Wednesday 13 May 2015

TAREKAT KE POLITIK PADA MASA DINASTI SHAFAWI



DISUSUN OLEH:
MACHMUD SOLAHUDIN 


Bab I
Pendahuluan

1.      Latar Belakang
Pasca serangan tentara Mongol terhadap kekhilafahan Abbasiyah di Baghdad, kekuatan politik Islam mengalami kemunduran secara drastis. Wilayah kekuasaanya terbagi-bagi dalam beberapa dinasti kecil yang satu sama lain saling memerangi.
Kondisi politik umat Islam secara keseluruhan baru mengalami kemajuan kembali setelah muncul dan berkembangnya tiga dinasti besar, Dinasti Utsmani di Turki, Dinasti Syafawi di Persia, Dinasti Mughal di India.
Dinasti Utsmani, di samping yang pertama kali berdiri, juga yang terbesar dan paling lama bertahan dibanding dua dinasti lainya. Namun demikian, pada saat kekuasaan Islam di bawah kepemimpinan Daulah Utsmani dan sedang mengalami puncak kejayaannya, di tempat lain muncul benih-benih kekuatan baru yang pada akhirnya  memunculkan Dinasti Syafawi di Persia.
2.      Rumusan Masalah
a.       Sejarah Singkat Berdirinya Dinasti Shafawi
b.      Perubahan dari Gerakan Keagamaan (Thariqoh) ke Gerakan Politik
c.       Kesimpulan
3.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui masa Dinasti Shafawi serta memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradapan Islam sebagai syarat kelulusan.





Bab II
Pembahasan
1.      Sejarah Singkat Berdirinya Dinasti Shafawi
Pada abad ke-9 H, Dinasti Utsmani memimpin dunia Islam. Salah satu permasalahan yang dihadapi pemerintahan ini adalah gerakan sufisme. Mereka aktif bekerja untuk membentuk kekuatan politik baru. Pada akhir abad  ke-9 H., adalah peristiwa yang paling penting dari tasawuf  yang terkait dengan keluarga Syaikh Shafi al-Din Ardabili dimana pemerintahan merasa kuwalahan dengan kebangakitan dan perlawanan yang dilakukan oleh thariqoh syafawi yang dibantu pengikutnya untuk merebut kekuasaan. Hal ini pula penyebab yang membuatnya masuk dalam konflik dan bentrokan sporadis dengan suku-suku pada saat itu.[1]
Kata Shafawi berasal dari kata “shafi”, suatu gelar bagi nenek moyang Sultan Shafawi yaitu Shafi al-Din Ishaq al-Darbili pendiri dan pemimpin thariqoh Shafawiyah.
Pada mulanya di Persia, tepatnya di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan, terdapat sebuah gerakan thariqoh (yaitu orang yang mengkhususkan pada pembinaan dan pengarahan spiritual keagamaan) yang  diberi nama Shafawi (al-Shafawiyyah). Thariqoh ini didirikan pada waktu yang hampir bersama dengan berdirinya Dinasti Utsmani. Daerah tersebut ditinggali oleh mayoritas suku Kurdi dan Armen. Nama Shafawi disandarkan kepada pendiri thariqoh tersebut yang bernama Syaikh Shafi al-Din Ishaq al-Ardabili (650-735H./ 1252-1334 M.). Dia adalah kakek kelima bagi Syaikh Ismail al-Shafawi, Pendiri Dinasti Shafawi. Dari nama Shafi al-Din ini diambillah nama silsilah nasabnya dengan sebutan al-Shafawi. Dilihat dari silsilah nasab, menurut para Utsmani, Shafi al-Din adalah keturunan al-Khazim, imam ketujuh dari Syi’ah Imamiyah yang keduabelas.[2]
Para sejarawan memegang penisbatan tersebut kepada kitab Shafwat al-Shafi yang ditulis oleh Ibnu Bazzaz, salah seorang penduduk Ardabil. Dia menulis kitab tersebut pada masa Syaikh Shafi al-Din Ishaq dimana Syaikh kemudian  memerintah Ibnu Bazzaz untuk menyambungkan nasabnya ke a hl al-Bait, mencontoh gurunya Taj al-Din Ibrahim Zahidi. Hal ini dilakukanya  karena pada masa itu Alawiyyin (Syi’ah) sedang berpengaruh dan mendominasi pemikiran dan madzab di Persia.
Pada masa 1301-1447M / 700-850 H., gerakan Shafawi masih  murni gerakan keagaman (kultural) dengan tarekat  Shafawiyah sebagai sarananya. Selama masa ini Shafawi memiliki pengikut yang besar, tidak hanya di Persia tetapi juga sampai ke Syiria dan Anatolia. Mayoritas pengikutnya adalah suku-suku Turki yang masih seminomad yang dikenal dengan sebutan Turkman yaitu diantaranya suku Ustajlu, Rumlu, Shamlu, Dulgadir, Takkalu, Asfar dan Qajar.[3]
Pada fase pertama ini, gerakan Shafawiyah tidak mencampuri masalah politik sehingga ia berjalan dengan aman dan lancar, baik pada masa ikhwan maupun pada masa pejarahan Timur Lenk. Dalam konstelasi politik yang paling suram itu, dapat dimengerti mengapa kehidupan tarekat sufi dapat tumbuh subur dan mendapat simpati masyarakat banyak. Umat umumnya hidup dalam suasana apatis dan pasrah melihat anarki politik  yang bekecamuk. Hanya dengan kehidupan keagamaan lewat sufisme, mereka mendapat kekuatan mental. Hanya lewat persaudaraan tarekat mereka merasa aman dalam menjalin persaudaraan antar-Muslim. Selama fase pertama ini, gerakan Shafawi mempunyai dua warna. Pertama, bernuansa sunni yaitu pada masa pimpinan Shafi al-Din ishaq (1301-344 M) dan anaknya Shadruddin Musa (1344-1399 M). Kedua, berubah menjadi Syiah pada masa pimpinan Khawaja Ali anak Shadruddin (1399-1427 M). Perubahan tersebut tampaknya wajar saja terjadi karena di samping alasan yang sudah disebutkan, juga ada kemungkinan bertambahnya pengikut Shafawiyah di kalangan Syi’ah sehingga kepemimpinanya berusaha menyesuaikan diri dengan aliran mayoritas pendukungnya.[4]

