DISUSUN
OLEH:
MACHMUD
SOLAHUDIN
Bab I
Pendahuluan
1.
Latar
Belakang
Pasca serangan tentara Mongol terhadap kekhilafahan
Abbasiyah di Baghdad, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara
drastis. Wilayah kekuasaanya terbagi-bagi dalam beberapa dinasti kecil yang
satu sama lain saling memerangi.
Kondisi politik umat Islam secara keseluruhan baru
mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga dinasti besar,
Dinasti Utsmani di Turki, Dinasti Syafawi di Persia, Dinasti Mughal di India.
Dinasti Utsmani, di samping yang pertama kali
berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibanding dua dinasti
lainya. Namun demikian, pada saat kekuasaan Islam di bawah kepemimpinan Daulah
Utsmani dan sedang mengalami puncak kejayaannya, di tempat lain muncul
benih-benih kekuatan baru yang pada akhirnya
memunculkan Dinasti Syafawi di Persia.
2.
Rumusan
Masalah
a.
Sejarah
Singkat Berdirinya Dinasti Shafawi
b.
Perubahan
dari Gerakan Keagamaan (Thariqoh) ke Gerakan Politik
c.
Kesimpulan
3.
Tujuan
Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
masa Dinasti Shafawi serta memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradapan Islam
sebagai syarat kelulusan.
Bab
II
Pembahasan
1.
Sejarah
Singkat Berdirinya Dinasti Shafawi
Pada abad ke-9 H, Dinasti Utsmani
memimpin dunia Islam. Salah satu permasalahan yang dihadapi pemerintahan ini
adalah gerakan sufisme. Mereka aktif bekerja untuk membentuk kekuatan politik
baru. Pada akhir abad ke-9 H., adalah
peristiwa yang paling penting dari tasawuf
yang terkait dengan keluarga Syaikh Shafi al-Din Ardabili dimana
pemerintahan merasa kuwalahan dengan kebangakitan dan perlawanan yang dilakukan
oleh thariqoh syafawi yang dibantu pengikutnya untuk merebut kekuasaan.
Hal ini pula penyebab yang membuatnya masuk dalam konflik dan bentrokan
sporadis dengan suku-suku pada saat itu.[1]
Kata Shafawi berasal dari kata “shafi”,
suatu gelar bagi nenek moyang Sultan Shafawi yaitu Shafi al-Din Ishaq
al-Darbili pendiri dan pemimpin thariqoh Shafawiyah.
Pada mulanya di Persia, tepatnya di
Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan, terdapat sebuah gerakan thariqoh (yaitu
orang yang mengkhususkan pada pembinaan dan pengarahan spiritual keagamaan)
yang diberi nama Shafawi
(al-Shafawiyyah). Thariqoh ini didirikan pada waktu yang hampir bersama dengan
berdirinya Dinasti Utsmani. Daerah tersebut ditinggali oleh mayoritas suku
Kurdi dan Armen. Nama Shafawi disandarkan kepada pendiri thariqoh tersebut yang
bernama Syaikh Shafi al-Din Ishaq al-Ardabili (650-735H./ 1252-1334 M.). Dia
adalah kakek kelima bagi Syaikh Ismail al-Shafawi, Pendiri Dinasti Shafawi.
Dari nama Shafi al-Din ini diambillah nama silsilah nasabnya dengan sebutan
al-Shafawi. Dilihat dari silsilah nasab, menurut para Utsmani, Shafi al-Din
adalah keturunan al-Khazim, imam ketujuh dari Syi’ah Imamiyah yang keduabelas.[2]
Para sejarawan memegang penisbatan tersebut
kepada kitab Shafwat al-Shafi yang ditulis oleh Ibnu Bazzaz, salah seorang
penduduk Ardabil. Dia menulis kitab tersebut pada masa Syaikh Shafi al-Din
Ishaq dimana Syaikh kemudian memerintah
Ibnu Bazzaz untuk menyambungkan nasabnya ke a hl al-Bait, mencontoh
gurunya Taj al-Din Ibrahim Zahidi. Hal ini dilakukanya karena pada masa itu Alawiyyin (Syi’ah)
sedang berpengaruh dan mendominasi pemikiran dan madzab di Persia.
