Wednesday 29 October 2014

Masa Disintegrasi dan Kondisi Perkembangan Intelektual

Masa Disintegrasi dan Kondisi Perkembangan Intelektual

Oleh:

M.e. Widjaya

 

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Disintegrasi
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah.
Adapun dalam makalah ini, kami (penulis) akan mencoba membahas tentang disintegrasi yang terjadi pada kekhalifahan di masa lampau.
Semenjak pemerintahan Harun ar-Rasyid (786-809 M./ 170-194H). Dikatakan pada saat itu terjadinya masa keemasan bani Abbasiyah. Tetapi pada waktu inilah terjadi benih-benih disintegrasi tepatnya pada saat penurunan tahta. Harun Ar-rasyid telah mewariskan tahta kekhalifaan pada putra tertuanya yaitu Al-Amin (809-812 M./ 194-198 H.) dan kepada puteranya yang lebih muda yaitu al-Ma’mun yang pada saat itu menjabat sebagai gubernur Khurasan. Setelah wafatnya Harun ar-Rasyid, al-Amin berusaha mengkhianati hak adiknya dan menunjuk anak laki-lakinya sebagai penggantinya kelak. Akhirnya pecah perang sipil. Al-amin didukung oleh militer Abbasiyah di Baghdad, sementara al-Ma’mun harus berusaha memerdekakan Khurasan dalam rangka untuk mendapatkan dukungan dari pasukan perang Khurasan. Al-Ma’mun akhirnya dapat mengalahkan saudara tertuanya al-Amin dan mengklaim khalifah pada tahun 813 H. Namun peperangan sengit tersebut tidak hanya melemahkan kekuatan militer Abbasiyah melainkan melemahkan warga Irak dan propinsi lainnya.
Pada masa kekhalifaan al-Ma’mun (198-218 H./813-833 M.) juga terjadi disintegrasi yang menyebabkan munculnya dinasti Thahiriyah, yang didirakan oleh Thahir, dia adalah mantan guberner Khurasan dan menjadi jendral militer Abbasiyah, yang diangkat karena membantu merebut  kekuasaan al-Amin. Al-Ma’mun telah memberikan jabatan kepada Thahir dan berjanji jabatan-jabatan tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. Upaya untuk menyatukan kalangan elit di bawah arahan khalifah tidak dapat terwujud dan sebagai gantinya pemerintahan dikuasai oleh sebuah persekutuan khalifah dengan penguasa gubernur besar[1].

2.2. Penyebab Terjadinya disintegrasi
a.      Dinasti-Dinasti yang Memerdekakan Diri Dari Baghdad
Disintegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman bani Umayyah. Akan terlihat perbedaan antara pemerintahan bani Umayyah dengan pemerinatahan bani Abbas. Wilayah kekuasaan bani Umayyah, mulai dari awal berdirinya sampai masa keruntuhanya, sejajar dengan batas wilayah kekuasaan Islam. Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari provinsi-provinsi tertentu. Dengan pembiayaan upeti. Alasanya, pertama mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya. Kedua,  penguasa bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi.
Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pada pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam dari pada persoalan politik itu, provinsi-provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa bani Abbas, dengan berbagai cara diantaranya pemberontakan yang dilakukan oleh pemimpin lokal dan mereka berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti Daulah Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko. Seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukanya semakin bertambah kuat, seperti daulah Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Khurasan.

