Monday 3 November 2014

Perspektif Al-Qur'an; Hutang-piutang dalam Jual-beli Kredit

 Perspektif Al-Qur'an; Hutang-piutang dalam Jual-beli Kredit

oleh: M.e. Widjaya


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam merupakan agama yang sangat menganjurkan sedekah dengan berbagai cara atau aturan dan bentuk yang diajarkan. Sedekah merupakan implementasi rasa kasih sayang yang murni. Sedekah mendapatkan apresiasi sunnah dalam hukum Islam. Bahkan ada bentuk sedekah yang diwajibkan, semisal zakat dan lainnya.
Praktek riba dalam Islam tidak diharumkan atau dilarang, karena merupakan pengejawantahan kekejaman dan kekerasan hati.
Pelarangan mengambil keuntungan melelui riba dan perintah bersedekah sering menimbulkan kesan bahwa Islam tidak bersimpati terhadap orang yang memiliki harta atau mengumpulkannya. Untuk menghapuskan kesan itu, Islam merumuskan manajemen hutang-piutang yang mengakibatkan terpeliharanya harta. Sehingga lahir jalan tengah antara rahmat murni yang diperankan oleh sedekah dan kekejaman yang diperagakan oleh riba.
Pada dasarnya hutang-piutang adalah bentuk tolong-menolong. Karena debitor (orang yang berhutang) akan tertolong dalam pemenuhan kebutuhannya. Dengan itu, kreditor (orang yang memberi hutangan) telah menolong debitor.
Namun pada realisasinya, masih banyak praktek hutang-piutang yang berkedok tolong-menolong, akan tetapi ada modus pengaisan laba didalamnya. Salah satunya adalah bentuk transaksi jual beli kredit atau dihutangkan dengan harga lebih mahal dari harga tunainya.
Tentu hal ini sangat menarik kita bahas. Karena melihat kenyataan yang ada, jual-beli dengan sistem kredit untuk masa kini telah menjadi trend untuk konsumen yang tidak mampu membayar secara cash atau tunai.
Penulis dalam hal ini akan membahas ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan masalah hutang-piutang dan menganalisa poin konteks ayat dalam kehidupan sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hutang-piutang
Hutang-piutang dalam kajian fiqh sering disebut al-Qardhu. Al-qardhu secara bahasa artinya adalah al-qath’u (memotong). Dinamakan demikian karena pemberi utang (muqrid, al-mudiin atau debitor) memotong sebagian hartanya dan memberikannya kepada si pengutang (muqtarid, ad-daa’in atau  kreditor).
Adapun definisi syara’nya adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya yang ada dalam tanggungannya. Termasuk dalam pengertian harta yaitu; uang, binatang, dan barang dagangan[1].
Dari pengertian ini, membeli motor dengan ganti uang yang ditempo masuk dalam pengertian hutang.