Pada masa 1301-1447M / 700-850 H.,
gerakan Shafawi masih murni gerakan
keagaman (kultural) dengan tarekat
Shafawiyah sebagai sarananya. Selama masa ini Shafawi memiliki pengikut
yang besar, tidak hanya di Persia tetapi juga sampai ke Syiria dan Anatolia.
Mayoritas pengikutnya adalah suku-suku Turki yang masih seminomad yang dikenal
dengan sebutan Turkman yaitu diantaranya suku Ustajlu, Rumlu, Shamlu, Dulgadir,
Takkalu, Asfar dan Qajar.[3]
Pada fase pertama ini, gerakan
Shafawiyah tidak mencampuri masalah politik sehingga ia berjalan dengan aman
dan lancar, baik pada masa ikhwan maupun pada masa pejarahan Timur Lenk. Dalam
konstelasi politik yang paling suram itu, dapat dimengerti mengapa kehidupan
tarekat sufi dapat tumbuh subur dan mendapat simpati masyarakat banyak. Umat
umumnya hidup dalam suasana apatis dan pasrah melihat anarki politik yang bekecamuk. Hanya dengan kehidupan
keagamaan lewat sufisme, mereka mendapat kekuatan mental. Hanya lewat
persaudaraan tarekat mereka merasa aman dalam menjalin persaudaraan
antar-Muslim. Selama fase pertama ini, gerakan Shafawi mempunyai dua warna. Pertama,
bernuansa sunni yaitu pada masa pimpinan Shafi al-Din ishaq (1301-344 M) dan
anaknya Shadruddin Musa (1344-1399 M). Kedua, berubah menjadi Syiah pada
masa pimpinan Khawaja Ali anak Shadruddin (1399-1427 M). Perubahan tersebut
tampaknya wajar saja terjadi karena di samping alasan yang sudah disebutkan,
juga ada kemungkinan bertambahnya pengikut Shafawiyah di kalangan Syi’ah
sehingga kepemimpinanya berusaha menyesuaikan diri dengan aliran mayoritas
pendukungnya.[4]
2.
Perubahan
Dari Gerakan Keagamaan (Thoriqoh) ke Gerakan Politik.
Pada masa 1447-1501 M, gerakan Shafawi
memasuki tahap atau fase kedua, yaitu sebagai gerakan politik (struktural) yang
dipimpin oleh Junaid bin Ali. Junaid bin Ali mengubah gerakan politik
revolusioner dengan tarekat Shafawiyah sebagai sarananya. Dengan demikian,
Shafawi mulai terlibat dalam politik dengan kekuatan politik lain yang ada di
Persia saat itu. Ada dua buah kerajaan Turki yang saat itu berkuasa, Kara Koyunlu
(domba hitam) yang berkuasa di bagian Timur dan Ak Koyunlu (domba putih) yang
berkuasa di bagian Barat. Yang pertama beraliran Syiah, sedangkan yang kedua
beraliran Sunni.
