"MASALAH-MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN ULAMA KALAM"
Oleh:
M.e. Widjaya
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sesungguhnya
tidak akan terjadi perdebatan, tanpa adanya perbedaan pendapat terhadap suatu
soal. Sebagian ahli sejarah berpendapat, bahwa perbedaan pendapat itu terjadi
disaat manusia memikirkan keadaan dan kebesaran alam. Perhatian manusia
tertarik untuk mengetahui hakikat alam.
Sebagian ahli mengatakan, bahwa manusia itu sejak adanya,
telah menyelidiki alam secara falsafah. Gambaran-gambaran pikiran serta
hayalan-hayalan yang didapatnya berbeda-beda, menurut perbedaan penyelidikan
atau kekuatan pikirannya. Juga perbedaan titik-titik perhatian, dan hal-hal
yang menggerakan hatinya untuk menyelidiki itu.
Begitu juga perdebatan yang terjadi di antara ulama
kalam, semuanya tidak lepas dari hal ini. Harun nasution dalam bukunya Teologi
Islam mengatakan bahwa, sejarah timbulnya persoalan-persoalan teologi dalam
Islam, awalnya adalah persoalan politik yang akhirnya merambat kepada
persoalan-persoalan teologi (ilmu kalam). Yang kemudian melahirkan persoalan
siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir[1]
dan persoalan-persoalan ilmu kalam lainnya. Hal-hal tersebutlah yang
mempelopori khilafiyah diantara mereka.
Dalam makalah ini akan dituturkan beberapa persoalan yang
diperselisihkan ulama kalam beserta pendapat-pendapat mereka.
B. Rumusan Masalah
a. Bagaimana batas antara
mukmin dan kafir?
b. Bagaimana pengertian wahyu
dan akal beserta fungsinya?
c. Bagaimana Kehendak,
kekuasaan dan perbuatan Tuhan?
d. Bagaimana Kehendak, kekuasan
dan perbuatan manusia?
e. Seperti apa Keadilan Tuhan?
f. Apa yang dimaksud sifat-sifat
Tuhan?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Untuk
memenuhi tugas kuliyah Tauhid dan agar kita lebih mengetahui banyaknya
perbedaan pendapat di antara ulama. Semoga dengan mengetahui banyaknya
perbedaan ini, akal dan hati kita bisa tercerahkan dan mampu menyaring atau
memilih salah satu dari pendapat ulama yang sesuai dengan kebutuhan akal dan
nurani kita tanpa menyalahkan pendapat lain yang tidak kita pilih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Batas
antara mukmin dan kafir
Persoalan yang pertama timbul
dalam teologi Islam ialah masalah iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan
pertamakali oleh kaum Khawarij yang mengecap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi
saw. Yang dipandang telah melakukan dosa besar, yaitu Ali bin Abi Thalib,
Mu’awiyah bin Abu sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah Saw.
1.
Menurut Aliran
Khawarij
Iman menurut kaum Khawarij bukan merupakan pengakuan
dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, akan tetapi amal ibadah menjadi rukun
iman saja. Menurut kaum Khawarij, orang yang tidak melakukan shalat, puasa,
zakat, dan lain sebagainya yang diwajibkan oleh Islam, maka termasuk kafir.
Jadi apabila sekarang mukmin melakukan dosa besar mapun kecil, maka orang itu
termasuk kafir dan wajib diperangi serta boleh di bunuh. Harta bendanya boleh
dirampas menjadi harta ghonimah[2].
2.
Menurut Aliran Murji’ah
Iman menurut Murji’ah adalah terletak pada tashdiq qolbu,
adapun ucapan dan perbuatan tiadak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam
qolbu.
Menurut
sub sekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan
terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang
yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak
keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan. Sementara
yang dimaksud Murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa
besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya
bergantung pada dosa yang dilakukannya. Dalam menetapkan kafir dan dosa besar,
kalau paham Khawarij mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar
dia sudah dianggap kafir, sedangkan paham Murji’ah lebih bersikap positif.
Artinya, sesuai dengan sebutan nama mereka arja’a, mereka lebih cenderung menyerahkan saja kepada Tuhan soal
pelaku dosa besar.
3.