Kecuali bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko, provinsi-provinsi itu pada mulanya patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan Khalifah mampu mengatasi pergolakan yang muncul. Namun, saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari Baghdad. Mereka tidak hanya menggerogogoti kekuasaan, bahkan diantara mereka ada yang berusaha menguasai Khalifah itu sendiri.
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan bani Abbas mulai terlihat sejak awal abad kesembilan. Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pimimpin yang memiliki kekuasaan militer di provinsi-provinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar independen.
Kekuatan militer Abbasiyah waktu itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai gantinya, para penguasa Abbasiyah mengerjakan orang-orang profesional di bidang kemiliteran, khususnya tentara Turki dengan sistem perbudakan baru. Pengangkatan anggota militer Turki ini, dalam perkembangan selanjutnya ternyata menjadi ancaman besar terhadap kekuasaan khalifah. Apalagi pada periode pertama pemerintahan dinasti Abbasiyah sudah muncul fanatisme kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyyah (kebangsaan/anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya para khalifah tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan itu, sehingga meskipun dirasakan dalam hampir semua segi kehidupan, seperti dalam kesusasteraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada diantara mereka yang justru melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khalifah Abbasyiah, diantaranya adalah :
1.      Yang berbangsa Persia :
a.       Thahiriyah[2] di Khurasan (205-259 H/820-872 M)
b.      Shafariyah[3] di Fars (254-290 H/868-901 M)
c.       Samaniyah[4] di Transoxania (261-289 H/873-998 M)
d.      Sajiyyah di Azerbeijan (266-318 H/878-930 M)
e.       Buwaihiyah bahkan menguasai Baghdad (320-447 H / 932-1055 M)
2.      Yang berbangsa Turki
a.       Thuluniyah di Mesir (254-292 H/837-903 M)
b.      Ikhsyidiyah di Turkistan (320-560 H/932-1163 M)
c.       Ghazanawiyah di Afganistan (351-585 H/962-1189 M)
d.      Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya
3.       Yang berbangsa Kurdi
a.       Al Barzuqani (348-406 H/959-1015 M)
b.      Abu Ali ((380-489 H/990-1095 M)
c.       Ayubiyah (564- 648 H/1167-1250 M)
4.      Yang berbangsa Arab
a.       Idrisiyah di maroko (172-375 H/788-985 M)
b.      Aghlabiyah di Tunisia (184-289 H/800-900 M)
c.       Dulafiyah di Kurdistan (210-285 H/825-898 M)
5.      Yang mengaku dirinya sebagai khalifah
a.       Umawiyah di spanyol
b.      Fathimiyah di mesir (909-1171 M)[5]
Faktor–faktor yang menyebabkan kemunduran bani Abbas, sehingga daerah banyak yang memerdekakan diri ;
a.       Luasnya wilayah kekuasan Bani Abbasiyah
b.      Dengan profesionalisasi angkatan senjata, ketergantungan khalifah sangat tinggi
c.       Keuangan negara sangat sulit karena untuk biaya tentara sangat besar[6].

b.      Perebutan Kekuasaan Di Pusat Pemerintahan
Faktor lain yang menyebabkan peran politik bani Abbas menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan. Hal ini sebenarnya juga terjadi pada pemerintahan-pemerintahan Islam sebelumnya. Nabi Muhammad memang tidak menentukan bagaiman acara penggantian pemimpin setelah ditinggalkanya. Beliau menyerahkan masalah ini kepada kaum muslimin sejalan dengan jiwa kerakyatan yangberkembang dikalangan masyarakat Arab dan ajaran demokrasi dalam Islam. Setelah nabi wafat, terjadi pertentangan pendapat diantara kaum muhajirin dan anshar dibalai kota bani Sa’idah di madinah. Akan tetapi, karena pemahaman keagaamaan mereka yang baik, semangat musyawarah, ukhuwah yang tinggi, perbedaan itu dapat diselesaikan. dan Abu Bakar terpilih menjadi khalifah.
Pertumpahan darah pertama dalam Islam karena perebutan kekuasaan terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin abi thalib. Ali terbunuh oleh bekas pengikutnya sendiri. Pemberontakan-pemberontakan yang muncul pada masa Ali ini bertujuan untuk menjatuhkanya dari kursi khalifah dan diganti oleh pemimpin pemberontak itu. Hal ini sama juga terjadi pada masa kekhalifahan bani Umayyah di Damaskus. Seperti pemberontakan Husein bin Ali, syi’ah yang dipimpin oleh al- Muchtar, Abdullah bin Zubair, dan terakhir pemberontakan Bani Abbas yang untuk pertama kalinya dengan menggunakan nama gerakan Bani Hasyim. Pemberontakan terakhir ini berhasil dan kemudian mendirikan pemerintahan baru yang diberi nama khilafah Abbasiyah atau Bani abbas.
Pada pemerintahan bani Abbas, perebutan kekuasaan seperti itu juga terjadi, terutama di awal berdirinya. Akan tetapi pada masa-masa berikutnya, seperti terlihat pada periode kedua dan seterusnya, meskipun khalifah tidak berdaya, tidak ada usaha untuk merebut jabatan khilafah dari tangan Bani Abbas. Yang ada hanyalah usaha merebut kekuasaanya dengan membiarkan jabatan khalifah tetap dipegang Bani Abbas.
Hal ini terjadi karena Khalifah dianggap sebagai jabatan keagamaan yang sakral dan tidak bisa di ganggu gugat lagi. Sedangkan kekuasaan dapat didirikan di pusat maupun di daerah yang jauh dari pusat pemerintahan dalam bentuk dinasti-dinasti kecil yang merdeka. Tentara Turki berhasil merebut kekuasaan tersebut. Ditangan mereka khalifah bagaikan boneka yang tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan merekalah yang memilih dan menjatuhkan khalifah sesuai dengan keinginan politik mereka.
Setelah kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki pada periode kedua, pada periode ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), Daulah Abbasyiah berada dibawah kekuasaan bani Buwaih.
Setelah Baghdad dikuasai, Bani Umayyah memindahkan markas kekuasaan dari Syiraz ke Baghdad. Mereka membangun gedung tersendiri di tengah-tengah kota dengan nama Dar al-Mamlakah.
Kekuatan politik Bani Buwaih tidak lama bertahan. Kekuasaan Bani Buwaih akhirnya jatuh ke tangan Saljuk. Pergantian kekuasaan ini menandakan awal periode keempat Bani Abbasiyah.
Dinasti Saljuk diakui sebagai dinasti yang sukses dalam membangun masyarakat ketika itu. Diantara jasa-jasanya antara lain:
1.      Memperluas Masjidi al-Haram dan Masjid Nabawi
2.      Pembangunan rumah sakit di Naisabur
3.      Pembangunan gedung peneropong bintang
4.      Pembangunan sarana pendidikan.
Di bawah pemerintahan Malik Syah (1072-1092) kekuasaan Saljuk mencapai puncaknya, wilayah kekuasaan terbentang luas dari kasygar, sebuah kota kecil di wilayah paling ujung Turki, setelah kematian Malik syah, sejumlah perang antara putera-puteranya ditambah berbagi kerusauhan telah melemahkan otoritas Saljuk dan mengakibatkan hancurnya pemerintahan[7].

