejujurannya dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas
tersebut. Agar tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Kesan ini dapat
dilihat dari penggunaan kataشهيدين bukan شاهدين. Kemudian disyaratkan pula dua orang
lelaki yang merupakan masyarakat muslim. Jika tak ada yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka
(boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu
ridhai, yang
disepakati oleh yang melakukan transaksi. Persyaratan ini bertujuan supaya jika seorang perempuan
lupa maka yang seorang perempuan
lain yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya.
Lalu
kemudian pertanyannya adalah mengapa kesaksian dua orang perempuan disetarakan
dengan seorang saksi lelaki? Apakah karena perempuan kurang kemampuan
intelektualnya? Atau karena emosinya sering tidak terkendali?
Quraish
Shihab seorang pakar tafsir terkemuka Indonesia menjawab bahwa, persoalan ini
harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi
utama yang dibebankan atasnya.
Menurutnya,
al-Qur’an dan Sunnah telah mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria,
suami dan istri. Yakni; suami mencari nafkah dan memberi perhatian utama
menyediakan kecukupan memberi nafakah untuk anak istrinya, sedangkan istri
membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan
perkembangan jiwa anak-anaknya. Tapi pembagian itu tidak ketat. Sehingga dulu
tidak sedikit dari istri sahaba t yang ikut bekerja mencari nafkah, dan tidak
sedikit pula suami yang melekukan akyivitas di rumah serta mendidik
anak-anaknya.
Pembagian
kerja di atas dapat mempengaruhi ingatan dan kemampuan mereka terhadap objek
perhatiannya. Sehingga ingatan wanita dalam rumah tangga akan lebih kuat
daripada pria. Dan ingatan pria dalam masalah bekerja, perniagaan, termasuk
hutang-piutang akan lebih kuat dari wanita.
Pesan
al-Qur’an untuk seorang saksi, Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi
keterangan apabila
mereka dipanggil; karena keengganannya dapat
mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban.
Setelah
mengingatkan para saksi, ayat ini kembali berbicara tentang penulisan
hutang-piutang. dengan penekanan pada hutang-piutang yang nominalnya kecil. dan janganlah kamu jemu
menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai, yakni
termasuk batas
waktu membayarnya.
Yang demikian itu yakni
penulisan hutang-piutang dan persaksian yang dibicarakan itu lebih adil di sisi Allah, ,yakni
dalam pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan lebih menguatkan persaksian, yakni
lebih membantu penegakkan persaksian, dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan
keraguan di antara
kamu[4].
Etika Hutang Piutang
-
Menghutangkan harus tulus dengan
niat yang baik dan harus memperhatikan kebutuhan pribadi (tidak memberatkan
diri sendiri).
{مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ
لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
(245) } [البقرة: 245]
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada
Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah
akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”
Kata meminjamkan dan pinjaman pada ayat ini adalah
terjemahan dari kata qordh yang kemudian masuk dalam
aneka bahasa dengan makna yang sama dengan kredit. Asal makna kata tersebut adalah
memotong dengan gigi. Ini memberi kesan bahwa pinjaman yang diberikan itu
diberikan dalam situasi kejiwaan yang sulit. Di sisi lain, pada saat orang
menggigit sesuatu, jelas ia mengharapkan hasil memuaskan dari upaya itu. Karena
itu pakar tafsir al-Quthubi, misalnya, mendefinisikan qardh sebagai “sagala sesuatu yang dilakukan dengan
mengharapkan imbalan”. Dalam ayat ini terdapat satu syarat yang ditekankan
dalam pemberian pinjaman yakni pinjaman yang baik dalam arti dengan niat yang bersih, hati yang
tulus, serta harta yang halal.
Dalam ayat ini Allah Swt. mengumpamakan pemberian
seseorang dengan tulus untuk kemashlahatan hamba-Nya sebagai pinjaman kepada
Allah sehingga ada jaminan dari-Nya bahwa pinjaman itu kelak akan dikembalikan[5].