Menurut Muta’zilah
Menurut paham mu’tazilah Iman adalah tashdiq di dalam
hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Konsep ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman,
karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep
ini dianut pula oleh
Khawarij. Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada
Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan
mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang
dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mu’tazilah juga berpendapat
bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum taubat, tidak
lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasik[3].
4.
Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
a.
Ahlus Sunnah yang Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman
secara esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lisan dan
melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan
furu’(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan
Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang
mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Keimanan seseorang tidak
akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
Kaum
Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah
memaksakan paham khalq Alquran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal
manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu
bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai
suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini
berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah.
Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung
ma’rifah terhadap Allah.
b.
Ahlus Sunnah yang
Maturidiyah
Dalam aliran Maturidiyah terdiri atas dua kelompok, yaitu
kelompok Samarkhand, dan kelompok Bukhara.
a.
Maturidiyah golongan Samarkand
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand
berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi
al-lisan. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi
batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai
di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh
dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran
akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil
naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan
bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi
Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang
yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah
berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar
iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi,
menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun
demikian,ma’r ifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor
penyebab kehadiran iman.
b.
Maturidiyah golongan Bukhara
Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara,
seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq
bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini
dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang
diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud dengan tashdiq
al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.
Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama
menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan
pengungkapan yang berbeda.
Dari keterang di atas kita dapat
mengetahui bahwa orang kafir menurut Ahlus Sunnah adalah orang yang tidak
memiliki salah satu dari dua unsur pokok iman, yaitu tashdiq dalam hati dan mengikrarkan dengan lisan. Orang yang
membenarakan dalam hati tentang adanya Allah dan iman kepada Nabi Muhammad Saw.
tetpi tidak mau mengatakannya secara eksplisit maka orang itu dihukumi kafir[4].
B. Wahyu,
Akal dan Fungsi Keduanya
Teologi sebagi ilmu yang
membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, tentu
tidak lepas dari penggunaan akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang
kedua soal tersebut.
Kata “akal” yang telah menjadi
kosa kata bahasa Indonesia, secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yaitu
al-‘aql (العقل ) yang berarti: ikatan, pikiran,
pemahaman dan pengertian[5]. Sedangkan
secara terminologis, kata akal dapat diartikan sebagai, daya pikir yang
memberikan kekuatan kepada manusia untuk merancang dan mengoreksi serta
mengukuhkan sesuatu dan menetapkan keputusan di antara berbagai macam hal yang
ditemui manusia dalam mencapai apa yang diinginkan[6].
Kata “wahyu” berasal dari bahasa
Arab yaitu الوحي yang berarti suara, api,dan kecepatan. Di samping itu, kata
wahyu juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Selanjutnya, ia juga mengandung
makna pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat[7].
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kata wahyu diartikan sebagai “petunjuk dari Allah yang diturunkan
hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan sebagainya”[8]. Dalam
kedudukannya sebagai petunjuk, wahyu juga dapat diartikan sebagai pemberitahuan
(informasi) dari Allah yang diberikan kepada orang-orang pilihannya (Rasul)
untuk disampaikan kepada manusia agar dijadikan sebagai pegangan hidup. Ia
mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang berguna bagi manusia untuk
perjalanan hidupnya di dunia dan akhirat[9].
Akal, sebagai daya berpikir
yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan
wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan
keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap
Tuhan.
Polemik yang terjadi
diantara ulama atau aliran kalam adalah: sampai di manakah kemampuan akal
manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia? Dan juga sampai
manakah besarnya fungsi wahyu dalam kedua hal ini?
Dalam menyikapi fungsi wahyu
dan akal, kaum Salafiyah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah didapati
perbedaan sebagai berikut:
1.
Menurut kaum Salafiyah
Fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi
akal.
Jalan untuk mengetahui
aqidah dan hukum Islam dengan dalil-dalil pembuktiannya, tiada lain bersumber
pada Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah dan Hadits Nabi Muhammad Saw. sebagai
penjelasannya. Apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan dijelaskan dengan
hadits, harus diterima dan tidak boleh ditolak.
Akal pikiran manusia dalam
hal ini untuk menafsiri, dan menguraikan Al-Qur’an serta mentakwilkannya dalam
batas yang yang diijinkan yaitu kata-kata bahasa, yang dikuatkan oleh hadits.
