Wednesday 29 October 2014

MASALAH-MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN ULAMA KALAM


"MASALAH-MASALAH YANG DIPERSELISIHKAN ULAMA KALAM"

Oleh:

M.e. Widjaya


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Sesungguhnya tidak akan terjadi perdebatan, tanpa adanya perbedaan pendapat terhadap suatu soal. Sebagian ahli sejarah berpendapat, bahwa perbedaan pendapat itu terjadi disaat manusia memikirkan keadaan dan kebesaran alam. Perhatian manusia tertarik untuk mengetahui hakikat alam.
Sebagian ahli mengatakan, bahwa manusia itu sejak adanya, telah menyelidiki alam secara falsafah. Gambaran-gambaran pikiran serta hayalan-hayalan yang didapatnya berbeda-beda, menurut perbedaan penyelidikan atau kekuatan pikirannya. Juga perbedaan titik-titik perhatian, dan hal-hal yang menggerakan hatinya untuk menyelidiki itu.
Begitu juga perdebatan yang terjadi di antara ulama kalam, semuanya tidak lepas dari hal ini. Harun nasution dalam bukunya Teologi Islam mengatakan bahwa, sejarah timbulnya persoalan-persoalan teologi dalam Islam, awalnya adalah persoalan politik yang akhirnya merambat kepada persoalan-persoalan teologi (ilmu kalam). Yang kemudian melahirkan persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir[1] dan persoalan-persoalan ilmu kalam lainnya. Hal-hal tersebutlah yang mempelopori khilafiyah diantara mereka.
Dalam makalah ini akan dituturkan beberapa persoalan yang diperselisihkan ulama kalam beserta pendapat-pendapat mereka.
B.     Rumusan Masalah
a.       Bagaimana batas antara mukmin dan kafir?
b.      Bagaimana pengertian wahyu dan akal beserta fungsinya?
c.       Bagaimana Kehendak, kekuasaan dan perbuatan Tuhan?
d.      Bagaimana Kehendak, kekuasan dan perbuatan manusia?
e.       Seperti apa Keadilan Tuhan?
f.       Apa yang dimaksud sifat-sifat Tuhan?

