Makalah ini ditulis untuk
memenuhi tugas Ujian Akhir Semester
Mata Kuliah: Sejarah
Paradaban Islam
Dosen Pengampu: Dr. Nashihun
Amin, M. Ag.
Disusun oleh:
Estanu Wijaya (134211055)
Fakultas Ushuluddin
Jurusan Tafsir Hadits
UIN Walisongo Semarang
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hijrah Nabi dari Makkah ke Madinah merupakan permulaan semua
peristiwa sejarah dunia Islam. Karena waktu itulah awal kemenangan yang
diberikan Allah kepada Rasul-Nya dalam menghadapi mereka yang memerangi
risalahnya. Kemudian mereka melakukan perbuatan makar hendak membunuhnya. Dalam
hijrah itu, hanya Abu Bakar sendiri yang menemani hijrah Nabi. Di saat Nabi diserang
sakitnya yang terakhir dan tidak kuat lagi untuk mengimami shalat, Abu Bakarlah yang ditunjuk Nabi
sebagai penggantinya memimpin shalat.
Dipilihnya Abu Bakar menemani Nabi ketika hijrah dan
mengimami menggantikannya salat, karena Abu Bakar Muslim pertama yang beriman
kepada Allah dan kepada Rasulullah, dan demi imannya itu pula dialah yang
paling banyak berkorban. Sejak masuk Islam besar sekali hasratnya hendak
membantu Nabi dalam berdakwah demi agama Allah dan membela kaum Muslimin. la
lebih mencintai Rasulullah daripada dirinya sendiri, mendampinginya selalu
dalam setiap peristiwa. Selain itu, di samping iman yang begitu teguh akhlaknya
pun sudah mendekati kesempurnaan, cintanya begitu besar kepada orang lain,
paling dekat dan akrab kepada mereka.
Jika demikian halnya, tidak heran bila Muslimin kemudian
mengangkatnya sebagai pengganti Rasulullah. Memang, tidak heranlah dengan
sikapnya itu ia membela Islam dan menyebarkan agama Allah di muka bumi ini.
Dialah yang telah memulai sejarah lahirnya kedaulata Islam, yang kemudian
menyebar di timur dan di barat, ke India, Tiongkok, hingga sampai Indonesia di
Asia, ke Maroko dan Andalusia di Afrika dan Eropa, dan yang kemudian
mengarahkan kebudayaan umat manusia ke suatu tujuan, yang pengaruhnya di
seluruh dunia masih terasa sampai sekarang.
Namun, dalam pengangkatannya sebagai khalifah, tentu
tidak semulus yang dikira. Banyak pertentangan dimana-mana yang menandai
awalnya perpecahan dalam tubuh Islam. Terjadi perselisihan pendapat mengenai
siapa yang lebih berhak menggantikan Nabi sebagai pemimpin mereka. Karena
memang Nabi tidak pernah berwasiat menunjuk siapa yang akan menggantikannya
sebagai pemimpin Muslimin sepeninggalnya.
Abu Bakar, sahabat dekat Muhammad, orang yang paling
banyak berhubungan dengan dia, di samping memang orang yang paling setia dan
paling banyak mengikuti ajaran-ajarannya. Selain itu ia memang orang yang
sangat ramah dan lembut hati, dan karena dia jugalah puluhan dan ratusan ribu
Muslimin tersebar ke segenap penjuru, Juga, dengan segala kelembutannya itu dia
terpilih menjadi Khalifah pertama.
Dialah yang telah memperkuat Islam kembali tatkala
orang-orang Arab yang murtad mencoba mau menggoyahkan sendi-sendi Islam. Di
samping juga dialah yang telah merintis penyebaran Islam ke luar dan merintis
pula kedaulatannya.
B. Rumusan
Masalah
Mengacu pada latar belakang di atas, pemakalah tertarik
untuk mengulas beberapa masalah sebagai berikut:
1. Biografi Abu Bakar
Ash-Shiddiq
2. Pengangkatannya Menjadi
Khalifah Pertama
3. Langkah-Langkah dan
Torehan-torehan masa kekhalifahannya
4. Wafatnya
C. Tujuan
Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk:
1. Memenuhi tugas akhir
semester mata kuliah Sejarah Peradaban Islam (SPI)
2. Mengenal sosok Abu Bakar
Ash-Shiddiq
3. Mengetahui peran penting
beliau dalam kemajuan Islam
4. Mengambil pelajaran dari sosok
dan perjalanan hidupnya, baik sebagai seorang muslim maupun pemimpin
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIOGRAFI
ABU BAKAR ASH-SHIDDIQ
1. Nasab,
Nama, dan kabilahnya
Menurut para penulis
biografi bahwa, Nama Abu Bakar Ash-Shiddiq yang terkenal itu merupakan kuniyah
dari seorang yang bernama asli Abdullah bin Utsman bin ‘Amir bin ‘Amr bin Ka’ab
bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib bin Fihr al-Quraisy at- Taimiy.
Nasabnya bertemu dengan Nabi Saw pada kakeknya Murrah bin Ka’ab.