Wawasan Hutang-piutang dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an kita akan menemukan beberapa ayat yang menyinggung masalah hutang-piutang. Terkait aturan hutang-piutang, diantaranya dibahas al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 282
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (282)  [البقرة: 282]
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini merupakan ayat terpanjang dalam al-Qur’an. Di dalamnya antara lain berbicara tentang anjuran atau (menurut sebagian ulama) kewajiban menulis hutang-piutang dan mempersaksikannya dihadapan pihak ketiga yang dipercaya (notaris), sambil menekankan perlunya menulis hutang, walau sedikit, disertai jumlah dan ketetapan waktunya[2].
Sebab Turunnya Ayat
Pada waktu Rasulullah Saw. datang ke Madinah pertama kali orang-orang penduduk asli biasa menyewakan kebunnya dalam satu waktu, dua atau tiga tahun. Oleh sebab itu Rasul bersabda: “barang siapa menyewakan (mengutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula”. Sehubungan dengan itu Allah Swt. menurunkan ayat ke-282 sebagai perintah apabila mereka utang-piutang maupun mu’amalah dalam jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi. Untuk menjaga terjadinya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang[3].
Munasabatul Ayat
Sebelum ayat ini, yaitu al-Baqarah ayat 271-274 al-Qur’an berbicara terkait anjuran sedekah dan berinfaq kemudian dalam ayat 275-279 berbicara larangan riba yang dilanjutkan dengan anjuran memberi tempo hutang kepada yang tidak mampu membayar hutangnya sampai mereka mampu atau bahkan menyedekahkan sebagian atau seluruh hutang itu dalam ayat 280. Penempatan uraian tentang anjuran menulis hutang-piutang setelah anjuran dan larangan di atas memberi kesan tersendiri. Yaitu, untuk menepis anggapan negatif bahwa larangan mengambil keuntungan melalui riba dan perintah bersedekah merupakan sikap al-Qur’an yang tidak bersimpati pada orang yang memilki harta atau mengumpulkannya. Dengan ayat ini kesan itu dapat dihapuskan, karena inti ayat ini adalah perintah untuk memelihara harta dengan menulis hutang-piutang, walau sedikit, serta mempersaksikannya.
Tafsiran Ayat
Kata tadayantum yang diterjemahkan dengan bermuamalah terambil dari kata dain. Setiap kata yang tersusun dari huruf dal, ya, dan nun ini mempunyai banyak arti, diantaranya bemakna hutang, pembalasan, ketaatan, dan agama. Yang kesemuaannya selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak yang satu berkedudukan lebih tinggi dari lainnya.
Dari penggalan ayat “apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya” mengandung dua nasihat pokok untuk dua orang yang bertransaksi hutang-piutang. Pertama, menentukan waktu pembayaran dan kedua, perintah menulis hutang-piutang.  
Selanjutnya Allah Swt. menunjukan kriteria penulis: Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan adil yakni, dengan benar, tidak menyalahi ketentuan Allah maupun perundangan yang berlaku di masyarakat. Tidak juga merugikan salah satu pihak. Para penulis juga diingatkan agar janganlah penulis enggan menuliskannya sebagai tanda syukur sebab Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis. Penggalan ayat ini meletakkan tanggung jawab kepada penulis.
Penggalan ayat berikutnya adalah hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), Disini, dapat dipahami bahwa debitor sebagai pihak yang lemah mendiktekan apa yang telah disepakati untuk ditulis.
Allah mengingatkan orang yang berhutang agar bertaqwa dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya dengan larangan mengurangi daripada hutangnya, baik yang berkaitan dengan kadar hutang, waktu, cara pembayaran atau lain-lain yang telah disepakati bersama., dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Lalu bagai mana kalau debitor tidak mampu mendiktekan? Misal ia tidak bisa baca atau sebagainya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya, seperti sakit, atau sangat tua, atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, karena bisu atau tidak mengetahui bahasa yang digunakan, atau boleh jadi malu, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur.
Lalu, setelah mejelaskan penulisan dan pendiktean dilanjutkan dengan persaksian. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki  di antaramu. Saksi yang dimaksud adalah saksi yang telah dikenal kejujurannya dan telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut. Agar tidak ada keraguan menyangkut kesaksiannya. Kesan ini dapat dilihat dari penggunaan kataشهيدين  bukan شاهدين. Kemudian disyaratkan pula dua orang lelaki yang merupakan masyarakat muslim. Jika tak ada yakni kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Persyaratan ini bertujuan supaya jika seorang perempuan lupa maka yang seorang perempuan lain yang menjadi saksi bersamanya mengingatkannya.
Lalu kemudian pertanyannya adalah mengapa kesaksian dua orang perempuan disetarakan dengan seorang saksi lelaki? Apakah karena perempuan kurang kemampuan intelektualnya? Atau karena emosinya sering tidak terkendali?
Quraish Shihab seorang pakar tafsir terkemuka Indonesia menjawab bahwa, persoalan ini harus dilihat pada pandangan dasar Islam tentang tugas utama wanita dan fungsi utama yang dibebankan atasnya.
Menurutnya, al-Qur’an dan Sunnah telah mengatur pembagian kerja antara wanita dan pria, suami dan istri. Yakni; suami mencari nafkah dan memberi perhatian utama menyediakan kecukupan memberi nafakah untuk anak istrinya, sedangkan istri membina rumah tangga dan memberi perhatian besar bagi pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa anak-anaknya. Tapi pembagian itu tidak ketat. Sehingga dulu tidak sedikit dari istri sahaba t yang ikut bekerja mencari nafkah, dan tidak sedikit pula suami yang melekukan akyivitas di rumah serta mendidik anak-anaknya.