Sesudah itu, lainnya akal hanya membenarkan dan tunduk kepada nash serta
mendekatkannya kepada alam pikiran.
Jadi, fungsi akal adalah
menjadi saksi dan membenarkan penjelasan-penjelasan dalil-dalil Al-Qur’an.
Dengan demikian kaum Salafiyah meletakkan akal di belakang wahyu, tidak boleh
berdiri sendiri.
1. Menurut kaum Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah sangat
meninggikan akal. Sampai-sampai mereka menganggap bahwa fungsi akal lebih
tinggi dibandingkan dengan wahyu, baik Alqur’an maupun hadits.
Sesuatu yang bertentangan dengan akal
meskipun ada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang menjelaskan dan sesuai
dengan masalah itu tetap akan dibuangnya tidak mau menerima.
Dengan demikian, menurut Mu’tazilah
fungsi akal lebih tinggi daripada wahyu.
2. Menurut Ahlus Sunnah Wal
Jaa’ah
Ahlus Sunnah yang memegang
pendirian Faha Asy’ariyah berpendapat bahwa fungsi wahyu (berupa Al-Qur’an) dan
hadits Nabi adalah menjadi pokok utama, sedangkan akal sebagai penguat nash
Al-Qur’an dan hadits.
Al-Asy’ari tidak menjauhkan
diri dari pemakaian akal, tetapi ia menentang keras terhadap orang yang
menganggap bahwa pemakaian akal tidak pernah disinggung oleh Nabi dala
membicarakan soal-soal agama, termasuk juga menentang orang yang ementingkan
diri menganggap bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi dibandingkan dengan
wahyu.
Menurut Al-Asy’ari, sahabat
Nabi sendiri setelah beliau wafat banyak membicarakan soal-soal bau berdasarkan
akal pikiran dengan tidak mengesampingkan Al-Qur’an dan hadits. Ia juga
menentang orang yang keberatan membela agama dengan ilmu kalam dan argumentasi
pikiran, karena yang demikian ini tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an maupun hadits[10].
C. Kehendak,
Kekuasaan dan Perbuatan Tuhan
1.
Menurut kaum salafiyah
Menurut kaum salafiyah Tuhan
memiliki kekuasaan dan perbuatan mutlak, yakni Tuhan menciptakan langit dan
bumi dengan segala isinya tanpa adanya sekutu penciptaanya. Tidak ada yang
menyamai dan mempersengketakan kekuasaanya. Dalam menciptakan segala sesuatu
Tuhan tidak membutuhkan yang lain bersama-sama denganya, bahvan segala sesuatu
dan semua pekerjaan datang atas kekuasaan Tuhan dan semuanya akan kembali
kepadanya juga.
2.
Menurut kaum mu’tazilah
Tuhan tidak menghendaki keburukan, ttidak
menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan perintah dan
meninggalkan larangannya, atas kekuasaan Qudrah yang dijadikan pada manusia itu
sendiri. Tuhan hanya perintah apa yang dikehendaki dan melarang apa yang tidak
dikehendakinya. Ia mengusai kebaikan-kebaikan yang diperintahkannya dan tidak
ikut campur dalam keburukan-keburukan yang dilarangnaya. Dengan demikian kaum
Mu’tazilah menggangap bahwa kekuasaan dan kehendak perbuatanTuhan tidak lagi
mempunyail sifat mutlak semutlak mutlaknya. Jadi kaumMu’tazilah percaya pada
hukum alam dan menganut keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah. Selanjutnya
menurut Mu’tazilah bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh
kewajiban-kewajiban tuhan terhadp manusia yang memang ada. Kekuasaan mutlakl
itu dibatasil oleh alam atu sunnah Allah yang tidak menga;ami; perubahan.
Mereka berpengang pada ayat al-qur’an surat Al-ahzab ayat 62 yang artinya :
“Dan
kamu sekali-kali tiada akn mendapati perubaha n pada sunah Allah.”
Beberapa prinsip yang dianut Mu’tazilah adalah :
a. Tuhan
menciptakan mahluk berdasarkan atas hikmah dan kebijaksanaan (tujuan).
b. Tuhan
tidav menghendaki dan memerintahkan keburukan.
c. Manusia
mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya.
d. Tuhan
mesti mengerjavan yang baik dan terbaik.