2.      Perubahan Dari Gerakan Keagamaan (Thoriqoh) ke Gerakan Politik.
Pada masa 1447-1501 M, gerakan Shafawi memasuki tahap atau fase kedua, yaitu sebagai gerakan politik (struktural) yang dipimpin oleh Junaid bin Ali. Junaid bin Ali mengubah gerakan politik revolusioner dengan tarekat Shafawiyah sebagai sarananya. Dengan demikian, Shafawi mulai terlibat dalam politik dengan kekuatan politik lain yang ada di Persia saat itu. Ada dua buah kerajaan Turki yang saat itu berkuasa, Kara Koyunlu (domba hitam) yang berkuasa di bagian Timur dan Ak Koyunlu (domba putih) yang berkuasa di bagian Barat. Yang pertama beraliran Syiah, sedangkan yang kedua beraliran Sunni. 
Disebabkan kegiatan politiknya, Junaid, pemimpin Shafawi meninggalkan Ardabil karena mendapat tekanan dari raja kerajaan Kara Koyunlu yang berkuasa di daerah itu. Ia kemudian meminta suaka politik kepada Raja Ak Koyunlu sekaligus mengadakan aliansi untuk bersama-sama menghadapi Kara Koyunlu. Aliansi politik ini bertambah kuat dengan adanya pernikahan Junaid dengan saudara Uzun Hasan. Aliansi yang diperkuat kekerabatan ini diperkuat lagi oleh adanya perkawinan antara Haidar putra Junaid dengan putri Uzun Hasan sendiri dari dari istrinya Despin Katrina, puteri Kaloo Johannis, seorang raja Kristen di Pantai Timur Laut Hitam.[5]
Perubahan Shafawi dari gerakan keagamaan ke gerakan politik cukup menarik karena sebagai tarekat sufi yang lebih bersifat ukhrawi kemudian menjadi duniawi (profan). Faktor utama yang menyebabkan adanya perubahan tersebut adalah ada pada ajaran tarekat itu sendiri, yaitu hubungan antara pemimpin tarekat dengan pengikut-pengikutnya. Pemimpin tarekat yang disebut mursyid mempunyai wakil (khalifah) di daerah–daerah tertetu tempat pengikut-pengikutnya berada. Anggota tarekat harus tunduk secara mutlak kepada mursyid dan khalifah itu. Oleh karena itu ikatan antara pemimpin dengan pengikutnya sangat kuat, sehingga ada semacam hierarki spiritual. Dalam tarekat Shafawi, pemimpin tarekat yang meninggal dunia selalu digantikan oleh anaknya seperti dalam kepemimpinan dinasti. Ini menjadi modal dasar yang mendorong perubahan tesebut. Jika sang pemimpin seperti Junaid meiliki ambisi politik, para pengikutnya dapat disulap menjadi tentara yang fanatik dan mendukung ambisi politik pemimpinya.
Selama dalam suaka Ak Koyunlu, baik Junaid maupun Haidar telah melakukan kegiatan politik. Pada 1459 M, Junaid berusaha menyerang Ardabil, tetapi gagal. Kegagalan yang sama dialaminya pula ketika menyerang daerah Utara yang didiami orang-orang Kristen Georgia dan Chircasia. Ia sendiri meninggal terbunuh penguasa daerah Sirwan yang dilaluinya pada 1460 M. Haidar pun mengikuti jejak ayahnya. Ia mencoba menyerang daerah-daerah Kristen  di Utara, tetapi gagal. Adanya kecenderungan untuk menyerbu daerah Utara tersebut, dimungkinkan untuk memperoleh daerah pijakan yang akan memperkuat basis politik yang independen karena selama ini Shafawi hanya merupakan dinasti politik spiritual tanpa tanah air. Meskipun Haidar belum mewujudkan cita-cita gerakan Shafawi, namun ia sempat memberikan atribut kepada pendukung-pendukungnya berupa Surban merah yang berumbai dua belas sehingga mereka terkenal dengan sebutan kepala merah atau Qizilbas. Umbai dua belas menunjukkan Syiah Imamiah Dua Belas yang menjadi anutanya. Atribut ini sangat besar pengaruhnya dalam menanamkan fanatisme, militansi serta pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Shafawi di belakang hari.[6]
Setelah Ak Koyunlu menumbangkan Kara koyunlu pada 1467 M., aliasi shafawi dengan Ak Koyunlu menjadi guncang. Ak Koyunlu menganggap Shafawi sebagai kekuatan politik yang sangat membahayakan kelestarian kekuasaanya di Persia. Ali bin Haidar yang menggantikan kekuasaan ayahnya sebagai pemimpin Shafawi ditangkap Yakub, Raja Ak Koyunlu, lalu dibuang ke Fars bersama ibu dan dua orang saudaranya, Ibrahim dan Ismail selama empat setengah tahun (1589-1593 M). Situasi tersebut mendorong pengikut-pengikut Shafawi di Persia, Armenia, Anatolia dan Syria mengonsolidasikan kekuatan sendiri, sehingga Ali dilepaskan. Tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama . Ketika penguasa Ak Koyunlu berikutnya dipegang oleh Rustam, Ali ditangkap kembali dan dibuang ke Ray sampai akhirnya dibunuh. Sebelum meninggal, Ali sempat mengangkat adik bungsunya, Ismail bin Khaidar yang waktu itu berusia tujuh tahun untuk menjadi pemimpin Shafawi.