Dalam Tafsir al-Qurthubi diceritakan bahwa setelah ayat
ini turun, seorang sahabat bernama Abu ad-Dahdah segera bertanya pada Nabi, ia bertanya “sesungguhnya
Allah menghendaki pinjaman kepada kita padahal sesungguhnya Allah maha kaya
untuk sekedar pinjam?”. Rasulullah menjawab: “ya, dengannya Allah
menghendaki untuk memasukanmu kedalam surga”. Lalu Ia bertanya lagi,
“apakah jika aku memberikan pinjaman pada Tuhanku Dia akan menjamin aku dan
anak perempuanku kedalam surga?. “ya” jawab Rasul. Kemudian sahabat itu
memberikan dua kebunnya dan ia tidak memiliki harta selain dua kebun itu. Rasul
memerintahkan agar salah satunya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
dan keluarganya, tapi Abu Dahdah menolak dan tetap memberikan kedua kebunnya. Kemudian
Rasul mendo’akannya “semoga Allah membalasmu dengan surga”[6]. Dari cerita ini terkesan
bahwa dalam memberikan pinjaman harus memperhatikan juga kebutuhan sendiri.
Namun, tidak mengapa bila memang tulus memberikan seluruh hartanya.
-
Kreditur tidak boleh memberatkan
tanggungan debitor ketika jatuh tempo, debitor dalam keadaan susah (belum mampu
membayar).
{ وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ
تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ } [البقرة: 280]
“Dan jika (orang yang berhutang itu)
dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan
menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
mengetahui”
Dahulu, sebelum dan awal masa Islam, hubungan dua pihak
yang melakukan transaksi ekonomi seringkali didasari oleh eksploitasi sehingga
menyebabkan ketimpangan dan kesenjangan. Dalam transaksi
hutang-piutang, misalnya, jika seorang ingin berutang dan tidak mampu membayar
utang pada waktu yang telah ditetapkan, kreditor baru memberi utang atau
penangguhan pembayaran jika si peminjam bersedia membayar lebih dan dengan
kelebihan yang berlipat ganda pula. Itulah riba yang diharamkan al-Qur’an, dan
inilah dinamakan dengan penganiayaan[7].
Dalam sebuah riwayat ayat
ini turun ketika Bani Mughiroh meminta penangguhan hutang sampai mampu
membayarnya kepada Banu ‘Amr bin ‘Umair, tetapi ditolak. Sehingga diturunkanlah
ayat ini[8]. Dari ayat ini kita
mendapatkan wawasan tentang etika kreditor; bahwa ketika orang yang berhutang
ketika jatuh tempo pembayaran dalam keadaan sulit, harus menunggu sampai dia
mampu dan lapang untuk membayar. Tidak boleh memperberat tanggungan dengan
meminta lebih, dan menyedekahkan sebagian atau seluruh hutang pada debitor
lebih baik.
Analisa
Konteks Ayat Dalam Kehidupan Sekarang
Sebagaimana
keterangan di atas, hutang-piutang adalah memberikan harta kepada orang yang
mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya yang ada dalam
tanggungannya.
Masuk
dalam definisi tersebut transaksi jual-beli barang dengan jalan hutang atau
dikreditkan. Dewasa ini, sering dijumpai jual-beli dengan sistem kredit/hutang.
Dalam transaksi jual beli kredit terdapat dua macam cara, yaitu:
-
Pertama, kredit yang melibatkan dua
pihak yakni penjual dan pembeli secara hutang. Ini biasanya dipraktekan oleh
pedagang baju atau alat-alat rumah tangga keliling. Dimana, biasanya si penjual
menawarkan harga yang berbeda antara beli tunai dengan beli kredit atau hutang
dengan bayaran cicilan. Harga barang yang dikredit lebih tinggi dari harga
tunai. Adapun cara pembayarannya bisa dengan cicilan atau sekali bayar dalam
jangka waktu yang ditentukan dan si penjual akan menulis nama dan
cicilan-cicilan yang dibayarkan pembeli sebagai bukti adapun dipihak penghutang
diberi buku hutang (buku yang digunakan sebagai bukti pembayaran di pihak
pembeli)[9].
Transaksi jual-beli semacam ini dibenarkan atau
diperbolehkan karena tidak ada unsur riba didalamnya. Demikian Wahbah Zuhaili[10].
Adapun transaksi hutang-piutang antara penjual dan pembeli
dalam contoh pada masalah ini, bisa dikorelasikan dengan ayat-ayat di atas.
Apakah telah menetapi aturan utang-piutang atau belum?
-
Kedua, kredit yang melibatkan tiga
pihak, yakni selain penjual dan pembeli, disertakan pula pihak ketiga semisal
bank atau lembaga pembiayaan. Salah satu contohnya adalah yang biasa dilakukan
dealer motor. Dimana pihak bank atau lembaga pembiayaan telah mengadakan kesepakatan
bisnis dengan pihak dealer, yang intinya, bila ada pembeli dengan cara kredit,
maka pihak bank berkewajiban melunasi harga motor tersebut, konsekuensinya
pembeli secara otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima
cicilannya.