Pembagian kerja di atas dapat mempengaruhi ingatan dan kemampuan mereka terhadap objek perhatiannya. Sehingga ingatan wanita dalam rumah tangga akan lebih kuat daripada pria. Dan ingatan pria dalam masalah bekerja, perniagaan, termasuk hutang-piutang akan lebih kuat dari wanita.
Pesan al-Qur’an untuk seorang saksi, Janganlah saksi-saksi itu enggan memberi keterangan apabila mereka dipanggil; karena keengganannya dapat mengakibatkan hilangnya hak atau terjadi korban.
Setelah mengingatkan para saksi, ayat ini kembali berbicara tentang penulisan hutang-piutang. dengan penekanan pada hutang-piutang yang nominalnya kecil. dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai, yakni termasuk batas waktu membayarnya.
Yang demikian itu yakni penulisan hutang-piutang dan persaksian yang dibicarakan itu lebih adil di sisi Allah, ,yakni dalam pengetahuan-Nya dan dalam kenyataan hidup, dan lebih menguatkan persaksian, yakni lebih membantu penegakkan persaksian, dan lebih dekat kepada tidak menimbulkan keraguan di antara kamu[4].
            Etika Hutang Piutang
-          Menghutangkan harus tulus dengan niat yang baik dan harus memperhatikan kebutuhan pribadi (tidak memberatkan diri sendiri).
{مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245) } [البقرة: 245]
Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan
Kata meminjamkan dan pinjaman pada ayat ini adalah terjemahan dari kata qordh yang kemudian masuk dalam aneka bahasa dengan makna yang sama dengan kredit. Asal makna kata tersebut adalah memotong dengan gigi. Ini memberi kesan bahwa pinjaman yang diberikan itu diberikan dalam situasi kejiwaan yang sulit. Di sisi lain, pada saat orang menggigit sesuatu, jelas ia mengharapkan hasil memuaskan dari upaya itu. Karena itu pakar tafsir al-Quthubi, misalnya, mendefinisikan qardh  sebagai “sagala sesuatu yang dilakukan dengan mengharapkan imbalan”. Dalam ayat ini terdapat satu syarat yang ditekankan dalam pemberian pinjaman yakni pinjaman yang baik  dalam arti dengan niat yang bersih, hati yang tulus, serta harta yang halal.
Dalam ayat ini Allah Swt. mengumpamakan pemberian seseorang dengan tulus untuk kemashlahatan hamba-Nya sebagai pinjaman kepada Allah sehingga ada jaminan dari-Nya bahwa pinjaman itu kelak akan dikembalikan[5].
Dalam Tafsir al-Qurthubi diceritakan bahwa setelah ayat ini turun, seorang sahabat bernama Abu ad-Dahdah segera  bertanya pada Nabi, ia bertanya “sesungguhnya Allah menghendaki pinjaman kepada kita padahal sesungguhnya Allah maha kaya untuk sekedar pinjam?”. Rasulullah menjawab: “ya, dengannya  Allah  menghendaki untuk memasukanmu kedalam surga”. Lalu Ia bertanya lagi, “apakah jika aku memberikan pinjaman pada Tuhanku Dia akan menjamin aku dan anak perempuanku kedalam surga?. “ya” jawab Rasul. Kemudian sahabat itu memberikan dua kebunnya dan ia tidak memiliki harta selain dua kebun itu. Rasul memerintahkan agar salah satunya digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya, tapi Abu Dahdah menolak dan tetap memberikan kedua kebunnya. Kemudian Rasul mendo’akannya “semoga Allah membalasmu dengan surga”[6]. Dari cerita ini terkesan bahwa dalam memberikan pinjaman harus memperhatikan juga kebutuhan sendiri. Namun, tidak mengapa bila memang tulus memberikan seluruh hartanya.
-          Kreditur tidak boleh memberatkan tanggungan debitor ketika jatuh tempo, debitor dalam keadaan susah (belum mampu membayar).
{ وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ } [البقرة: 280]        
Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”
Dahulu, sebelum dan awal masa Islam, hubungan dua pihak yang melakukan transaksi ekonomi seringkali didasari oleh eksploitasi sehingga menyebabkan ketimpangan dan kesenjangan. Dalam transaksi hutang-piutang, misalnya, jika seorang ingin berutang dan tidak mampu membayar utang pada waktu yang telah ditetapkan, kreditor baru memberi utang atau penangguhan pembayaran jika si peminjam bersedia membayar lebih dan dengan kelebihan yang berlipat ganda pula. Itulah riba yang diharamkan al-Qur’an, dan inilah dinamakan dengan penganiayaan[7].
Dalam sebuah riwayat ayat ini turun ketika Bani Mughiroh meminta penangguhan hutang sampai mampu membayarnya kepada Banu ‘Amr bin ‘Umair, tetapi ditolak. Sehingga diturunkanlah ayat ini[8]. Dari ayat ini kita mendapatkan wawasan tentang etika kreditor; bahwa ketika orang yang berhutang ketika jatuh tempo pembayaran dalam keadaan sulit, harus menunggu sampai dia mampu dan lapang untuk membayar. Tidak boleh memperberat tanggungan dengan meminta lebih, dan menyedekahkan sebagian atau seluruh hutang pada debitor lebih baik.
Analisa Konteks Ayat Dalam Kehidupan Sekarang
Sebagaimana keterangan di atas, hutang-piutang adalah memberikan harta kepada orang yang mengambil manfaatnya, lalu orang tersebut mengembalikan gantinya yang ada dalam tanggungannya.
Masuk dalam definisi tersebut transaksi jual-beli barang dengan jalan hutang atau dikreditkan. Dewasa ini, sering dijumpai jual-beli dengan sistem kredit/hutang. Dalam transaksi jual beli kredit terdapat dua macam cara, yaitu:
-          Pertama, kredit yang melibatkan dua pihak yakni penjual dan pembeli secara hutang. Ini biasanya dipraktekan oleh pedagang baju atau alat-alat rumah tangga keliling. Dimana, biasanya si penjual menawarkan harga yang berbeda antara beli tunai dengan beli kredit atau hutang dengan bayaran cicilan. Harga barang yang dikredit lebih tinggi dari harga tunai. Adapun cara pembayarannya bisa dengan cicilan atau sekali bayar dalam jangka waktu yang ditentukan dan si penjual akan menulis nama dan cicilan-cicilan yang dibayarkan pembeli sebagai bukti adapun dipihak penghutang diberi buku hutang (buku yang digunakan sebagai bukti pembayaran di pihak pembeli)[9].
Transaksi jual-beli semacam ini dibenarkan atau diperbolehkan karena tidak ada unsur riba didalamnya. Demikian Wahbah Zuhaili[10].
Adapun transaksi hutang-piutang antara penjual dan pembeli dalam contoh pada masalah ini, bisa dikorelasikan dengan ayat-ayat di atas. Apakah telah menetapi aturan utang-piutang atau belum?