Ismail yang masih remaja berusaha memanfaatkan kedudukanya sebagai mursyid Shafawiyah dan pemimpin gerakan Shafawi untuk mengonsolidasikan kekuatan politiknya. Secara tersembunyi ia menjalin hubungan dengan pengikut-pengikutnya yang tersebar luas dimana-mana. Dalam waktu kurang lebih lima tahun, ia berhasil menyatukan kekuata politik yang sangat besar dan mulai melakukan perhitungan terhadap musuh-musuh Shafawi selama ini, seperti penguasa Ak Koyunlu dan Syirwan. Pada 1501 M, pecah pertempuran antara Ak Koyunlu dengan Shafawi di Sahrur dekat Nakhiwan dengan kemenangan di pihak Shafawi. Pada tahun itu juga Ismail dengan penuh kemenangan memasuki kota Tabriz sambil memproklamasikan berdirinya kerajaan Shafawi. Ia sendiri kemudian menjadi raja pertamanya dan menjadikan Syiah Itsna Asyariah sebagai ideology negara.  
Sepeninggal ismail I sering terjadi peperangan antara kerajaan usmani,sekaligus tejadi kemrosotan yang di akibatkan perpecahan dalam kerajaan, keadaan ini berlarut sampai raja yang keempat,kondisi yang memprihatinkan ini baru dapat diatasi pada saat raja kelima yaitu abbas I.
Keadaan politik pada masa Syafawi mulai bangkit kembali setelah Abbas naik tahta dari tahun 1587- 1629 dan dia menata administrasi negara dengan cara yang lebih baik dari pemimpin-pemimpin sebelumnya. Langkah- langkah yang ditempuh Abbas I dalam rangka memulihkan politik Kerajaan Syafawi adalah:
a.                                  Mengadakan pembenahan administrasi dengan cara pengaturan dan pengontrolan dari pusat.
b.                                 Pemindahan ibu kota ke Isfahan
c.                                   Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas Kerajaan Syafawi dengan cara membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri atas budak- budak yang bersal dari tawanan perang bangsa Georgia, Armenia, dan Sircassia yang telah ada sejak Raja Tamh I.
d.                                 Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Utsmani
e.                                  Berjanji tidak akan menghina tiga khalifah pada khotbah jumat
.
Reformasi politik yang di lakukan oleh Abbas I tersebut berhasil membuat Kerajaan Syafawi kuat kembali. Setelah itu, Abbas I mulai memusatkan perhatiannya merebut kembali wilayah- wilayah kekuasaannya yang hilang.[7]
Pada tahun 1902M percayalah perang Turki dengan Austria dan tentara Turki yang lain itu terpaksa pergi memadamkan pemberontakan kaum tarekat jahiliyah (Maulawiyah) di Asia kecil. Kesempatan ini diambil oleh Syekh Abbas dan berhasil merebut kembali Tibriz dari tangan Turki. Setelah itu, dirampas juga Sirwan dan akhirnya di ambilnya Baghdad kembali yang sudah berkali- kali jatuh di tangan Turki.[8]
Kemudian ia sanggup menaklukkan negeri Kaukasus dan diperkuatnya batas- batas kekuasaan sampai ke Balakh dan Mervi pada bulan maret 1602M. Ia dapat pula merampas pulau Hurmuz yang telah sekian lama menjadi pangkalan kekuatan bangsa Portugis. Sedangkan nakh civan,Erivan,ganja dan Tiflis dapat di kuasai tahun 1605-1906.[9]
Silsilah masa kerajaan Shafawi:
Sebelum terbentuk menjadi kekusaan kerajaan
a.       Safi al Din
b.      Sadar al Din Musa
c.        Khawaja Ali
d.       Ibrahim
e.        Juneid
f.        Haidar
g.      Ali
Setelah menjadi sistim kerajaan
a.       Ismail I
b.      TahmaspI
c.       Ismail II
d.      Muhamad khudabanda
e.       Abbas I
f.       Safi mirza
g.      Abbas II
h.      Sulaiman
i.        Husein
j.        Tahmasp II
k.      Abbas III