Contohnya
: sebuah showroom dealer sepeda motor, menyebar selebaran daftar harga motor
yang dibedakan menjadi cash dan
kredit. Misalkan salah satu motor
produksi Honda harga tunainya 16 juta
dan 24 juta harga kreditnya. Datang sesorang hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil (kredit).
Setelah deal transaksi, pembeli akan diminta mengisi formulir plus tanda tangan, dan
biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.
Setelah akad jual-beli ini selesai dan pembeli-pun membawa pulang
motor yang dibeli, selanjutnya dia berkewajiban menyetorkan uang cicilan motor
ke bank atau lembaga pembiayaan, dan bukan ke dealer tempat ia mengadakan
transkasi dan menerima motor yang dibeli. Karena kesepakatan diatas yang
dilakukan oleh dealer dan bank.
Praktik
semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hiwalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan
ketentuan tertentu. Pada dasarnya, akad hiwalah
dibenarkan dalam syariat.
Akan tetapi dalam contoh di atas
akan didapatkan dua kemungkinan, yaitu:
Pertama, Bank mengutangi pembeli motor
tersebut Rp 16 juta, dalam bentuk bank
langsung membayarkannya ke dealer. Kemudian pembeli -yang pada permasalahan ini
menjadi penghutang- dituntut untuk melunasi cicilan piutang Rp 24 juta tersebut
ke bank.
Bila
demikian yang terjadi, maka transaksi ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba
jahiliyyah[11]). Tujuh juta yang menjadi tambahan adalah riba yang
diserahkan ke bank. Hukum transaksi ini terlarang, sebagaimana ancaman dalam
hadis dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan/membayar
riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Beliau
juga bersabda: “Mereka semua dosanya sama.” (HR. Muslim)
Kedua, Bank membeli motor tersebut dari dealer dan
menjualnya kembali kepada pembeli. Hanya saja bank sama sekali tidak menerima
motor tersebut. Bank hanya mentransfer sejumlah uang seharga motor tunai,
kemudian pembeli membayar cicilan ke bank. Bila realita bank membeli motor ini
benar, maka Bank telah menjual motor yang dia beli sebelum menerima motor
tersebut. Sehingga Bank atau lembaga pembiayaan telah menjual barang yang belum
sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor
tersebut semuanya langsung dituliskan atas nama pembeli, dan bukan atas nama
bank yang kemudian dibalik nama ke pembeli.
ketika
bank membeli barang dari dealer dengan harga 16 juta, sementara dia tidak menerima barang sama
sekali, kemudian dia jual ke pembeli seharga 24 juta maka hakikat transaksi ini adalah menukar
rupiah 16 juta dengan 24 juta.
REFERENSI
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad,
al-Jaami’ li’ahkaami al-Qur’an (Kairo: Daar al-Kutub al-Mishriyyah) 1964.
M. Rasyid bin ‘Ali Ridho, Tafsir
al-Manar, (al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Aamah li al-Kitab), 1990.
Mahali, A. Mudjab, Asbabun Nuzul,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2002.
Shihab,M. Quraish, Tafsir al-Mishbah (Jakarta:
Lentera Hati) 2002.
Shihab, M. Quraish, Lentera al-Qur’an (Bandung:
Mizan), 2013.
Wahbah bin Mushthofa az-Zuhaili,
Al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, (Damaskus: Daar al-Fikr).
sama-sama mas
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletemaaf maksud saya mbak..
ReplyDeleteasal jangan memberatkan member dan tidak ada tagihan uang lagi, apapun alasannya,lebih-lebih hanya akan menipu member, maka hal itu tidak apa2 dan boleh.
ReplyDeleteMenuruT ISLAM, Apa seh manfaat realnya secara finansia Atau Diuniawi, dengan memberikan pinjaman khususnya uang bagi yg meminjamkan...?!
ReplyDeleteKhan klo secara akhirat kt bs masuk syurga dan pertolongan di akhirat.
Namanya usaha khan berharap dapat untung. Maaf ya kan saya msh awam.
saya balik tanya, apa manfaat anda membiayai anak anda?
Deletehutang-piutang dalam knsep Islam itu tidak masuk kedalam bentuk usaha. tapi tolong-menolong.
kenapa kita harus tolong-menolong? jawabannya ada dalam hati kita.