Disebutkan juga oleh penulis
lain bahwa, nama aslinya adalah ‘Atiq, Namun menurut mayoritas ‘Ulama ‘Atiq
adalah nama julukan bukan nama asli, Abu Bakar mendapat julukan tersebut karena
dia dibebaskan dari api neraka, sebagaimana yang disebutkan dalam Hadits.
Adapula yang mengatakan,
bahwa Abdul Ka’bah adalah nama Abu Bakar sebelum masuk Islam, dinamai demikian karena
dari pihak ibunya tak pernah ada anak laki-laki yang hidup. Lalu Ibunya
bernadzar jika ia melahirkan anak laki-laki akan diberi nama Abdul Ka’bah dan
akan disedekahkan kepada Ka’bah. Namun kemudian Nabi memanggilnya Abdullah
setelah masuk Islam.
Dan ibunya adalah Ummu al-Khair Salma
binti Shakhr bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim.
Ayahnya diberi kuniyah
Abu Quhafah. Imam Thabari menyebutkan dari jalur Ibnu Lahi’aah bahwa Abu
Quhafah memiliki tiga orang anak, pertama Atiq (Abu Bakar), kedua Mu’taq, dan
ketiga Utaiq.
Dari keterangan di atas
berarti Abu Bakar adalah keturunan dari kabilah Quraisy Taimi. Bani Taim adalah
satu dari dua belas cabang kabilah Quraisy. Namun bani itu bukanlah kelompok
yang besar.
Namun, setiap kabilah yang tinggal di Mekah
Punya keistimewaan
tersendiri, yakni ada tidaknya hubungannya dengan sesuatu jabatan di Ka’bah,
sedang bani Taim memiliki jabatan sebagai penyusun masalah diat (tebusan darah)
dan segala macam ganti rugi. Pada masa jahiliyah masalah tebusan darh ini
ditangan Abu Bakr tatkala posisinya cukup kuat, dan dia juga yang memegang
pimpinan kabilahnya. Dan ketika dia harus menanggung suatu tebusan dan meminta
bantuan Quraisy, mereka akan percaya dan mau memberikan tebusan itu, yang tak
akan dipenuhi sekiranya orang lain yang memintanya.
Karena memang sejak masa jahiliyah ia merupakan orang yang jujur dan dipercaya,
oleh karena itu dia digelari Ash-Shiddiq.
Mengenai gelar Abu Bakr yang
dibawanya dalam hidup sehari-hari sumber-sumber itu tidak menyebutkan
alasannya, meskipun penulis-penulis kemudian ada yang menyimpulkan bahwa
dijuluki begitu karena ia orang paling dini (b. Arab “Bakr” = dini) dalam Islam dibanding dengan yang lain.
2. Masa
Kecil dan Mudanya
Mengenai masa kecil Abu
Bakar tidak ditemukan sumber yang bisa membantu banyak untuk mengenal
pribadinya dalam situasi kehidupan saat itu. Cerita sekitar masa kanak-kank dan
remajanya tidak juga memuaskan. Begitu juga cerita tentang kedua orangtuanya
tidak lebih dari hanya sekedar menyebut namanya. Begitu Abu Bakar menjadi tokoh
Muslim yang penting, baru ayahnya disebut-sebut. Yang menjadi perhatian
sejarawan justru yang menyangkut kabilahnya serta kedudukannya di tengah
masyarakat Quraisy. Dengan melihat pertaliannya kepada salah satu kabilah,
sudah cukup untuk mengetahui watak dan akhlak mereka. Sebagaimana dikatakan
Muhammad Husain Haekal, inilah yang membuat mereka tidak cermat dalam meneliti.
Semasa kecil Abu Bakar hidup
seperti umumnya anak-anak di Mekah. Lepas masa anak-anak ke masa remajanya ia
bekerja sebagai pedagang pakaian. Usahanya ini mendapat sukses. Dalam usia muda
itu ia kawin dengan Qutailah binti Abul Uzza dari perkawinan ini lahir Abullah
dan Asma’. Sesudah dengan Qutailah ia kawin dengan Ummu Rauman bin Amir bin
Uwaimir, dari pernikahan ini lahir Abdur Rahman dan ‘Aisyah. Kemudian di
Madinah Ia menikahi Habibah binti Kharijah bin Zaid bin bin Abi Zuhair dari
Bani al-Haris bin al-Khazraj, selain itu dengan Asma’ binti Umais bin Ma’ad bin
Taim al-Khats’amiyyah yang sebelumnya diperistri oleh Ja’far bin Abi Thalib.
Dari hasil pernikahan ini lahirlah Muhammad bin Abu Bakar. Sementara itu usaha
dagangnya berkembang dan dengan sendirinya ia memperoleh laba yang besar.
3. Karakteristik
Fisik dan Perangainya
Mungkin saja,
keberhasilannya dalam berdagang dikarenakan oleh pribadi dan wataknya. Abu
Bakar adalah seorang yang bertubuh kurus, berkulit putih, dengan sepasang bahu
yang kecil dan muka lancip dengan mata yang cekung disertai dahi yang agak
menonjol dan urat-urat tangan yang tampak jelas — begitulah dilukiskan oleh
putrinya, Aisyah Ummulmukminin.