3.
Menurut ahlussunnah wal jamaah
Menurut faham ahlussunnah
wal jama’ah tentang kehendak, kekuasaan dan perbuatan Tuhan ialah bahwa Tuhan
menghendaki kebaivan dan keburukan, jika sesuatu dikendaki oleh Tuhan baik,
maka baiklah sesuatu itu, sebaliknya jika menhendaki buruk maka buruk.
Tuhan berkuasa atas segala
sesuatu, akan tetapi membelri kebebasan kepada manusia untuk berusah mewujudkan
sesuatu pekerjaan. Dalam
masalah perbuatan Tuhanll berpendapat bahwa Tuhan berbuat sesuatu varana Qudrat
dan Iradatnya, tidak mempunyai tujuan dan bukan karena hikmah tertentu. Sesuai
dengan firman Allah surat Yasin ayat 82 yang artinya :
‘Sesungguhnya keadaannya apabila Dia
menghendaki sesuatu hanyalah berkata : jadilah !! maka terjadilah ia.”[11]
D. Kehendak,
kekuasan dan perbuatan manusia
1. Menurut Aliran Salafiyah
Manusia mempunyai usaha
dengan bebas sesuai dengan kehendak dan kemauannya, namun tidak lepas dari
Qudrat Allah Swt. Contoh tanda-tanda Qudrat alah Swt. adalah bahwa kadang Tuhan
menghalangi apa yang dikehendaki manusia, sehingga terjadi tidak seorangpun
sanggup menolong sesamanya di luar apa yang di usahakan. Seperti mengobati
orang sakit, tapi tidak sembuh.
2. Menurut Aliran Mu’tazilah
Kehendak, kekuasaan dan
perbuatan manusia adalah mutlak, artinya manusia bisa bebas berkehendak dan mewujudkan
perbuatannya. Perbuatan manusia bukan atas dasar penciptaan Tuhan.
Prinsip Mu’tazilah adalah
“keadilan Tuhan” yang menurut mereka Tuhan tidak akan memberi pahala atau siksa
kepada seseorang kecuali atas perbuatan yang ia lakukan dan memang dikehendaki,
karena dengan akalnya bisa membedakan perbuatan yang baik dan buruk, berarti
dapat menentukan pilihan.
Tentang kekuasaan bagi manusia, menurut
mereka manusia mempunyai kesanggupan dan kekuasaan untuk mewujudkan
perbuatannya sehingga dapat memahami adanya perintah-perintah Tuhan. Tentang
janji dan ancaman, pengutusan rasul-rasul tidak ada kezaliman bagi Tuhan.
Mengenai pekerjaan manusia,
mereka berpendirian bahwa pekerjaan manusia hanyalah “kemauan”, dan ada
perbedaan antara pekerjaan yang keluar dari kemauan dan pekerjaan yang timbul
dari perbuatan yang lain. Perbuatan yang kedua ini timbul dari hukum alam,
sedang yang pertama tidak tunduk pada hukum alam dan tidak pula terjadi
sendirinya. Perbuatan manusia yang bebas adalah terjadi dengan usaha dan pilihannya
sendiri, bukan ciptaan Tuhan.
Mereka menganggap bahwa manusia dalam
hatinya merasakan perbuatan yang aka terjadi menurut dorongannya. Kalau dia mau
bergerak, maka bergeraklah dan kalau mau diam, maka diamlah. Ini dalah
kenyataan yang tidak dapat dipungkiri akal.
3. Menurut Ahlus sunnah
Perbuatan manusia itu
dikerjakan atas Qudroh Allah disertai dengan qudrat manusia, namun Qudrat
Allah-lah yang dapat memberi bekas.
Jadi, perbuatan manusia diciptakan oleh
Allah Swt. bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri. Tetapi dalam perwujudannya
manusia juga mempunyai bagian yang disebut usaha (al-kasbu) berbarengan antara
perbuatan seseorang dengan kemampuannya.
Dengan usaha itulah manusia
bertanggung jawab atas segala baik dan buruknya perbuatan yang dilakukan.