C.     Tujuan dan Manfaat Penulisan
Untuk memenuhi tugas kuliyah Tauhid dan agar kita lebih mengetahui banyaknya perbedaan pendapat di antara ulama. Semoga dengan mengetahui banyaknya perbedaan ini, akal dan hati kita bisa tercerahkan dan mampu menyaring atau memilih salah satu dari pendapat ulama yang sesuai dengan kebutuhan akal dan nurani kita tanpa menyalahkan pendapat lain yang tidak kita pilih.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Batas antara mukmin dan kafir
Persoalan yang pertama timbul dalam teologi Islam ialah masalah iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan pertamakali oleh kaum Khawarij yang mengecap kafir sejumlah tokoh sahabat Nabi saw. Yang dipandang telah melakukan dosa besar, yaitu Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abu sufyan, Abu Musa Al-Asy’ari, Amr bin Al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah Saw.
1.      Menurut Aliran Khawarij
Iman menurut kaum Khawarij bukan merupakan pengakuan dalam hati dan ucapan dengan lisan saja, akan tetapi amal ibadah menjadi rukun iman saja. Menurut kaum Khawarij, orang yang tidak melakukan shalat, puasa, zakat, dan lain sebagainya yang diwajibkan oleh Islam, maka termasuk kafir. Jadi apabila sekarang mukmin melakukan dosa besar mapun kecil, maka orang itu termasuk kafir dan wajib diperangi serta boleh di bunuh. Harta bendanya boleh dirampas menjadi harta ghonimah[2].
2.       Menurut Aliran Murji’ah
Iman menurut Murji’ah adalah terletak pada tashdiq qolbu, adapun ucapan dan perbuatan tiadak selamanya menggambarkan apa yang ada dalam qolbu.
Menurut sub sekte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan bahwa keimanan terletak di dalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan seseorang yang menyimpang dari kaidah agama tidak berarti menggeser atau merusak keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan. Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat adalah mereka yang berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidaklah menjadi kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya bergantung pada dosa yang dilakukannya. Dalam menetapkan kafir dan dosa besar, kalau paham Khawarij mengatakan bahwa orang mukmin yang melakukan dosa besar dia sudah dianggap kafir, sedangkan paham Murji’ah lebih bersikap positif. Artinya, sesuai dengan sebutan nama mereka arja’a, mereka lebih cenderung menyerahkan saja kepada Tuhan soal pelaku dosa besar.
3.      Menurut Muta’zilah
Menurut paham mu’tazilah Iman adalah tashdiq di dalam hati, ikrar dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Konsep ini mengaitkan perbuatan manusia dengan iman, karena itu, keimanan seseorang ditentukan pula oleh amal perbuatannya. Konsep ini dianut pula oleh Khawarij. Menurut mereka iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu tidak dikatakan mukmin. Tegasnya iman adalah amal. Iman tidak berarti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain, iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Kaum Mu’tazilah juga berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar dan mati sebelum taubat, tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi sebagai orang fasik[3].  
4.      Menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
a.       Ahlus Sunnah yang Asy’ariyah
Menurut aliran ini, dijelaskan oleh syahrastani, iman secara esensial adalah tasdiq bil al janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan qaul dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bil arkan) hanya merupakan furu’(cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan ke-Esaan Allah dengan kalbunya dan juga membenarkan utusan-utusan nya beserta apa yang mereka bawa dari-Nya, iman secara ini merupakan sahih. Keimanan seseorang tidak akan hilang kecuali ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.
Kaum Asy’ariyah – yang muncul sebagai reaksi terhadap kekerasan Mu’tazilah memaksakan paham khalq Alquran – banyak membicarakan persoalan iman dan kufur. Asy’ariyah berpendapat bahwa akal manusia tidak bisa merupakan ma’rifah dan amal. Manusia dapat mengetahui kewajiban hanya melalui wahyu bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan dan manusia harus menerimanya sebagai suatu kebenaran. Oleh karena itu, iman bagi mereka adalah tashdiq. Pendapat ini berbeda dengan kaum Khawarij dan Mu’tazilah tapi dekat dengan kaum Jabariyah. Tasdiq menurut Asy’ariyah merupakan pengakuan dalam hati yang mengandung ma’rifah terhadap Allah.
b.      Ahlus Sunnah yang Maturidiyah
         Dalam aliran Maturidiyah terdiri atas dua kelompok, yaitu kelompok Samarkhand, dan kelompok Bukhara.
a.       Maturidiyah golongan Samarkand
Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al-qalb, bukan semata-mata iqrar bi al-lisan. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai di situ. Menurutnya, tashdiq, seperti yang dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-Maturidi mendasari pandangannya pada dalil naqli surat Al-Baqarah ayat 260. Pada surat Al-Baqarah tersebut dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, lanjut Al-maturidi, tidaklah berarti bahwa Ibrahim belum beriman. Akan tetapi, Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Jadi, menurut Al-Maturidi, iman adalah tashdiq yang berdasarkan ma’rifah. Meskipun demikian,ma’r ifah menurutnya sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman.
b.      Maturidiyah golongan Bukhara
Adapun pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al-lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bi al-qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan rasul-rasul yang diutus-Nya beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud dengan tashdiq al-lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal. Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariyah, yaitu sama-sama menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan yang berbeda.
Dari keterang di atas kita dapat mengetahui bahwa orang kafir menurut Ahlus Sunnah adalah orang yang tidak memiliki salah satu dari dua unsur pokok iman, yaitu tashdiq dalam hati dan mengikrarkan dengan lisan. Orang yang membenarakan dalam hati tentang adanya Allah dan iman kepada Nabi Muhammad Saw. tetpi tidak mau mengatakannya secara eksplisit maka orang itu dihukumi kafir[4].