Adapun perangainya begitu
damai, sangat lemah lembut dan sikapnya tenang sekali. Tak mudah ia terdorong
oleh hawa nafsu. Dibawa oleh sikapnya yang selalu tenang, pandangannya yang
jernih serta pikiran yang tajam, banyak kepercayaan dan kebiasaan-kebiasaan
masyarakat yang tidak diikutinya.
Aisyah menyebutkan bahwa ia
tak pernah minum minuman keras, di zaman jahiliah atau Islam, meskipun penduduk
Mekah umumnya sudah begitu hanyut ke dalam khamar dan mabuk-mabukan. Ia seorang
ahli genealogi — ahli silsilah — bicaranya sedap dan pandai bergaul. Seperti
dilukiskan oleh Ibn Hisyam, penulis kitab Sirah:
"Abu Bakr adalah
laki-laki yang akrab di kalangan masyarakatnya, disukai karena ia serba mudah.
Ia dari keluarga Quraisy yang paling dekat dan paling banyak mengetahui
seluk-beluk kabilah itu, yang baik dan yang jahat. Ia seorang pedagang dengan
perangai yang sudah cukup terkenal. Karena suatu masalah, pemuka-pemuka
masyarakatnya sering datang menemuinya, mungkin karena pengetahuannya, karena perdagangannya
atau mungkin juga karena cara bergaulnya yang enak."
4. Keakrabannya
dengan Nabi dan Keislamannya
Ia tinggal di Mekah, di
kampung yang sama dengan Khadijah bint Khuwailid, tempat saudagar-saudagar
terkemuka yang membawa perdagangan dalam perjalanan musim dingin dan musim
panas ke Syam
dan ke Yaman. Karena bertempat tinggal di kampung itu, itulah yang membuat
hubungannya dengan Muhammad begitu akrab setelah Muhammad kawin dengan Khadijah
dan kemudian tinggal serumah. Hanya dua tahun beberapa bulan saja Abu Bakr
lebih muda dari Muhammad. Besar sekali kemungkinannya, usia yang tidak
berjauhan itu, mempengaruhi persamaan bidang usaha serta ketenangan jiwa dan
perangainya, di samping ketidaksenangannya pada kebiasaan-kebiasaan Quraisy —
dalam kepercayaan dan adat — mungkin sekali itulah semua yang berpengaruh dalam
persahabatan Muhammad dengan Abu Bakr. Beberapa sumber berbeda pendapat, sampai
berapa jauh eratnya persahabatan itu sebelum Muhammad menjadi Rasul. Di antara
mereka ada yang menyebutkan bahwa persahabatan itu sudah begitu akrab sejak
sebelum kerasulan, dan bahwa keakraban itu pula yang membuat Abu Bakar
cepat-cepat menerima Islam.
Ada pula yang menyebutkan,
bahwa akrabnya hubungan itu baru kemudian dan bahwa keakraban pertama itu tidak
lebih hanya karena bertetangga dan adanya kecenderungan yang sama. Mereka yang
mendukung pendapat ini barangkali karena kecenderungan Muhammad yang suka
menyendiri dan selama bertahun-tahun sebelum kerasulannya menjauhi orang
banyak. Setelah Allah mengangkatnya sebagai Rasul teringat ia pada Abu Bakar
dan kecerdasan otaknya. Lalu diajaknya ia bicara dan diajaknya menganut ajaran
tauhid. Tanpa ragu Abu Bakar pun menerima ajakan itu. Sejak itu terjadilah
hubungan yang lebih akrab antara kedua orang itu. Kemudian keimanan Abu Bakar
makin mendalam dan kepercayaannya kepada Muhammad dan risalahnya pun bertambah
kuat. Seperti dikatakan oleh Aisyah: "Yang kuketahui kedua orangtuaku
sudah memeluk agama ini, dan setiap kali lewat di depan rumah kami, Rasulullah
selalu singgah ke tempat kami, pagi atau sore."
Abu Bakar adalah lelaki yang
pertama kali memeluk Islam, walaupun Khadijah lebih dahulu masuk Islam
daripadanya, adapun dari golongan anak-anak, Ali yang pertama kali memeluk
Islam, sementara Zaid bin Haritsah adalah yang pertama kali memeluk Islam dari
golongan budak. Ternyata keislaman Abu Bakar ra. paling banyak membawa manfaat
besar terhadap Islam dan kaum muslimin dibandingkan dengan keislaman selainnya,
karena kedudukannya yang tinggi dan semangat serta kesungguhan-nya dalam
berdakwah. Dengan keislamannya maka masuk mengikutinya tokoh-tokoh besar yang
masyhur sepérti Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi Waqqas, Usman bin Affan,
Zubair bin Awwam, dan Talhah bin Ubaidil-lah ra.
Di awal keislamannya beliau
menginfakkan di jalan Allah apa yang dimilikinya sebanyak 40.000 dirham, beliau
banyak memerdekakan budak-budak yang disiksa karena keislamannya di jalan
Allah, seperti Bilal ra. Beliau selalu mengiringi
Rasulullah saw. selama di Makkah, bahkan dialah yang mengiringi beliau ketika
bersembunyi dalam gua dan dalam perjalanan hij-rah hingga sampai di kota
Madinah. Di samping itu beliau mengikuti seluruh peperangan yang diikuti
Rasulullah saw. baik perang Badar, Uhud, Khandaq, Penaklukan kota Makkah,
Hunain maupun peperangan di Tabuk.