Dengan demikian, menunjukan bahwa manusia berhak berusaha, namun Allah jualah
yang menentukan hasilnya[12].
E. Keadilan
Tuhan
Munculnya masalah keadilan Tuhan itu disebabkan karena
adanya perbedaan pendapat tentang kebebasan manusia dan kekusaan mutlak Tuhan.
1. Menurut Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah, karana percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia. Mereka
beranggapan bahwa manusia berakal sempurna, dan jika manusia berbuat sesuatu
pasti mempunyai tujuan, baik berbuat untuk dirinya sendiri maupun orang lain.
Menurut mereka Tuhan juga mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatannya, akan
tetapi karena Tuhan Maha Suci dari sifat berbuat untuk kepentingan diri
sendiri, perbuatan-perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan maujud lain, selain Tuhan. Berlandaskan argumen-argumen ini kaum
Mu’tazilah berkeyakinan, bahwa wujud ini diciptakan untuk manusia, sebagai
makhluk tertinggi, dan oleh karena itu mereka mempunyai kecenderungan untuk
melihat segala-galanya dari sudut kepentingan manusia[13].
Berdasarkan atas
tendensi yang di jelaskan di atas, soal keadilan mereka tinjau dari sudut
pandang manusia. Bagi mereka keadilan yang diterangkan Abd al-Jabbar, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan memberi seseorang akan haknya. Kata-kata “Tuhan adil” mengandung arti segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat berbuat yang buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam memberi
hukuman tidak dapat menghukum anak
orang musyrik lantaran dosa orang tuanya dan mesti memberi upah kepada orang yang
patuh pada-Nya dan memberi hukuman kepada yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya keadilan juga mengandung arti berbuat menurut
semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia, dan memberi upah atau
hukuman kepada manusia sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Jelas kiranya bahwa
paham keadian bagi kaum mu’tazilah mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus
dihormati
Tuhan[14].
2. Menurut Ahlus Sunnah
Kaum Asy’ariyah karena percaya bahwa
Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, mereka menolak paham bahwa Tuhan mempunyai
tujuan dalam perbuatan-Nya. Tuhan berbuat semata-mata karena keusaan dan
kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepentingan manusia atau tujuan lain[15].
Menurut kaum Asy’ariyah mengenai keadilan
ditinjau dari sudut keuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mereka mengartikan keadilan
adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai
kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai
dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian keadilan Tuhan
mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap mahluk-Nya dan
dapat berbuat sekehendak-Nya dalam kerajaan-Nya. Ketidakadilan, sebaliknya berarti
“menempatkan sesuatu tidak pada tempatnaya, yaitu
berkuasa mutlak terhadap hak milik orang.”[16]
Menurut kaum Asy’ariyah Tuhan adalah
raja absolute, yang memberikan hukuman menurut kehendak mutlak-Nya, tidak
terikat pada suatu kekuasaan, kecuali kekuasaan-Nya sendiri. Sedangkan menurut
kaum mu’tazilah Tuhan adalah raja konstitual, yang kekuasaan-Nya dibatasi oleh
hukum, walaupun hukum tersebut adalah buatan Tuhan sendiri, akan tetapi Tuhan
mengeluarkan hukuman sesuai dengan hukum bukan dengan sewenang-wenang[17].
Kaum Maturidiyah Samarkand lebih condong kepada kaum
mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tapi perbuatan manusia sendiri. Jadi, manusia dihukum atas perbuatan yang
dikehendakinya dan yang dilakukan bukan dengan paksaan tetapi dengan kebebasaan
yang diberikan Tuhan kepadanya[18].
Sedangkan kaum Maturidiyyah Bukhara
lebih condong kepada Asy’ariyah, persoalan keadilan menurut mereka sebenarnya
ada, tetapi paham masyi’ah dan rida membebaskan golongan Bukhara dari persoalan
ini. Sungguhpun
manusia dalam paham Maturidiyah, berbuat buruk tas kehendak Tuhan, tetapi
perbuatan tersebut tidak diridhoi Tuhan. Karena menentang ridha Tuhan, tidaklah
dapat dikatakan bahwa Tuhan bersifat tidak adil kalau ia member hukuman kepada
orang yang berbuat jahat[19].