-          Kedua, kredit yang melibatkan tiga pihak, yakni selain penjual dan pembeli, disertakan pula pihak ketiga semisal bank atau lembaga pembiayaan. Salah satu contohnya adalah yang biasa dilakukan dealer motor. Dimana pihak bank atau lembaga pembiayaan telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak dealer, yang intinya, bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban melunasi harga motor tersebut, konsekuensinya pembeli secara otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya.
Contohnya : sebuah showroom dealer sepeda motor, menyebar selebaran daftar harga motor yang dibedakan menjadi cash dan kredit. Misalkan salah satu motor produksi  Honda harga tunainya 16 juta dan 24 juta harga kreditnya. Datang sesorang hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil (kredit). Setelah deal transaksi, pembeli akan diminta mengisi formulir plus tanda tangan, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.
Setelah akad jual-beli ini selesai dan pembeli-pun membawa pulang motor yang dibeli, selanjutnya dia berkewajiban menyetorkan uang cicilan motor ke bank atau lembaga pembiayaan, dan bukan ke dealer tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang dibeli. Karena kesepakatan diatas yang dilakukan oleh dealer dan bank.
Praktik semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hiwalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu. Pada dasarnya, akad hiwalah dibenarkan dalam syariat.
Akan tetapi dalam contoh di atas akan didapatkan dua kemungkinan, yaitu:
Pertama, Bank mengutangi pembeli motor tersebut Rp 16  juta, dalam bentuk bank langsung membayarkannya ke dealer. Kemudian pembeli -yang pada permasalahan ini menjadi penghutang- dituntut untuk melunasi cicilan piutang Rp 24 juta tersebut ke bank.
Bila demikian yang terjadi, maka transaksi ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah[11]). Tujuh juta yang menjadi tambahan adalah riba yang diserahkan ke bank. Hukum transaksi ini terlarang, sebagaimana ancaman dalam hadis dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknat pemakan riba, orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Beliau juga bersabda: “Mereka semua dosanya  sama.” (HR. Muslim)
Kedua, Bank membeli motor tersebut dari dealer dan menjualnya kembali kepada pembeli. Hanya saja bank sama sekali tidak menerima motor tersebut. Bank hanya mentransfer sejumlah uang seharga motor tunai, kemudian pembeli membayar cicilan ke bank. Bila realita bank membeli motor ini benar, maka Bank telah menjual motor yang dia beli sebelum menerima motor tersebut. Sehingga Bank atau lembaga pembiayaan telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan atas nama pembeli, dan bukan atas nama bank yang kemudian dibalik nama ke pembeli.
ketika bank  membeli barang dari dealer dengan harga 16 juta, sementara dia tidak menerima barang sama sekali, kemudian dia jual ke pembeli seharga 24 juta maka hakikat transaksi ini adalah menukar rupiah 16 juta dengan 24  juta.