Namun, adakalanya orang akan
merasa heran betapa Abu Bakar. Tidak merasa ragu menerima Islam ketika pertama
kali disampaikan Muhammad kepadanya itu. Dan karena menerimanya tanpa ragu itu
kemudian Rasulullah berkata: "Tak seorang pun yang pernah kuajak memeluk
Islam yang tidak tersendat-sendat dengan begitu berhati-hati dan ragu, kecuali
Abu Bakr bin Abi Quhafah. la tidak menunggu-nunggu dan tidak ragu ketika kusampaikan
kepadanya."
Sebenarnya tak perlu heran
tatkala Muhammad menerangkan kepadanya tentang tauhid dan dia diajaknya lalu
menerimanya. Bahkan yang lebih mengherankan lagi bila Muhammad menceritakan
kepadanya mengenai gua Hira dan wahyu yang diterimanya, ia mempercayainya tanpa
ragu. Malah keheranan kita bisa hilang, atau berkurang, bila kita ketahui bahwa
Abu Bakr adalah salah seorang pemikir Makkah yang memandang penyembahan berhala
itu suatu kebodohan dan kepalsuan belaka. Ia sudah mengenal benar Muhammad —
kejujurannya,kelurusan hatinya serta kejernihan pikirannya. Semua itu tidak
memberi peluang dalam hatinya untuk merasa ragu, apa yang telah diceritakan
kepadanya, dilihatnya dan didengarnya. Apalagi karena apa yang diceritakan
Rasulullah kepadanya itu dilihatnya memang sudah sesuai dengan pikiran yang
sehat. Pikirannya tidak merasa ragu lagi, ia sudah mempercayainya dan menerima
semua itu.
B. PROSES
PEMBAIATAN KHALIFAH ABU BAKAR
1. Muslimin Terkejut karena kematian Rasulullah
Rasulullah telah berpulang
ke sisi Tuhannya pada 12 Rabiulawal tahun 11 Hijri (3 Juni 632 M.). Subuh hari
itu Rasulullah Sallallahn
'alaihi wasallam merasa sudah sembuh dari
sakitnya. la keluar dari rumah Aisyah ke mesjid dan ia sempat berbicara dengan
kaum Muslimin. Dipanggilnya Usamah bin Zaid dan diperintahkannya berangkat untuk
menghadapi Rumawi. Setelah tersiar berita bahwa Rasulullah telah wafat tak lama
setelah duduk-duduk dan berbicara dengan mereka, mereka sangat terkejut sekali.
Umar bin Khattab yang berada
di tengah-tengah mereka berdiri dan berpidato, membantah berita itu. Ia
mengatakan bahwa Rasulullah tidak meninggal, melainkan sedang pergi menghadap
Tuhan seperti halnya dengan Musa bin Imran, yang menghilang dari masyarakatnya
selama empat puluh malam, kemudian kembali lagi setelah tadinya dikatakan meninggal.
Umar terus mengancam orang-orang yang mengatakan bahwa Rasulullah telah wafat.
Dikatakannya bahwa Rasulullah Sallallahu
'alaihi wasallam akan kembali kepada mereka
dan akan memotong tangan dan kaki mereka.
Abu Bakr sudah pulang ke
rumahnya di Sunh di pinggiran kota Medinah setelah Nabi 'alaihis-salam kembali dari mesjid ke rumah Aisyah.
Sesudah tersiar berita kematian Nabi, orang menyusul Abu Bakr menyampaikan
berita sedih itu. Abu Bakr segera kembali. la melihat Muslimin dan Umar yang
sedang berpidato. la tidak berhenti tetapi terus menuju ke rumah Aisyah.
Dilihatnya Nabi Sallallahu 'alaihi wasallam di salah satu bagian dalam rumah itu,
sudah diselubungi kain. la maju menyingkap kain itu dari wajah Nabi lalu
menciumnya dan katanya: "Alangkah sedapnya sewaktu engkau hidup, dan
alangkah sedapnya sewaktu engkau wafat." la keluar lagi menemui orang
banyak lalu berkata kepada mereka:
"Saudara-saudara! Barang siapa mau
menyembah Muhammad, Muhammad sudah meninggal. Tetapi barang siapa menyembah
Allah, Allah hidup selalu, tak pernah mati."
Selanjutnya ia membacakan
firman Allah:
"Muhammad hanyalah seorang Rasul;
sebelumnya pun telah berlalu rasul-rasul. Apabila dia mati atau terbunuh kamu
akan berbalik belakang? Barang siapa berbalik belakang samasekali tak akan
merugikan Allah tetapi Allah akan memberi pahala kepada orang-orang yang
bersyukur." (Qur'an, 3. 144).
Setelah didengarnya Abu Bakr
membacakan ayat itu, Umar jatuh tersungkur ke tanah. Kedua kakinya sudah tak
dapat menahan lagi, setelah dia yakin bahwa Rasulullah memang sudah wafat.