F. Sifat-sifat Tuhan
a. Sifat-sifat Tuhan secara
umum
Pertentangan paham antara
kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar
persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat
mestilah sifat itu kekal sebagaimana dzat tuhan. Dan selanjutnya jika sifat itu
kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tapi banyak. Tegasnya, kekalnya
sifat akan membawa kepada faham banyak yang kekal (ta’addudu al-qudama’ atau multyplicity eternals). Yang selanjutnya akan
membawa kepada faham syirk atau
polytheisme. Suatu hal yang tidak bisa diterima dalam teologi.
1. Menurut Mu’tazilah
Tuhan tidak mempunyai sifat.
Definisi mereka tentang Tuhan bersifat negatif. Tuhan, tidak mempunyai
pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya.
Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa,
tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa dan sebagainya
tetapi mengetahui, berkuasa dan sebagainya, bukanlah sifat dalam arti kata
sebenarnya. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan adalah esensi
Tuhan itu sendiri. Artinya Tuhan tidak butuh kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan
atau keadaan mengetahui[20].
2. Menurut Ahlus Sunnah
Asy’ariyah belawanan dengan
faham Mu’tazilah. Mereka mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Dan sifat
Tuhan seperti pengetahuan, hayat, kehendak dan lainnya adalah kekal.
Sifat-sifat Tuhan ini bukan esensi Tuhan, tetapi sifat itu ada dalam esensi itu
sendiri.
Untuk mengatasi anggapan
terjadinya ta’addudu
al-qudama’ atau
multyplicity eternals, Asy’ariyah mengatakan
bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Karena
sifat-sifat itu tidak lain dari Tuhan, adnya sifat-sifat tidak membawa kepada
faham ta’addudu al-qudama’[21].
Ahlus Sunnah kaum
Maturidiyah dalam menanggapi persoalan ta’addudu al-qudama’ mereka selesaikan dengan mengatakan
bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi
Tuhan dan bukan melalui kekekaln sifat itu sendiri; juga dengan mengatakan
bahwa Tuhan bersama-sama sifatnya kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri
tidaklah kekal[22].
b. Antrhopomorphisme (tajsim)
1. Menurut Mu’tazilah
Tuhan tidak mempunyai
sifat-sifat yang jasmani, karena Tuhan bersifat immateri. Tuhan tidak mungkin
mempunyai badan materi, oleh karena itu tidak mempunyai sifat sifat jasmani. Adapun
ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat
jasmani harus diberi interpretasi lain (ta’wil). Dengan demikian kata al-arsy, tahta kerajaan diberi interpretasi kekuasaan, al-‘ain, mata, diberi interpretasi pengetahuan, begitupun sifat-sifat
yang lain[23].
2. Menurut Ahluss Sunnah
Kaum Asy’ariyah sama dengan
Mu’tazilah, mereka tidak menerima Antrhopomorphisme dalam arti, bahwa Tuhan
mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia.
Namun bagi mereka, sebagaimana dalam Al-Qur’an Tuhan tetap mempunyai mata,
muka, tangan, dan sebagainya, tetapi semua itu tidak sama dengan apa yang ada
pada manusia. Tentu itu timbul pertanyaan, jika tidak sam dengan yang ada pada
manusia, maka bagaimana sifat tangan,
mata, muka dan sebagainya itu? Jawab Al-asy’ari : “Tuhan mempunyai mata dan
tangan, yang tak dapat diberikan gambaran atau definisi”.
Sedangkan
kaum Maturidiyah dalam hal ini tidak sepaham dengan Asy’ariyah. Menurut Maturidiyah
golongan Bukhara, tangan Tuhan adalah sifat bukan anggota badan Tuhan, yaitu
sifat sama dengan sifat-sifat lain seperti pengetahuan, daya dan kekuasaan[24].
Lain
halnya dengan pendapat Maturidiyah Samarkand. Tangan, muka, mata, dan kaki
diartikan sebagai kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai badan, sungguhpun
tidak sama dengan jasmani manusia, karena badan tersusun dari substansi (jawhar dan ‘ard). Manusia butuh pada anggota badan, karena tanpa anggota
badan manusia menjadi lemah; adapun tuhan, tanpa anggota badan, Ia tetap Maha
Kuasa[25].
c. Melihat Tuhan
1. Menurut Mu’tazilah
Tuhan tidak dapat dilihat
dengan mata kepala, karena Tuhan bersifat immateri. Tuhan tak mengambil tempat
dan dengan demikian tak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang
mengambil tempat. Kalau Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, Tuhan akan
dapat dilihat sekarang dalam alam ini juga. Dan tidak ada orang yang melihat
Tuhan di alam ini.