B.     Wahyu, Akal dan Fungsi Keduanya
Teologi sebagi ilmu yang membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan, tentu tidak lepas dari penggunaan akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang kedua soal tersebut.
Kata “akal” yang telah menjadi kosa kata bahasa Indonesia, secara etimologis berasal dari bahasa Arab, yaitu al-‘aql (العقل ) yang berarti: ikatan, pikiran, pemahaman dan pengertian[5]. Sedangkan secara terminologis, kata akal dapat diartikan sebagai, daya pikir yang memberikan kekuatan kepada manusia untuk merancang dan mengoreksi serta mengukuhkan sesuatu dan menetapkan keputusan di antara berbagai macam hal yang ditemui manusia dalam mencapai apa yang diinginkan[6].
Kata “wahyu” berasal dari bahasa Arab yaitu الوحي yang berarti suara, api,dan kecepatan. Di samping itu, kata wahyu juga berarti bisikan, isyarat, tulisan dan kitab. Selanjutnya, ia juga mengandung makna pemberitahuan secara sembunyi dan dengan cepat[7].
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata wahyu diartikan sebagai “petunjuk dari Allah yang diturunkan hanya kepada para Nabi dan Rasul melalui mimpi dan sebagainya”[8]. Dalam kedudukannya sebagai petunjuk, wahyu juga dapat diartikan sebagai pemberitahuan (informasi) dari Allah yang diberikan kepada orang-orang pilihannya (Rasul) untuk disampaikan kepada manusia agar dijadikan sebagai pegangan hidup. Ia mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang berguna bagi manusia untuk perjalanan hidupnya di dunia dan akhirat[9].
Akal, sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia, berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
Polemik yang terjadi diantara ulama atau aliran kalam adalah: sampai di manakah kemampuan akal manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia? Dan juga sampai manakah besarnya fungsi wahyu dalam kedua hal ini?
Dalam menyikapi fungsi wahyu dan akal, kaum Salafiyah, Mu’tazilah dan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah didapati perbedaan sebagai berikut:
1.      Menurut kaum Salafiyah
Fungsi wahyu jauh lebih tinggi dibandingkan dengan fungsi akal.
Jalan untuk mengetahui aqidah dan hukum Islam dengan dalil-dalil pembuktiannya, tiada lain bersumber pada Al-Qur’an sebagai wahyu dari Allah dan Hadits Nabi Muhammad Saw. sebagai penjelasannya. Apa yang telah ditetapkan Al-Qur’an dan dijelaskan dengan hadits, harus diterima dan tidak boleh ditolak.
Akal pikiran manusia dalam hal ini untuk menafsiri, dan menguraikan Al-Qur’an serta mentakwilkannya dalam batas yang yang diijinkan yaitu kata-kata bahasa, yang dikuatkan oleh hadits. Sesudah itu, lainnya akal hanya membenarkan dan tunduk kepada nash serta mendekatkannya kepada alam pikiran.
Jadi, fungsi akal adalah menjadi saksi dan membenarkan penjelasan-penjelasan dalil-dalil Al-Qur’an. Dengan demikian kaum Salafiyah meletakkan akal di belakang wahyu, tidak boleh berdiri sendiri.
1.      Menurut kaum Mu’tazilah
Kaum mu’tazilah sangat meninggikan akal. Sampai-sampai mereka menganggap bahwa fungsi akal lebih tinggi dibandingkan dengan wahyu, baik Alqur’an maupun hadits.
Sesuatu yang bertentangan dengan akal meskipun ada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi yang menjelaskan dan sesuai dengan masalah itu tetap akan dibuangnya tidak mau menerima.
Dengan demikian, menurut Mu’tazilah fungsi akal lebih tinggi daripada wahyu.
2.      Menurut Ahlus Sunnah Wal Jaa’ah
Ahlus Sunnah yang memegang pendirian Faha Asy’ariyah berpendapat bahwa fungsi wahyu (berupa Al-Qur’an) dan hadits Nabi adalah menjadi pokok utama, sedangkan akal sebagai penguat nash Al-Qur’an dan hadits.
Al-Asy’ari tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal, tetapi ia menentang keras terhadap orang yang menganggap bahwa pemakaian akal tidak pernah disinggung oleh Nabi dala membicarakan soal-soal agama, termasuk juga menentang orang yang ementingkan diri menganggap bahwa akal mempunyai kedudukan tinggi dibandingkan dengan wahyu.
Menurut Al-Asy’ari, sahabat Nabi sendiri setelah beliau wafat banyak membicarakan soal-soal bau berdasarkan akal pikiran dengan tidak mengesampingkan Al-Qur’an dan hadits. Ia juga menentang orang yang keberatan membela agama dengan ilmu kalam dan argumentasi pikiran, karena yang demikian ini tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an maupun hadits[10].