Orang semua terdiam setelah mendengar dan melihat kenyataan itu. Setelah sadar
dari rasa kebingungan demikian, mereka tidak tahu apa yang hendak mereka
perbuat.
Baik Umar maupun kaum
Muslimin yang ada di sekelilingnya dan yang merasa puas dengan apa yang
dikatakannya bahwa Nabi sudah wafat, kecuali mereka yang tak dapat berpikir apa
yang ada di balik itu, karena mereka dalam kebingungan setelah berita tersebut.
Tetapi mereka yang sudah yakin akan kenyataan berita itu begitu pertama kali
mereka mengetahui, tidak sampai kesedihan itu membuat mereka kehilangan akal.
2. Dilema
Kepemimpinan
Kesedihan dan duka yang
mendalam memunculkan kepanikan. Semua orang menduga-duga, siapakah kini yang
layak memimpin mereka? Siapakah manusia terbaik yang layak mereka teladani;
menusia utama yang mesti mereka taati peintahnya; hamba Allah yang paling mulia
diantara mereka? Tak ada seorang pun yang tahu. Tak ada seorang pun yang merasa
yakin, karena sang Nabi pergi tanpa meninggalkan pesan. Beliau meninggalkan
umat tanpa mengabarkan wasiat tentang siapa yang layak menjadi Sang Pengganti.
Saat
itu pendapat umat terbagi ke dalam dua arus utama, pandangan kaum muhajirin dan
Anshar. Masing-masing berpandangan, kelompok merekalah yang paling layak
memimpin seluruh umat. Tak ada yang dapat memungkiri, kedua kelompok itu
sama-sama memilki kemuliaan dan keistimewaan. Mereka adalah sahabat baik
Rasulul Muhamm Saw.
Kalangan
Muhajirin adalah orang yang paling awal mengikuti Rasulullah Saw. mereka
beriman ketika manusia lain lelap dalam kesesatan. Mereka tunduk dan patuh
kepada Rasulullah saat semua orang tenggelam dalam pengingkaran. Mereka
berjuang mendampingi Rasulullah menegakkan kebenaran. Mereka hijrah
meninggalkan harta dan sanak keluarga demi tegaknya keagungan Islam.
Dan
tak layak seorang pun meremehkan peran kaum Ansar. Merekalah para penolong
sejati. Mereka korbankan harta dan jiwa raga mereka demi kelangsungan dakwah
Islam. Mereka tak pantang berbagi dengan para pendatang yang baru mereka kenal.
Mereka berikan yang segala mereka miliki, harta, kebun, rumah bahkan istri
untuk saudara yang baru mereka temui, tanpa rasa segan dan tanpa penyesalan.
Sungguh berkat ketulusan dan perjuangan mereka, dakwah Islam menyebar ke
saentero Jazirah.
3. Pertentangan
Klasik Muhajirin dan Ansar
Keadaan Medinah sudah stabil
di tangan Rasulullah dan agama pun sudah merata ke seluruh daerah. Tetapi
setelah Nabi tiada, ke tangan siapakah semua itu harus berpindah, sementara
pengaruh Rasulullah sudah meluas ke kawasan Arab yang lain setelah mereka
menganut Islam dan sesudah Ahli Kitab yang tetap pada agama masing-masing
bersedia membayar jizyah? Masih akan berlanjutkah pengaruh Medinah itu? Kalau
ya, siapakah dari penduduk kota itu yang akan memegang tanggung jawab?
Golongan Ansar penduduk
Medinah pernah marah kepada kaum Muhajirin, karena pertama kali mereka datang
sebagai tamu bersama Rasulullah, kaum Ansar jugalah yang memberi tempat
perlindungan dan membela mereka. Setelah sekarang mereka dalam keadaan aman
mereka mau menguasai sendiri keadaan. Demikian perasaan mereka pada masa Nabi,
dan sudah wajar apabila setelah Nabi wafat hal ini akan jelas naik ke
permukaan. Bahkan pada masa Nabi pun pernah terasa juga, yakni setelah Mekah
dibebaskan dan sesudah perang Hunain dan Ta'if. Tindakan Muhammad memberikan
rampasan perang yang cukup banyak kepada golongan mualaf penduduk Mekah telah menjadi bahan
pembicaraan kalangan Ansar: "Rasulullah telah bertemu dengan masyarakatnya
sendiri," kata mereka.
Setelah hal ini disampaikan
kepada Nabi, dimintanya Sa'd bin Ubadah — pemimpin Khazraj — mengumpulkan
mereka. Sesudah mereka berkumpul kata Nabi kepada mereka:
"Saudara-saudara kaum Ansar. Ada desas-desus
disampaikan kepadaku, yang merupakan perasaan yang ada dalam hati kamu terhadap
diriku, bukan? Bukankah kamu dalam kesesatan ketika aku datang lalu Allah
membimbing kamu? Kamu dalam kesengsaraan lalu Allah memberikan kecukupan kepada
kamu, kamu dalam permusuhan, Allah raempersatukan kamu?"