3.      Kulminasi atau Deklinasi
Untuk menentukan apakah perubahan gerakan tarekat menjadi sebuah gerakan politik ini sebuah kemajuan atau malah sebuah kemunduran, disini terdapat dua perspektif.
a.       Perspektif Religi
Dalam perspektif religi dan kerohanian, bergantinya gerakan keagamaan yaitu tarekat menjadi sebuah gerakan politik adalah sebuah kemunduran (Deklinasi), karena yang asalnya sebuah gerakan untuk menuju kesucian jiwa demi mendekatkan diri kepada Allah berubah dan tercampur dengan urusan duniawi yang kotor dan dapat menjauhkan diri kepada Allah.
b.      Perspektif Dinasti
Berbeda dengan dengan perspektif agama, dalam perspektif Dinasti atau kenegaraan ini adalah sebuah prestasi yang gemilang dan memajukan Dinasti Shafawi itu sendiri (Kulminasi). Dengan perubahan tersebut Dinasti Shafawi dapat berkembang dan memperluas wilayahnya. Hal ini bisa dilihat denga adanya kemajuan-kemajuan di berbagai bidang.














Bab III
Penutup
1.      Kesimpulan
Perubahan Shafawi dari gerakan keagamaan ke gerakan politik cukup menarik karena sebagai tarekat sufi yang lebih bersifat ukhrawi kemudian menjadi duniawi (profan). Faktor utama yang menyebabkan adanya perubahan tersebut adalah ada pada ajaran tarekat itu sendiri, yaitu hubungan antara pemimpin tarekat dengan pengikut-pengikutnya.
Dalam perspektif religi dan kerohanian, bergantinya gerakan keagamaan yaitu tarekat menjadi sebuah gerakan politik adalah sebuah kemunduran (Deklinasi), karena yang asalnya sebuah gerakan untuk menuju kesucian jiwa demi mendekatkan diri kepada Allah berubah dan tercampur dengan urusan duniawi yang kotor dan dapat menjauhkan diri kepada Allah
Berbeda dengan dengan perspektif agama, dalam perspektif Dinasti atau kenegaraan ini adalah sebuah prestasi yang gemilang dan memajukan Dinasti Shafawi itu sendiri (Kulminasi). Dengan perubahan tersebut Dinasti Shafawi dapat berkembang dan memperluas wilayahnya. Hal ini bisa dilihat denga adanya kemajuan-kemajuan di berbagai bidang.