C.    Kehendak, Kekuasaan dan Perbuatan Tuhan
1.      Menurut kaum salafiyah
Menurut kaum salafiyah Tuhan memiliki kekuasaan dan perbuatan mutlak, yakni Tuhan menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya tanpa adanya sekutu penciptaanya. Tidak ada yang menyamai dan mempersengketakan kekuasaanya. Dalam menciptakan segala sesuatu Tuhan tidak membutuhkan yang lain bersama-sama denganya, bahvan segala sesuatu dan semua pekerjaan datang atas kekuasaan Tuhan dan semuanya akan kembali kepadanya juga.
2.      Menurut kaum mu’tazilah
Tuhan tidak menghendaki keburukan, ttidak menciptakan perbuatan manusia. Manusia bisa mengerjakan perintah dan meninggalkan larangannya, atas kekuasaan Qudrah yang dijadikan pada manusia itu sendiri. Tuhan hanya perintah apa yang dikehendaki dan melarang apa yang tidak dikehendakinya. Ia mengusai kebaikan-kebaikan yang diperintahkannya dan tidak ikut campur dalam keburukan-keburukan yang dilarangnaya. Dengan demikian kaum Mu’tazilah menggangap bahwa kekuasaan dan kehendak perbuatanTuhan tidak lagi mempunyail sifat mutlak semutlak mutlaknya. Jadi kaumMu’tazilah percaya pada hukum alam dan menganut keadaan Tuhan yang juga tidak berubah-ubah. Selanjutnya menurut Mu’tazilah bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajiban-kewajiban tuhan terhadp manusia yang memang ada. Kekuasaan mutlakl itu dibatasil oleh alam atu sunnah Allah yang tidak menga;ami; perubahan. Mereka berpengang pada ayat al-qur’an surat Al-ahzab ayat 62 yang artinya :
Dan kamu sekali-kali tiada akn mendapati perubaha n pada sunah Allah.
Beberapa prinsip yang dianut Mu’tazilah adalah :
a.       Tuhan menciptakan mahluk berdasarkan atas hikmah dan kebijaksanaan (tujuan).
b.      Tuhan tidav menghendaki dan memerintahkan keburukan.
c.       Manusia mempunyai kesanggupan untuk mewujudkan perbuatannya.
d.      Tuhan mesti mengerjavan yang baik dan terbaik.
3.      Menurut ahlussunnah wal jamaah
Menurut faham ahlussunnah wal jama’ah tentang kehendak, kekuasaan dan perbuatan Tuhan ialah bahwa Tuhan menghendaki kebaivan dan keburukan, jika sesuatu dikendaki oleh Tuhan baik, maka baiklah sesuatu itu, sebaliknya jika menhendaki buruk maka buruk.
Tuhan berkuasa atas segala sesuatu, akan tetapi membelri kebebasan kepada manusia untuk berusah mewujudkan sesuatu pekerjaan. Dalam masalah perbuatan Tuhanll berpendapat bahwa Tuhan berbuat sesuatu varana Qudrat dan Iradatnya, tidak mempunyai tujuan dan bukan karena hikmah tertentu. Sesuai dengan firman Allah surat Yasin ayat 82 yang artinya :
‘Sesungguhnya keadaannya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata : jadilah !! maka terjadilah ia.”[11]
D.    Kehendak, kekuasan dan perbuatan manusia
1.      Menurut Aliran Salafiyah
Manusia mempunyai usaha dengan bebas sesuai dengan kehendak dan kemauannya, namun tidak lepas dari Qudrat Allah Swt. Contoh tanda-tanda Qudrat alah Swt. adalah bahwa kadang Tuhan menghalangi apa yang dikehendaki manusia, sehingga terjadi tidak seorangpun sanggup menolong sesamanya di luar apa yang di usahakan. Seperti mengobati orang sakit, tapi tidak sembuh.
2.      Menurut Aliran Mu’tazilah
Kehendak, kekuasaan dan perbuatan manusia adalah mutlak, artinya manusia bisa bebas berkehendak dan mewujudkan perbuatannya. Perbuatan manusia bukan atas dasar penciptaan Tuhan.
Prinsip Mu’tazilah adalah “keadilan Tuhan” yang menurut mereka Tuhan tidak akan memberi pahala atau siksa kepada seseorang kecuali atas perbuatan yang ia lakukan dan memang dikehendaki, karena dengan akalnya bisa membedakan perbuatan yang baik dan buruk, berarti dapat menentukan pilihan.
Tentang kekuasaan bagi manusia, menurut mereka manusia mempunyai kesanggupan dan kekuasaan untuk mewujudkan perbuatannya sehingga dapat memahami adanya perintah-perintah Tuhan. Tentang janji dan ancaman, pengutusan rasul-rasul tidak ada kezaliman bagi Tuhan.
Mengenai pekerjaan manusia, mereka berpendirian bahwa pekerjaan manusia hanyalah “kemauan”, dan ada perbedaan antara pekerjaan yang keluar dari kemauan dan pekerjaan yang timbul dari perbuatan yang lain. Perbuatan yang kedua ini timbul dari hukum alam, sedang yang pertama tidak tunduk pada hukum alam dan tidak pula terjadi sendirinya. Perbuatan manusia yang bebas adalah terjadi dengan usaha dan pilihannya sendiri, bukan ciptaan Tuhan.
Mereka menganggap bahwa manusia dalam hatinya merasakan perbuatan yang aka terjadi menurut dorongannya. Kalau dia mau bergerak, maka bergeraklah dan kalau mau diam, maka diamlah. Ini dalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri akal.
3.      Menurut Ahlus sunnah
Perbuatan manusia itu dikerjakan atas Qudroh Allah disertai dengan qudrat manusia, namun Qudrat Allah-lah yang dapat memberi bekas.