Mendengar itu Ansar hanya
menekur, dan jawaban mereka hanyalah:
"Ya benar. Allah dan Rasulullah juga yang lebih
bermurah hati."
Nabi bertanya lagi: "Saudara-saudara Ansar, kamu tidak menjawab
kata-kataku!"
Mereka masih menekur, dan
tak lebih hanya mengatakan:
"Dengan apa harus kami jawab, ya Rasulullah? Segala
kemurahan hati dan kebaikan ada pada Allah dan Rasul-Nya juga."
Mendengar jawaban itu
Rasulullah berkata lagi:
"Ya, sungguh, demi Allah. Kalau kamu mau, tentu
kamu masih dapat mengatakan — kamu benar dan pasti dibenarkan — "Engkau (Nabi) datang kepada kami didustakan orang, kamilah yang
mempercayaimu; engkau ditinggalkan orang, kamilah yang menolongmu; engkau
diusir, kamilah yang memberimu tempat; engkau dalam sengsara, kami yang
menghiburmu."
Kata-kata itu diucapkan oleh
Nabi dengan jelas sekali dan penuh keharuan. Kemudian katanya lagi.
"Kamu marah, Saudara-saudara Ansar, hanya
karena sekelumit harta dunia yang hendak kuberikan kepada orang-orang yang
perlu diambil hatinya agar mereka sudi masuk Islam, sedang keislamanmu sudah
dapat dipercaya. Tidakkah kamu rela Saudara-saudara Ansar, apabila orang-orang
itu pergi membawa kambing, membawa unta, sedang kamu pulang membawa Rasulullah
ke tempat kamu? Demi Dia Yang memegang hidup Muhammad! Kalau tidak karena
hijrah, tentu aku termasuk orang Ansar. Jika orang menempuh suatu jalan di celah
gunung, dan Ansar menempuh jalan yang lain, niscaya aku akan menempuh jalan
Ansar. Allahumma ya Allah, rahmatilah orang-orang Ansar, anak-anak Ansar dan
cucu-cucu Ansar."
Begitu terharu orang-orang
Ansar mendengar kata-kata Nabi yang keluar dari lubuk hati yang ikhlas
diucapkan dengan penuh rasa cinta dan kasih sayang, terutama kepada mereka yang
dulu pernah memberikan ikrar, pernah memberikan pertolongan dengan satu sama
saling memberikan kekuatan — sehingga orang-orang Ansar itu menangis seraya
berkata: "Kami rela dengan Rasulullah sebagai bagian
kami."
4. Di
Tangan Siapa Tampuk Kepemimpinan Umat Setelah Rasulullah
Begitu mereka mengetahui
Rasulullah sudah wafat, sangat wajar dengan perasaan yang demikian itu kaum
Ansar akan cepat-cepat berpikir mengenai kota mereka. Adakah orang-orang
Medinah dan orang-orang Arab itu akan diurus oleh kaum Muhajirin, yang ketika
tinggal di Mekah dulu mereka masih lemah, tak ada tempat berlindung, tak ada
pembelaan sebelum mereka diangkat oleh Medinah, ataukah akan diurus oleh
penduduk Medinah sendiri, yang seperti kata Rasulullah ia datang kepada mereka
didustakan orang, lalu mereka yang mempercayainya, ia ditinggalkan orang,
mereka yang menolongnya, ia diusir mereka yang memberi tempat dan ia sengsara
mereka yang menghiburnya.
Beberapa orang dari kalangan
Ansar membicarakan masalah ini. Mereka lalu berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah. Ketika
itu Sa'd sedang sakit di rumahnya. Oleh mereka diminta keluar sebagai orang
yang akan menentukan pendapat di kalangan Ansar. Setelah mendengar laporan itu
ia berkata kepada anaknya atau kepada salah seorang sepupunya: "Karena sakitku ini kata-kataku tak akan
terdengar oleh khalayak itu
semua. Tetapi teruskanlah kata-kataku biar terdengar oleh
mereka."
5. Pidato
Provokasi Sa’d
di Saqifah
dan Sikap Ansar
Ia tak berpidato sendiri,
namun seorang menjadi penyambung lidahnya kepada hadirin di Saqifah. Setelah
mengucap syukur dan pujian kepada Allah dia berkata:
"Saudara-saudara Ansar, kamu adalah orang-orang
terkemuka dalam agama dan yang mulia dalam Islam, yang tak ada pada
kabilah-kabilah Arab yang lain. Muhammad 'alaihis-salam selama sekitar sepuluh
tahun di tengah-tengah masyarakatnya itu mengajak mereka beribadah kepada
Allah, dan menjauhi penyembahan berhala, tetapi hanya sedikit saja dari mereka
yang beriman. Mereka tidak mampu melindungi Rasulullah atau mengangkat
kedudukan agama, juga mereka tak dapat membela diri mereka sendiri dari
kezaliman lawan yang sudah begitu merajalela. Karena Allah menghendaki kamu
menjadi orang yang bermartabat, maka kamu telah diberi kehormatan dan
kenikmatan. Karunia Allah kepada kamu ialah kamu telah beriman kepada-Nya dan
kepada Rasul-Nya, dapat memberikan perlindungan kepadanya dan kepada
sahabat-sahabatnya,sama-sama mendukungnya dalam mengangkat martabat serta
memperkuat agamanya, berjuang menghadapi musuh-musuhnya. Kamu adalah
orang-orang yang paling keras menghadapi musuhnya itu, baik yang datang dari
dalam kalangan kamu ataupun dari luar. Sampai akhirnya kawasan Arab itu mau tak
mau tunduk kepada perintah Allah, sampai ke tempat yang jauh semua tunduk
menyerah, sehingga Allah memberikan kemenangan kepada Rasulullah. Dengan pedang
kamu orang-orang Arab itu tunduk kepadanya. Dengan kehendak Allah Rasulullah
sekarang telah berpulang ke sisi-Nya, dengan senang hati terhadap kamu sekalian,
Oleh karena itu Saudara-saudara, pertahankanlah kekuasaan ini di luar orang
lain, karena itu memang hak kamu, bukan hak orang lain."
