Sholihin (kanan) memamerkan miniatur rumah karya tangan muridnya yang terbuat dari limbah kardus. |
Oleh: Estanu Wijaya (Ojay)
“Satukan hati dengan alam
sekitarmu........” penggalan kata yang terlontar
dari lisan kalbu Sholihin.
Muhammad Sholihin Asror adalah
seorang santri salaf yang hanya mengenyam pendidikan formal SD (Sekolah Dasar).
Wong ndeso yang lahir di sebuah pedukuhan yang kurang memerhatikan dunia
pendidikan. Masa pendidikannya ia jalani di pesantren. “Sebenarnya saya pernah
masuk SMP, tapi kena DO (Drop Out) karena kebandelan saya dulu, akhirnya saya
masuk pesantren,” terang pemuda berkacamata yang sedang mengenang masa lalun
yang suram itu.
“Kenapa sampeyan tidak
melanjutkan di perguruan tinggi aja?,” tanya saya di sela-sela ceritanya. “Saya
hanya bisa kuliah dalam imajinasi saja,” jawab pemuda berusia 24 tahun itu
sambil tertawa ngakak.
Saya mengunjungi Sholihin pada
hari Sabtu, 29 Maret 2014. Jalan menuju dukuh Kedempel, Harjosari, Doro,
Pekalongan yang jauh dari keramaian. Kerikil dan lubang di jalanan menghiasi,
kebun di kanan dan kiri meneduhi. Sinyal pun sulit didapatkan. Tak pernah
terbayang sebelumnya, dengan akses yang sulit seperti ini. Sungguh melelahkan
dan membuat hati resah, takut ban motor pecah.
Rumah dengan dua kamar kecil berukuran
dua setengah meter persegi. Buku bacaan, berkas-berkas tulisan dan karya tangan
berserakan di setiap sudut kamar, membuat kamar tampak berantakan dan sempit.
Terlihat kaca rumah depan yang sudah pecah, dibalut isolasi bening yang
menguning. Angin malam yang meniupkan suara jangkrik mengantarkan saya dalam
tidur yang lelap.
*****
Fajar menyapa pagi, suara
adzan shubuh dan keruyuk ayam berlomba membangunkan saya dari lelapnya tidur,
sisa lelah perjalanan jauh Semarang-Pekalongan. Nampaknya Sholihin sudah bangun
sejak dari tadi. “Dia qiyamul lail,” dalam benakku.
Saat sinar matahari masih
samar-samar, beberapa gadis belia berkerudung datang ke rumah mengambil
sesuatu. Lalu kembali membawa sesuatu, yang kemudian saya tahu, rupanya berkas
karya ilmiah dan hasil keterampilan tangan mereka. “Kita tunggu di lapangan ya
pak,” seru salah satu gadis itu. Semangat sekali anak-anak itu.
Minggu, 30 Maret 2013 Jam 07.00
pagi, dari jarak sekitar 200 meter, nampak sekumpulan anak di sebuah
lapangan bola desa Harjosari. Riang. Canda-tawa terdengar sampai jarak dimana
saya mengamati mereka. Menunggu Sholihin untuk menemani mereka belajar.
“Hiduplah Indonesia raya,” salah
seorang murid memimpin pelantunan lagu. Pembacaan puisi, narasi, presentasi
karya tangan, semuanya bertemakan alam. Keprihatinan. Kekecewaan.
Kehawatiran. Perjuangan. Semuanya mereka luapkan dalam karyanya.
Keindahan karya Tuhan, lebih nampak ketika sya’ir demi sya’ir dibacakan.
Subhanallah sungguh luar biasa.
*****
“Sebenarnya apa yang
menginspirasi anda mendirikan sekolah alam ini?,” tanyaku usai acara sekolah
alam itu.