Disebabkan kegiatan politiknya, Junaid,
pemimpin Shafawi meninggalkan Ardabil karena mendapat tekanan dari raja
kerajaan Kara Koyunlu yang berkuasa di daerah itu. Ia kemudian meminta suaka
politik kepada Raja Ak Koyunlu sekaligus mengadakan aliansi untuk bersama-sama
menghadapi Kara Koyunlu. Aliansi politik ini bertambah kuat dengan adanya
pernikahan Junaid dengan saudara Uzun Hasan. Aliansi yang diperkuat kekerabatan
ini diperkuat lagi oleh adanya perkawinan antara Haidar putra Junaid dengan
putri Uzun Hasan sendiri dari dari istrinya Despin Katrina, puteri Kaloo
Johannis, seorang raja Kristen di Pantai Timur Laut Hitam.[5]
Perubahan Shafawi dari gerakan keagamaan
ke gerakan politik cukup menarik karena sebagai tarekat sufi yang lebih
bersifat ukhrawi kemudian menjadi duniawi (profan). Faktor utama yang
menyebabkan adanya perubahan tersebut adalah ada pada ajaran tarekat itu sendiri,
yaitu hubungan antara pemimpin tarekat dengan pengikut-pengikutnya. Pemimpin
tarekat yang disebut mursyid mempunyai wakil (khalifah) di daerah–daerah
tertetu tempat pengikut-pengikutnya berada. Anggota tarekat harus tunduk secara
mutlak kepada mursyid dan khalifah itu. Oleh karena itu ikatan antara pemimpin
dengan pengikutnya sangat kuat, sehingga ada semacam hierarki spiritual. Dalam
tarekat Shafawi, pemimpin tarekat yang meninggal dunia selalu digantikan oleh
anaknya seperti dalam kepemimpinan dinasti. Ini menjadi modal dasar yang
mendorong perubahan tesebut. Jika sang pemimpin seperti Junaid meiliki ambisi
politik, para pengikutnya dapat disulap menjadi tentara yang fanatik dan mendukung
ambisi politik pemimpinya.
Selama dalam suaka Ak Koyunlu, baik
Junaid maupun Haidar telah melakukan kegiatan politik. Pada 1459 M, Junaid
berusaha menyerang Ardabil, tetapi gagal. Kegagalan yang sama dialaminya pula
ketika menyerang daerah Utara yang didiami orang-orang Kristen Georgia dan
Chircasia. Ia sendiri meninggal terbunuh penguasa daerah Sirwan yang dilaluinya
pada 1460 M. Haidar pun mengikuti jejak ayahnya. Ia mencoba menyerang
daerah-daerah Kristen di Utara, tetapi
gagal. Adanya kecenderungan untuk menyerbu daerah Utara tersebut, dimungkinkan
untuk memperoleh daerah pijakan yang akan memperkuat basis politik yang
independen karena selama ini Shafawi hanya merupakan dinasti politik spiritual
tanpa tanah air. Meskipun Haidar belum mewujudkan cita-cita gerakan Shafawi,
namun ia sempat memberikan atribut kepada pendukung-pendukungnya berupa Surban
merah yang berumbai dua belas sehingga mereka terkenal dengan sebutan kepala
merah atau Qizilbas. Umbai dua belas menunjukkan Syiah Imamiah Dua Belas
yang menjadi anutanya. Atribut ini sangat besar pengaruhnya dalam menanamkan
fanatisme, militansi serta pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Shafawi di
belakang hari.[6]
Setelah Ak Koyunlu menumbangkan Kara
koyunlu pada 1467 M., aliasi shafawi dengan Ak Koyunlu menjadi guncang. Ak
Koyunlu menganggap Shafawi sebagai kekuatan politik yang sangat membahayakan
kelestarian kekuasaanya di Persia. Ali bin Haidar yang menggantikan kekuasaan
ayahnya sebagai pemimpin Shafawi ditangkap Yakub, Raja Ak Koyunlu, lalu dibuang
ke Fars bersama ibu dan dua orang saudaranya, Ibrahim dan Ismail selama empat
setengah tahun (1589-1593 M). Situasi tersebut mendorong pengikut-pengikut
Shafawi di Persia, Armenia, Anatolia dan Syria mengonsolidasikan kekuatan
sendiri, sehingga Ali dilepaskan. Tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama .
Ketika penguasa Ak Koyunlu berikutnya dipegang oleh Rustam, Ali ditangkap
kembali dan dibuang ke Ray sampai akhirnya dibunuh. Sebelum meninggal, Ali
sempat mengangkat adik bungsunya, Ismail bin Khaidar yang waktu itu berusia
tujuh tahun untuk menjadi pemimpin Shafawi.