Para
Ansar yang hadir, mengamini hal itu. Namun, mereka masih mendiskusikan dan
tidak segera melakukan pembaiatan kepada Sa’d.
Di antara mereka masih ada yang berkata: "Kalau kaum Muhajirin
Quraisy itu menolak lalu mereka berkata "Kami adalah kaum Muhajirin,
sahabat-sahabat Rasulullah yang mulamula,kami masih sesuku dari keluarga
dekatnya, lalu dengan apa harus kita hadapi mereka dalam hal ini?"
Kata-kata ini mendapat
perhatian hadirin. Mereka berpendapat ini benar juga. Tadinya menurut anggapan
sebagian mereka sudah tak dapat dibantah. Ketika itulah ada sekelompok orang
berkata: "Kalau begitu, kita bisa mengatakan, dari kita seorang amir dan dari kamu seorang amir. Di luar ini kami samasekali tidak
setuju."
6. Kedatangan
dan Hasil Pertemuan Muhajirin di Saqifah
Sementara Ansar masih di
Saqifah Banu Sa'idah bertukar pikiran antara sesama mereka yang ingin memegang
kekuasaan di kawasan Arab itu, Umar bin Khattab, Abu Ubaidah bin Jarrah dan
beberapa kalangan terkemuka Muslimin lainnya dan yang awam, sedang sibuk membicarakan
kematian Rasulullah. Ketika itu Abu Bakr, Ali bin Abi Talib dan keluarga Nabi
yang lain sedang berada di sekeliling jenazah, menyiapkan segala sesuatunya
untuk pemakaman.
Umar, setelah yakin benar
bahwa Nabi memang sudah wafat, mulai berpikir apa yang akan terjadi sesudah
itu. Tak terlintas dalam pikirannya bahwa pihak Ansar sudah lebih dulu berpikir
ke arah itu, atau mereka ingin menguasai keadaan di luar yang lain. Dalam at-Tabaqat Ibn Sa'd mengatakan: "Umar
mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah dengan mengatakan: 'Bentangkan tanganmu akan
kubaiat engkau. Engkaulah orang kepercayaan umat ini atas dasar ucapan
Rasulullah. Abu Ubaidah segera menjawab: "Sejak engkau masuk Islam tak
pernah kau tergelincir. Engkau akan memberikan sumpah setia kepadaku padahal
masih ada Abu Bakr?'"
Sementara mereka sedang
berdialog demikian itu, berita tentang Ansar serta pertemuan mereka di Saqifah
Banu Sa'idah sampai kepada Umar dan kawan-kawan. Umar mengutus orang menyusul
Abu Bakr di rumah Aisyah dan memintanya segera datang. Abu Bakr mengatakan kepada
utusan itu: Saya sedang sibuk. Tetapi Umar menyuruh kembali lagi utusan itu
dengan pesan kepada Abu Bakr: "Ada suatu kejadian penting memerlukan
kedatanganmu."
Dengan penuh keheranan Abu
Bakr datang menemui Umar. Ada persoalan apa meminta ia datang sampai harus
meninggalkan persiapan jenazah Rasulullah. "Engkau tidak tahu," kata
Umar kemudian, "bahwa Ansar sudah berkumpul di Saqifah Banu Sa'idah.
Mereka ingin menyerahkan pimpinan ini ke tangan Sa'd bin Ubadah. Ucapan yang
paling baik ketika ada yang mengatakan: Dari kami seorang amir dan dari Kuraisy seorang amir." Mendengar itu, tanpa ragu lagi Abu Bakr
bersama Umar berangkat cepat-cepat ke Saqifah disertai juga oleh Abu Ubaidah bin Jarrah.
Bagaimana ia akan ragu
sedang masalah yang dihadapinya kini masalah Muslimin dan hari depannya, bahkan
masalah agama yang telah diwahyukan kepada Muhammad serta masa depannya juga.
Dalam- mengurus jenazah Rasulullah sudah ada keluarganya, mereka yang akan
mempersiapkan pemakaman. Maka sebaliknya ia dan kedua sahabatnya itu pergi ke Saqifah. Ini sudah menjadi kewajiban; suatu hal
yang tak dapat dipikulkan kepada orang lain. Tak boleh sehari pun dibiarkan
tanpa suatu tanggung jawab serta memikul beban yang betapapun beratnya,
meskipun harus dengan pengorbanan harta dan nyawa.