Jadi, perbuatan manusia diciptakan oleh Allah Swt. bukanlah diwujudkan oleh manusia sendiri. Tetapi dalam perwujudannya manusia juga mempunyai bagian yang disebut usaha (al-kasbu) berbarengan antara perbuatan seseorang dengan kemampuannya.
Dengan usaha itulah manusia bertanggung jawab atas segala baik dan buruknya perbuatan yang dilakukan. Dengan demikian, menunjukan bahwa manusia berhak berusaha, namun Allah jualah yang menentukan hasilnya[12].
E.     Keadilan Tuhan
Munculnya masalah keadilan Tuhan itu disebabkan karena adanya perbedaan pendapat tentang kebebasan manusia dan kekusaan mutlak Tuhan.
1.      Menurut Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah, karana percaya pada kekuatan akal dan  kemerdekaan serta kebebasan manusia. Mereka beranggapan bahwa manusia berakal sempurna, dan jika manusia berbuat sesuatu pasti mempunyai tujuan, baik berbuat untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Menurut mereka Tuhan juga mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatannya, akan tetapi karena Tuhan Maha Suci dari sifat berbuat untuk kepentingan diri sendiri, perbuatan-perbuatan Tuhan adalah untuk kepentingan maujud lain, selain Tuhan. Berlandaskan argumen-argumen ini kaum Mu’tazilah berkeyakinan, bahwa wujud ini diciptakan untuk manusia, sebagai makhluk tertinggi, dan oleh karena itu mereka mempunyai kecenderungan untuk melihat segala-galanya dari sudut kepentingan manusia[13].
Berdasarkan atas tendensi yang di jelaskan di atas, soal keadilan mereka tinjau dari sudut pandang manusia. Bagi mereka keadilan yang diterangkan Abd al-Jabbar, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan diartikan memberi seseorang akan haknya. Kata-kata “Tuhan adil” mengandung arti segala perbuatan-Nya adalah baik, bahwa Ia tidak dapat berbuat yang buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban-Nya terhadap manusia. Oleh karena itu Tuhan tidak dapat bersifat zalim dalam memberi hukuman tidak dapat menghukum anak orang musyrik lantaran dosa orang tuanya dan mesti memberi upah kepada orang yang patuh pada-Nya dan memberi hukuman kepada yang menentang perintah-Nya. Selanjutnya keadilan juga mengandung arti berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia, dan memberi upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan apa yang diperbuatnya. Jelas kiranya bahwa paham keadian bagi kaum mu’tazilah mengandung arti bahwa Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dihormati Tuhan[14].
2.      Menurut Ahlus Sunnah
Kaum Asy’ariyah karena percaya bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak, mereka menolak paham bahwa Tuhan mempunyai tujuan dalam perbuatan-Nya. Tuhan berbuat semata-mata karena keusaan dan kehendak  mutlak-Nya dan bukan karena kepentingan manusia atau tujuan lain[15].
Menurut kaum Asy’ariyah mengenai keadilan ditinjau dari sudut keuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mereka mengartikan keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang dimiliki serta mempergunakannya sesuai dengan kehendak dan pengetahuan pemilik. Dengan demikian keadilan Tuhan mempunyai arti bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap mahluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak-Nya dalam kerajaan-Nya. Ketidakadilan, sebaliknya berarti menempatkan sesuatu tidak pada tempatnaya, yaitu berkuasa mutlak terhadap hak milik orang.[16]
Menurut kaum Asy’ariyah Tuhan adalah raja absolute, yang memberikan hukuman menurut kehendak mutlak-Nya, tidak terikat pada suatu kekuasaan, kecuali kekuasaan-Nya sendiri. Sedangkan menurut kaum mu’tazilah Tuhan adalah raja konstitual, yang kekuasaan-Nya dibatasi oleh hukum, walaupun hukum tersebut adalah buatan Tuhan sendiri, akan tetapi Tuhan mengeluarkan hukuman sesuai dengan hukum bukan dengan sewenang-wenang[17].
Kaum Maturidiyah Samarkand lebih condong kepada kaum mu’tazilah. Mereka berpendapat bahwa perbuatan manusia bukanlah perbuatan Tuhan tapi perbuatan manusia sendiri. Jadi, manusia dihukum atas perbuatan yang dikehendakinya dan yang dilakukan bukan dengan paksaan tetapi dengan kebebasaan yang diberikan Tuhan kepadanya[18].
Sedangkan kaum Maturidiyyah Bukhara lebih condong kepada Asy’ariyah, persoalan keadilan menurut mereka sebenarnya ada, tetapi paham masyi’ah dan rida membebaskan golongan Bukhara dari persoalan ini. Sungguhpun manusia dalam paham Maturidiyah, berbuat buruk tas kehendak Tuhan, tetapi perbuatan tersebut tidak diridhoi Tuhan. Karena menentang ridha Tuhan, tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhan bersifat tidak adil kalau ia member hukuman kepada orang yang berbuat jahat[19].