2. Menurut Ahlus Sunnah
Kaum Asy’ariyah berpendapat lain, bahwa
Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti.
Argumen mereka untuk memperkuat pendapat ini sebagai berikut. Yang tidak dapat
dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud mesti dapat
dilihat. Tuhan berwujud dan oleh karena itu dapat dilihat[26].
Kaum Maturidiyah dengan kedua
golongannya sefaham dalam hal ini dengan kaum Asy’ariyah. Al-maturidi juga
berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat karena Ia mempunyai wujud. Dalam hal ini,
Asy’ariyah dan kedua golongan Maturidiyah sepakat dan tidak ditemukan perbedaan[27].
BAB III
PENUTUP
Semua ulama kalam sama-sama
mempergunakan akal atau wahyu dalam menyelesaikan persoalan persoalan
ketuhanan. Perbedaannya adalah porsi penggunaan akal dan wahyu. Mu’tazilah
memberi porsi banyak pada akal, kaum Salafiyah tidak memberi porsi pada akal,
dan Ahlus Sunnah lebih banyak memberikan porsi pada wahyu.
Ulama kalam yang berpendapat
bahwa akalmempunyai daya yang kuat memberi interpratasi yang riberal tentang
teks Al-Qur’an dan Hadits. Demikian timbullah pemahaman kalam liberal. Ulama
yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah memberi interpretasi
harfi atau dekat dengan arti harfi dari teks Al-Qur’an dan Hadits. Sikap
demikian akan menimbulkan pemahaman kalam yang tradisional. Dan bagi yang tidak
memberikan porsi pada akal akan menimbulkan pemahaman kalm yang fundamental.
Pada hakikatnya semua aliran
tersebut, tidaklah keluar dari Islam, tetapi tetap dalam Islam. Dengan demikian
tiap orang Islam bebas memilih salah satu dari aliran-aliran kalam tersebut,
yaitu aliran mana yang sesuai dengan jiwa dan pendapatnya. Hal ini tidak
obahnya pula dengan kebebasan tiap orang Islam memilih madzhab fikih mana yang
sesuai dengan jiwa dan kecenderungannya. Disinilah kelihatan hikmat ucapan Nabi
Muhammad Saw. “Perbedaan pendapat di kalangan umatku membawa rahmat”[28].
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan, Jakarta: Universitas Indonesia/UI-Press, 1986.
Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta,
1996.
Baidan, Nashiruddin, Tafsir Maudhu’i, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2001.
Yunus, Mahmud, Kamus
Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran al-Quran, 1973.
Al-Habsyi, Husin,
Kamus al-Kautsar Lengkap Arab Indonesia, Cet. III; Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1986.
Al-Bahi, Muhammad, al-Fikr
al-Islam wa Mujtama‘ah al-Mu‘asir, Kairo: Dar al-Qawaniyah li
al-Ta‘ah wa al-Nasr, t.th.
Ichwan, Mohammad Nor, Belajar Al-Qur’an, Cet: I; Semarang: RaSAIL,
2005.
Departemen Pendidikan dan Kebudyaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azhim , Manahil al-‘Irfan, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.
[1] Harun Nasution, Teologi
Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan (Jakarta: Universitas
Indonesia/UI-Press), h. 8.
[5] Mahmud Yunus,
Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran
al-Quran, 1973), h. 275. Lihat juga, Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Lengkap
Arab Indonesia (Cet. III; Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1406 H./1986 M.), h.
261.
[6] Muhammad al-Bahi, al-Fikr
al-Islam wa Mujtama‘ah al-Mu‘asir (Kairo: Dar al-al-Qawaniyah li al-Ta‘ah wa
al-Nasr, t.th.), h. 359-360.
[8] Departemen Pendidikan dan
Kebudyaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka,
1990), h. 1005.
No comments:
Post a Comment