REFERENSI
Al-Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, al-Jaami’ li’ahkaami al-Qur’an (Kairo: Daar al-Kutub          al-Mishriyyah) 1964.
M. Rasyid bin ‘Ali Ridho, Tafsir al-Manar, (al-Hai’ah al-Mishriyyah al-‘Aamah li al-Kitab),           1990.
Mahali, A. Mudjab, Asbabun Nuzul, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2002.
Shihab,M. Quraish, Tafsir al-Mishbah (Jakarta: Lentera Hati) 2002.
Shihab, M.  Quraish, Lentera al-Qur’an (Bandung: Mizan), 2013.
Wahbah bin Mushthofa az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi, (Damaskus: Daar al-Fikr).





[1] Wahbah bin Mushthofa az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatihi,vol. 5  hlm. 3786.
[2] Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, hlm. 730.
[3] A. Mudjab Mahali, Asbabun Nuzul, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2002), hlm. 128.
[4] M. Quraish Shihab, Op Cit., hlm.737.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 1, hlm. 640.
[6] Tafsir al-Qurthubi, vol. 3, hlm 238.
[7] M.  Quraish Shihab, Lentera al-Qur’an, hlm. 277.
[8] Tafsir al-Manar, vol. 3, hlm. 87.
[9] Berdasarkan pengalaman yang pernah dijumpai penulis di masyarakat.
[10] Wahbah az-Zuhaili, Op cit., vol. 5, hlm. 3705.
[11] Ibid.

 

6 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. asal jangan memberatkan member dan tidak ada tagihan uang lagi, apapun alasannya,lebih-lebih hanya akan menipu member, maka hal itu tidak apa2 dan boleh.

    ReplyDelete
  3. MenuruT ISLAM, Apa seh manfaat realnya secara finansia Atau Diuniawi, dengan memberikan pinjaman khususnya uang bagi yg meminjamkan...?!
    Khan klo secara akhirat kt bs masuk syurga dan pertolongan di akhirat.
    Namanya usaha khan berharap dapat untung. Maaf ya kan saya msh awam.

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya balik tanya, apa manfaat anda membiayai anak anda?

      hutang-piutang dalam knsep Islam itu tidak masuk kedalam bentuk usaha. tapi tolong-menolong.

      kenapa kita harus tolong-menolong? jawabannya ada dalam hati kita.

      Delete