F.       Sifat-sifat Tuhan
a.       Sifat-sifat Tuhan secara umum
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariyah dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat mestilah sifat itu kekal sebagaimana dzat tuhan. Dan selanjutnya jika sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal bukanlah satu, tapi banyak. Tegasnya, kekalnya sifat akan membawa kepada faham banyak yang kekal (ta’addudu al-qudama’ atau multyplicity eternals). Yang selanjutnya akan membawa kepada faham syirk atau polytheisme. Suatu hal yang tidak bisa diterima dalam teologi.
1.      Menurut Mu’tazilah
Tuhan tidak mempunyai sifat. Definisi mereka tentang Tuhan bersifat negatif. Tuhan, tidak mempunyai pengetahuan, tidak mempunyai kekuasaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Ini tidak berarti bahwa Tuhan bagi mereka tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa dan sebagainya tetapi mengetahui, berkuasa dan sebagainya, bukanlah sifat dalam arti kata sebenarnya. Tuhan mengetahui dengan pengetahuan dan pengetahuan adalah esensi Tuhan itu sendiri. Artinya Tuhan tidak butuh kepada suatu sifat dalam bentuk pengetahuan atau keadaan mengetahui[20].
2.      Menurut Ahlus Sunnah
Asy’ariyah belawanan dengan faham Mu’tazilah. Mereka mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat. Dan sifat Tuhan seperti pengetahuan, hayat, kehendak dan lainnya adalah kekal. Sifat-sifat Tuhan ini bukan esensi Tuhan, tetapi sifat itu ada dalam esensi itu sendiri.
Untuk mengatasi anggapan terjadinya ta’addudu al-qudama’ atau multyplicity eternals, Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan, tetapi tidak lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat itu tidak lain dari Tuhan, adnya sifat-sifat tidak membawa kepada faham ta’addudu al-qudama’[21].
Ahlus Sunnah kaum Maturidiyah dalam menanggapi persoalan ta’addudu al-qudama’ mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melalui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekaln sifat itu sendiri; juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifatnya kekal, tetapi sifat-sifat itu sendiri tidaklah kekal[22].
b.      Antrhopomorphisme (tajsim)
1.      Menurut Mu’tazilah
Tuhan tidak mempunyai sifat-sifat yang jasmani, karena Tuhan bersifat immateri. Tuhan tidak mungkin mempunyai badan materi, oleh karena itu tidak mempunyai sifat sifat jasmani. Adapun ayat-ayat al-Qur’an yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani harus diberi interpretasi lain (ta’wil). Dengan demikian kata al-arsy, tahta kerajaan diberi interpretasi kekuasaan, al-‘ain, mata, diberi interpretasi pengetahuan, begitupun sifat-sifat yang lain[23].
2.      Menurut Ahluss Sunnah
Kaum Asy’ariyah sama dengan Mu’tazilah, mereka tidak menerima Antrhopomorphisme dalam arti, bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan sifat-sifat jasmani manusia. Namun bagi mereka, sebagaimana dalam Al-Qur’an Tuhan tetap mempunyai mata, muka, tangan, dan sebagainya, tetapi semua itu tidak sama dengan apa yang ada pada manusia. Tentu itu timbul pertanyaan, jika tidak sam dengan yang ada pada manusia, maka bagaimana sifat  tangan, mata, muka dan sebagainya itu? Jawab Al-asy’ari : “Tuhan mempunyai mata dan tangan, yang tak dapat diberikan gambaran atau definisi”.