Ismail yang masih remaja berusaha
memanfaatkan kedudukanya sebagai mursyid Shafawiyah dan pemimpin gerakan
Shafawi untuk mengonsolidasikan kekuatan politiknya. Secara tersembunyi ia
menjalin hubungan dengan pengikut-pengikutnya yang tersebar luas dimana-mana.
Dalam waktu kurang lebih lima tahun, ia berhasil menyatukan kekuata politik
yang sangat besar dan mulai melakukan perhitungan terhadap musuh-musuh Shafawi
selama ini, seperti penguasa Ak Koyunlu dan Syirwan. Pada 1501 M, pecah
pertempuran antara Ak Koyunlu dengan Shafawi di Sahrur dekat Nakhiwan dengan
kemenangan di pihak Shafawi. Pada tahun itu juga Ismail dengan penuh kemenangan
memasuki kota Tabriz sambil memproklamasikan berdirinya kerajaan Shafawi. Ia
sendiri kemudian menjadi raja pertamanya dan menjadikan Syiah Itsna Asyariah
sebagai ideology negara.
Sepeninggal ismail I sering terjadi
peperangan antara kerajaan usmani,sekaligus tejadi kemrosotan yang di akibatkan
perpecahan dalam kerajaan, keadaan ini berlarut sampai raja yang keempat,kondisi
yang memprihatinkan ini baru dapat diatasi pada saat raja kelima yaitu abbas I.
Keadaan politik pada masa Syafawi mulai
bangkit kembali setelah Abbas naik tahta dari tahun 1587- 1629 dan dia menata
administrasi negara dengan cara yang lebih baik dari pemimpin-pemimpin sebelumnya.
Langkah- langkah yang ditempuh Abbas I dalam rangka memulihkan politik Kerajaan
Syafawi adalah:
a.
Mengadakan
pembenahan administrasi dengan cara pengaturan dan pengontrolan dari pusat.
b.
Pemindahan
ibu kota ke Isfahan
c.
Berusaha menghilangkan dominasi pasukan
Qizilbash atas Kerajaan Syafawi dengan cara membentuk pasukan baru yang
anggotanya terdiri atas budak- budak yang bersal dari tawanan perang bangsa
Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak Raja Tamh I.
d.
Mengadakan
perjanjian damai dengan Turki Utsmani
e.
Berjanji
tidak akan menghina tiga khalifah pada khotbah jumat
.
Reformasi politik yang di lakukan oleh
Abbas I tersebut berhasil membuat Kerajaan Syafawi kuat kembali. Setelah itu,
Abbas I mulai memusatkan perhatiannya merebut kembali wilayah- wilayah
kekuasaannya yang hilang.[7]
Pada tahun 1902M percayalah perang Turki
dengan Austria dan tentara Turki yang lain itu terpaksa pergi memadamkan
pemberontakan kaum tarekat jahiliyah (Maulawiyah) di Asia kecil. Kesempatan ini
diambil oleh Syekh Abbas dan berhasil merebut kembali Tibriz dari tangan Turki.
Setelah itu, dirampas juga Sirwan dan akhirnya di ambilnya Baghdad kembali yang
sudah berkali- kali jatuh di tangan Turki.[8]
Kemudian ia sanggup menaklukkan negeri
Kaukasus dan diperkuatnya batas- batas kekuasaan sampai ke Balakh dan Mervi
pada bulan maret 1602M. Ia dapat pula merampas pulau Hurmuz yang telah sekian
lama menjadi pangkalan kekuatan bangsa Portugis. Sedangkan nakh
civan,Erivan,ganja dan Tiflis dapat di kuasai tahun 1605-1906.[9]
Silsilah masa kerajaan Shafawi:
Sebelum terbentuk menjadi kekusaan kerajaan
a.
Safi al Din
b.
Sadar al Din
Musa
c.
Khawaja
Ali
d.
Ibrahim
e.
Juneid
f.
Haidar
g.