c.       Perang Salib
Perang Salib ini terjadi pada tahun 1095, saat Paus Urbanus II[8] berseru kepada Umat Kristen di Eropa untuk melakukan perang suci, untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah di Baitul Maqdis yang dikuasai oleh Penguasa Seljuk yang menetapkan beberapa peraturan yang memberatkan bagi Umat kristen yang hendak berziarah ke sana.
Sebagaimana telah disebutkan, peristiwa penting dalam gerakan ekspansi yang dilakukan oleh Alp Arselan adalah peristiwa Manzikart, tahun 464 H (1071 M). Tentara Alp Arselan yang hanya berkekuatan 15.000 prajurit, dalam peristiwa ini berhasi1 mengalahkan tentara Romawi yang berjumlah 200.000 orang, terdiri dari tentara Romawi, Ghuz, al-Akraj, al-Hajr, Perancis dan Armenia. Peristiwa besar ini menanamkan benih permusuhan dan kebencian orang-orang Kristen terhadap umat Islam, yang kemudian mencetuskan Perang Salib. Kebencian itu bertambah setelah dinasti Seljuk dapat merebut Bait al-Maqdis pada tahun 471 H dari kekuasaan dinasti Fathimiyah yang berkedudukan di Mesir. Penguasa Seljuk menetapkan beberapa peraturan bagi umat Kristen yang ingin berziarah ke sana. Peraturan itu dirasakan sangat menyulitkan mereka. Untuk memperoleh kembali keleluasaan berziarah ke tanah suci Kristen itu, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II berseru kepada umat Kristen di Eropa supaya melakukan perang suci. Perang ini kemudian dikenal dengan nama Perang Salib, yang terjadi dalam tiga periode[9].
Walaupun umat Islam berhasil mempertahankan daerah-daerahnya dari tentara Salib, namun kerugian yang mereka derita banyak sekali, karena peperangan itu terjadi di wilayahnya dengan demikian hal ini mengakibatkan kekuatan poloitik umat Islam menjadi lemah dan terpecah belah. Banyak dinasti kecil yang memerdekakan diri dari pemerintahan pusat Abbasiyah di Baghdad.[10]
d.      Sebab-sebab Kemunduran Bani Abbas
Berakhirnya kekuasaan dinasti Saljuk atas Baghdad atau khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu, walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada diantaranya yang cukup besar, namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah, masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda pemerintahan.
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1.       Persaingan antar Bangsa  
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan itu. Ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan adanya Nashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak ditegakkan di atas Nashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas. Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula. Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit. Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan syu’ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru. Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa negara adalah milik mereka, mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan kekuasaan khalifah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi, karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi. Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada periode keempat.
2.      Kemerosotan Ekonomi  
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan, banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling berkaitan dan tak terpisahkan.
3.      Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat dengan persoalan kebangsaan. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah (ujian) dengan tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
4.      Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, Perang Salib yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban. Kedua serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah kekuasaan Islam. Namun, diantara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan diri dalam tentara Salib itu.
Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol, setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.[11]