                  Sedangkan kaum Maturidiyah dalam hal ini tidak sepaham dengan Asy’ariyah. Menurut Maturidiyah golongan Bukhara, tangan Tuhan adalah sifat bukan anggota badan Tuhan, yaitu sifat sama dengan sifat-sifat lain seperti pengetahuan, daya dan kekuasaan[24].
      Lain halnya dengan pendapat Maturidiyah Samarkand. Tangan, muka, mata, dan kaki diartikan sebagai kekuasaan Tuhan. Tuhan tidak mempunyai badan, sungguhpun tidak sama dengan jasmani manusia, karena badan tersusun dari substansi (jawhar dan ‘ard). Manusia butuh pada anggota badan, karena tanpa anggota badan manusia menjadi lemah; adapun tuhan, tanpa anggota badan, Ia tetap Maha Kuasa[25].
c.       Melihat Tuhan
1.      Menurut Mu’tazilah
Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala, karena Tuhan bersifat immateri. Tuhan tak mengambil tempat dan dengan demikian tak dapat dilihat, karena yang dapat dilihat hanyalah yang mengambil tempat. Kalau Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala, Tuhan akan dapat dilihat sekarang dalam alam ini juga. Dan tidak ada orang yang melihat Tuhan di alam ini.
2.      Menurut Ahlus Sunnah
Kaum Asy’ariyah berpendapat lain, bahwa Tuhan akan dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepala di akhirat nanti. Argumen mereka untuk memperkuat pendapat ini sebagai berikut. Yang tidak dapat dilihat hanyalah yang tidak mempunyai wujud. Yang mempunyai wujud mesti dapat dilihat. Tuhan berwujud dan oleh karena itu dapat dilihat[26].
Kaum Maturidiyah dengan kedua golongannya sefaham dalam hal ini dengan kaum Asy’ariyah. Al-maturidi juga berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat karena Ia mempunyai wujud. Dalam hal ini, Asy’ariyah dan kedua golongan Maturidiyah sepakat dan tidak ditemukan perbedaan[27].
BAB III
PENUTUP
Semua ulama kalam sama-sama mempergunakan akal atau wahyu dalam menyelesaikan persoalan persoalan ketuhanan. Perbedaannya adalah porsi penggunaan akal dan wahyu. Mu’tazilah memberi porsi banyak pada akal, kaum Salafiyah tidak memberi porsi pada akal, dan Ahlus Sunnah lebih banyak memberikan porsi pada wahyu.
Ulama kalam yang berpendapat bahwa akalmempunyai daya yang kuat memberi interpratasi yang riberal tentang teks Al-Qur’an dan Hadits. Demikian timbullah pemahaman kalam liberal. Ulama yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah memberi interpretasi harfi atau dekat dengan arti harfi dari teks Al-Qur’an dan Hadits. Sikap demikian akan menimbulkan pemahaman kalam yang tradisional. Dan bagi yang tidak memberikan porsi pada akal akan menimbulkan pemahaman kalm yang fundamental.
Pada hakikatnya semua aliran tersebut, tidaklah keluar dari Islam, tetapi tetap dalam Islam. Dengan demikian tiap orang Islam bebas memilih salah satu dari aliran-aliran kalam tersebut, yaitu aliran mana yang sesuai dengan jiwa dan pendapatnya. Hal ini tidak obahnya pula dengan kebebasan tiap orang Islam memilih madzhab fikih mana yang sesuai dengan jiwa dan kecenderungannya. Disinilah kelihatan hikmat ucapan Nabi Muhammad Saw. “Perbedaan pendapat di kalangan umatku membawa rahmat”[28].
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan, Jakarta:            Universitas Indonesia/UI-Press, 1986.

Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta, 1996.

Baidan, Nashiruddin, Tafsir Maudhu’i, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Yunus, Mahmud, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran al-Quran, 1973.

Al-Habsyi, Husin, Kamus al-Kautsar Lengkap Arab Indonesia, Cet. III; Bangil: Yayasan  Pesantren Islam, 1986.

Al-Bahi, Muhammad, al-Fikr al-Islam wa Mujtama‘ah al-Mu‘asir, Kairo: Dar al-Qawaniyah         li al-Ta‘ah wa al-Nasr, t.th.

Ichwan, Mohammad Nor, Belajar Al-Qur’an, Cet: I; Semarang: RaSAIL, 2005.

Departemen Pendidikan dan Kebudyaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III;    Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Al-Zarqani, Muhammad Abd al-‘Azhim  , Manahil al-‘Irfan, Beirut: Dar al-Fikr, 1988.



[1] Harun Nasution, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah, analisa dan perbandingan (Jakarta: Universitas Indonesia/UI-Press), h. 8.
[2] Drs. H. Zainuddin, Ilmu Tauhid Lengkap (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), h. 179.
[3] Nashiruddin Baidan, Tafsir Maudhu’i (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h.304-305.
[4] Nashiruddin Baidan, Loc. Cit.
[5]  Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsiran al-Quran, 1973), h. 275. Lihat juga, Husin al-Habsyi, Kamus al-Kautsar Lengkap Arab Indonesia (Cet. III; Bangil: Yayasan Pesantren Islam, 1406 H./1986 M.), h. 261.
[6]  Muhammad al-Bahi, al-Fikr al-Islam wa Mujtama‘ah al-Mu‘asir (Kairo: Dar al-al-Qawaniyah li al-Ta‘ah wa al-Nasr, t.th.), h. 359-360.
[7] Mohammad Nor Ichwan, Belajar Al-Qur’an (Cet: I; Semarang: RaSAIL, 2005), h. 2.
[8] Departemen Pendidikan dan Kebudyaan RI., Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 1005.
[9] Muhammad Abd al-‘Azhim  al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, 1988), h. 63.
[10] Zainuddin, Op. Cit, h. 179-181.
[11] Ibid, at 181-183.
[12] Id, at 183-184.
[13] Harun Nasution, Op. Cit, h. 123.
[14] Ibid, h. 124-125.
[15] Ibid, h. 123.
[16] Ibid, h. 125.
[17] Ibid, h. 126-127.
[18] Ibid, h. 127.
[19] ibid
[20] Ibid, h 135.
[21] Ibid, h. 136
[22] Ibid, h. 137.
[23] Ibid
[24] Ibid, h. 138.
[25] Ibid, h. 139.
[26] ibid
[27] Ibid, h. 140.
[28] Ibid, h. 152.

No comments:

Post a Comment