Ali
Setelah menjadi sistim kerajaan
a. Ismail
I
b. TahmaspI
c. Ismail
II
d. Muhamad
khudabanda
e. Abbas
I
f. Safi
mirza
g. Abbas
II
h. Sulaiman
i. Husein
j. Tahmasp
II
k. Abbas
III
3.
Kulminasi
atau Deklinasi
Untuk
menentukan apakah perubahan gerakan tarekat menjadi sebuah gerakan politik ini
sebuah kemajuan atau malah sebuah kemunduran, disini terdapat dua perspektif.
a.
Perspektif
Religi
Dalam
perspektif religi dan kerohanian, bergantinya gerakan keagamaan yaitu tarekat
menjadi sebuah gerakan politik adalah sebuah kemunduran (Deklinasi), karena
yang asalnya sebuah gerakan untuk menuju kesucian jiwa demi mendekatkan diri
kepada Allah berubah dan tercampur dengan urusan duniawi yang kotor dan dapat
menjauhkan diri kepada Allah.
b.
Perspektif
Dinasti
Berbeda
dengan dengan perspektif agama, dalam perspektif Dinasti atau kenegaraan ini
adalah sebuah prestasi yang gemilang dan memajukan Dinasti Shafawi itu sendiri
(Kulminasi). Dengan perubahan tersebut Dinasti Shafawi dapat berkembang dan
memperluas wilayahnya. Hal ini bisa dilihat denga adanya kemajuan-kemajuan di
berbagai bidang.
Bab
III
Penutup
1.
Kesimpulan
Perubahan Shafawi dari gerakan
keagamaan ke gerakan politik cukup menarik karena sebagai tarekat sufi yang
lebih bersifat ukhrawi kemudian menjadi duniawi (profan). Faktor utama
yang menyebabkan adanya perubahan tersebut adalah ada pada ajaran tarekat itu
sendiri, yaitu hubungan antara pemimpin tarekat dengan pengikut-pengikutnya.
Dalam perspektif religi dan
kerohanian, bergantinya gerakan keagamaan yaitu tarekat menjadi sebuah gerakan
politik adalah sebuah kemunduran (Deklinasi), karena yang asalnya sebuah
gerakan untuk menuju kesucian jiwa demi mendekatkan diri kepada Allah berubah
dan tercampur dengan urusan duniawi yang kotor dan dapat menjauhkan diri kepada
Allah
Berbeda
dengan dengan perspektif agama, dalam perspektif Dinasti atau kenegaraan ini
adalah sebuah prestasi yang gemilang dan memajukan Dinasti Shafawi itu sendiri
(Kulminasi). Dengan perubahan tersebut Dinasti Shafawi dapat berkembang dan
memperluas wilayahnya. Hal ini bisa dilihat denga adanya kemajuan-kemajuan di
berbagai bidang.
Daftar
Pustaka
Ø Syaefudin, Machfud dkk. 2013,
Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu.
Ø Holt, P.M. dkk. 1970 The Cambridge
History of Islam, Vol. 1, Cambridge University Press.
Ø Syalabi, Ahmad. Nasy’at al-Tarikh
al-Islami, Vol. VII, Kairo: Makhtabah al-Nahdhah al Mishriyah.
Ø Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarata: Rajawali Pers.
Ø Yatim, Badri. 2006, Sejarah
Peradapan Islam dirasah islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ø Supriyadi, Dedi. 2008. Sejarah Peradaban Islam, Bandung:
Pustaka Setia.
[2] Ibid.
[3] P.M. Holt dkk, The Cambridge History of Islam, Vol. 1,
(Cambridge University Press, 1970), hal. 395
[4] Ibid., hal. 396
[5] Ahmad Syalabi, Nasy’at al-Tarikh al-Islami, Vol. VII,
(Kairo: Makhtabah al-Nahdhah al Mishriyah) hal. 766-775.
[6] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam,
Jakarata: Rajawali Pers, Hal 172.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam dirasah islamiyah
ii,(jakarta,PT Raja grafindo persada.2006) hal 138
[9] Ibid
No comments:
Post a Comment