            2.3.  Perkembangan Intelektual Masa Disintegrasi
                        Betapapun juga seramnya situasi politik di ibukota negara baghdad tetapi ilmu-ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam tetap menunjukkan semaraknya.
                        Pada masa disintegrasi yang menyebabkan kehancuran dalam kekhalifahan Abbasiyah, tetapi tidak menghambat perkembangan intelektual. Pada saat disintegrasi yang dimulai dengan berdirinya dinasti Thahiriyah, perkembangan intelektual mengalami perkembangan yang cukup berarti. Ini terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual pada bidangnya, baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu filsafat, dan kedokteran maupun dalam bidang hukum dan politik.
                        1)      Ilmu sastra, tokohnya ;
a.       Abul ‘Alla al- ma’ary (363–449 H./973-1057 M.), seorang penyair filosof yang banyak karangannya, diantaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Inggris oleh Thomas Carlyle dan ke bahasa Jerman oleh Von Kremer.
b.      Pujangga Proza Shabi (313 – 383 H./925-994 M.)
c.       Shahib ibnu Ubbad (326–385 H./938-985 M.)
d.      Ulama penyair, Abu Bakar Khuwarizmi (389 H./993 M.)
e.       Penyair pengarang Badie’uz Zaman Hamdani ( 358–398 H./969-1007 M.)
f.       Penyair Ibnu ‘Amied
                 
                  2)      Ilmu Filsafat dan kedokteran 
a.       Muhammad ibn Zakaria ar – razi, seorang filosof dan dokter yang terkenal
b.      Ali ibn al–Majusi, dokter pribadi dari ‘Adhudud Daulah dan sekaligus pengarang buku “Kamil as-Shina’at”
                  3)      Hukum dan Politik    
                              Satu nama yang tidak boleh dilupakan ialah seorang ahli hukum yang menjabat sebagai mahkamah agung dan juga pengarang politik yaitu  Imam Mawardi (368-450 H./974-1058 M.) seorang pengarang ilmu politik yang sangat aktif, penulis buku ‘Al Ahkam as- Sulthaniyah tentang hukum pemerintahan[12].

PENUTUP
3.1.  Kesimpulan
Disintegrasi merupakan suatu keadaan yang terpecah belah dari kesatuan yang utuh menjadi terpisah-pisah. Penyebab terjadinya disintegrasi pada masa kekhalifahan Islam di masa lampau yaitu di antaranya; adanya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad,  perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan, perang salib serta faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas.
Masa disintegrasi itu muncul akibat adanya perpecahan dalam pemerintahan Bani Abbasiyah. Perpecahan itu mulai terjadi sejak akhir pemerintahan Harun ar-Rasyid tepatnya pada saat penurunan tahta beliau mengangkat puteranya yaitu al-Amin. Selain itu yang menyebabkan kemunduran Bani Abbas adalah persaingan antar bangsa, kemerosotan ekonomi, konflik keagamaan, dan ancaman dari luar.
Perkembangan intelektual dalam masa disintegrasi tetap menunjukkan perkembangan yang berarti. Itu terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh intelektual pada bidangnya baik itu dalam bidang ilmu sastra, ilmu filsafat, dan kedokteran maupun dalam bidang hukum dan politik.
.
REFERENSI
K. Hitti, Philip. 2010. Terjemah History of the Arabs. Jakarta: Serambi.
Syukur, Fatah. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.      
Yatim, Badri. 2003. Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II. Jakarta: LSIK.



[1] Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : Pustaka Rizki Putra 2011), hal. 112.
[2] Pendirinya adalah Thahir ibn al-Husain dari Khurasan, orang yang pernah di percaya al-Ma’mun untuk menduduki jabatan jendral yang berhasil memimpin balatentara rajanya untukmelawan al-Amin. Lihat. History of the Arabs Philip K. Hitti, hlm. 585.
[3] Didirikan oleh Ya’qub ibn al-Laits al-Shaffar (867-878). Lih. Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm 586.
[4] Pendirinya adalah Nashr ibn Ahmad (874-892), cicit Saman seorang bangsawan penganut ajaran Zoroaster dari Balkh. Philip K. Hitti, History of the Arabs, hlm. 586.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban islam Dirasah Ilslamiyah II (Jakarta: LSIK, 2003), hal. 63-66.
[6] Ibid., hlm. 66-67.
[7] Ibid., hal. 67-69. Lihat juga Fatah Syukur, Sejarah Peradaban Islam, hal. 114-115.
[8] Lihat. Dalam buku Sejarah Peradaban Islam Fatah Syukur, hal. 115,  tertulis Paus Urbanus I, tapi dalam bukunya Badri Yatim hal, 77,  tertulis Paus Urbanus II.
[9] Badri Yatim, op. Cit., hlm 76-77.
[10] Fatah Syukur, op. Cit., hlm 115.
[11] Badri Yatim, op. Cit., hlm. 79-85.
[12] Fath Syukur, op. Cit., hlm. 117-118.

No comments:

Post a Comment