Daftar Pustaka
Ø  Syaefudin, Machfud dkk. 2013, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu.
Ø  Holt, P.M. dkk. 1970 The Cambridge History of Islam, Vol. 1, Cambridge University Press.
Ø  Syalabi, Ahmad. Nasy’at al-Tarikh al-Islami, Vol. VII, Kairo: Makhtabah al-Nahdhah al Mishriyah.
Ø  Thohir, Ajid. 2004. Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarata: Rajawali Pers.
Ø  Yatim, Badri. 2006,  Sejarah Peradapan Islam dirasah islamiyah II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ø  Supriyadi, Dedi. 2008.  Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia.




[1] Machfud Syaefudin, dkk, Dinamika Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2013, Hal. 214.
[2] Ibid.
[3] P.M. Holt dkk, The Cambridge History of Islam, Vol. 1, (Cambridge University Press, 1970), hal. 395
[4] Ibid., hal. 396
[5] Ahmad Syalabi, Nasy’at al-Tarikh al-Islami, Vol. VII, (Kairo: Makhtabah al-Nahdhah al Mishriyah) hal. 766-775.
[6] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, Jakarata: Rajawali Pers, Hal 172.
[7] Badri Yatim, Sejarah Peradapan Islam dirasah islamiyah ii,(jakarta,PT Raja grafindo persada.2006) hal 138

[8] Dedi Supriyadi,sejarah peradaban islam, (bandung:pustaka setia,2008) Hal. 255.

[9] Ibid

No comments:

Post a Comment