Dalam perjalanan ketiga
orang itu bertemu dengan Asim bin Adi dan Uwaim bin Sa'idah yang lalu berkata
kepada mereka: "Kembalilah, tak akan tercapai apa yang kamu
inginkan." Dan setelah mereka berkata: "Jangan mendatangi mereka,
selesaikan saja urusanmu." "Tidak! Akan kami datangi mereka!"
jawab Umar.
Tatkala ketiga orang itu
tiba, pihak Ansar masih berdiskusi, belum mengangkat Sa'd, juga belum mengambil
suatu keputusan mengenai kekuasaan itu. Seperti menyesali keadaan, orang-orang
Ansar itu terkejut melihat kedatangan mereka bertiga. Orang-orang Ansar
berhenti bicara. Di tengah-tengah mereka ada seorang laki-laki berselimut, yang
oleh Umar bin Khattab ditanya siapa orang itu.
"Ini Sa'd bin Ubadah,
sedang sakit," jawab mereka.
Abu Bakr dan kedua kawannya
itu juga duduk di tengah-tengah mereka dengan pikiran masing-masing sudah
ditimbuni oleh pelbagai pertanyaan, apa yang akan dihasilkan oleh pertemuan
itu.
Juru bicara Ansar berdiri
memuji Allah, kemudian berkata, “kita adalah para penolong (Ansar) Allah dan
memelihara Islam, dan kalian –kaum Muhajirin- adalah kaum yang besar, namun
sebagian kecil kaummu telah menyimpang, mereka ingin mengucilkan kami dari asal
kami dan menyingkirkan kami dari hak kekhalifahan.”
Umar terlihat gelisah
mendengar ucapan orang Ansar itu. Ia ingin berbicara membantah pandangan mereka
tentang Muhajirin. Pikirannya berkecamuk. Namun, Abu Bakar yang mengetahui hal
itu memegang pundaknya dan berkata, “diam saja jangan bicara apa-apa.”
Umar tak dapat berbuat
apa-apa. Ia biarkan Abu Bakar angkat bicara. Umar menceritakan apa yang terjadi
berikutnya, “Abu Bakar bangkit berbicara di hadapan kaum Ansar. Sungguh gaya
bicaranya lebih lembut dan santun daripada aku. Demi Allah setiap pikiran yang
ingin kusampaikan untuk membalas pembicara Ansar tadi, Abu Bakar
menyampaikannya dengan cara yang lebih baik.”
Semua orang terdiam saat Abu
Bakar berbicara. Ia mengawali kata-katanya dengan pujia dan sanjungan kepada
kaum Ansar. “Kebaikan yang kalian sebutkan tentang Ansar sama sekali tidak
salah. Namun ketahuilah, kekhalifahan peling layak dipegang oleh orang Quraisy
yang mulia. Ia adalah seorang Arab yang mulia dari sisi keturunan dan keluarga.
Sungguh aku rela jika kekhalifahan dipegang oleh salah seorang dari dua orang
yang mulia ini. Berbaiatlah kepada salah seorang di antara keduanya sesuai
dengan keinginan kalian,” ujar Abu Bakar sambil memeganfg tangan Umar dan Abu
Ubaidah bin al-Jarrah yang duduki di sisinya. Keduanya bangkit berdiri untuk
dibaiat. Namun Umar berkata menanggapi ucapan Abu Bakar, “Sungguh aku menyukai
ucapan Abu Bakar kecuali bagian tentang diriku. Demi Allah, seandainya saat ini
aku dibunuh dan mati, itu lebih kusukai di banding harus memimpin suatu kaum
yang di dalamnya ada Abu Bakar.”
Lalu Umar berteriak lantang
melanjutkan perkataannya, “Hai Abu Bakar, bentangkan tanganmu.” Saat Abu Bakar
membentangkan tangannya, Umar langsung membaiatnya. Orang-orang diam terkesima.
Namun hanya sekejapan. Tindakan umar itu langsung diikuti kaum Muhajirin dan
kemudian tanpa keraguan kaum Ansar pun membaiat Abu Bakar.
Dikatakan oleh Muhammad
Husain Haekal dalam bukunya “Abu Bakr As-Siddiq. Sebenarnya pertemuan ini sangat penting dalam sejarah
Islam yang baru tumbuh itu. Dalam pertemuan serupa ini, kalau Abu Bakr tidak memperlihatkan
sikap tegas dan kemauan yang keras — seperti juga di kawasan Arab yang lain
—justru di kandang sendiri hampir saja agama baru ini menimbulkan perselisihan,
sementara jenazah pembawa risalah itu masih berada di dalam rumah, belum lagi
dikebumikan.
Andaikata pihak Ansar tetap
bersikeras akan memegang tampuk pimpinan sesuai dengan seruan Sa'd bin Ubadah,
sedang pihak Quraisy sebaliknya tidak mau menyerahkannya kepada pihak lain, maka
dapat kita bayangkan, betapa jadinya Medinah Rasulullah ini akibat tragedi pemberontakan
itu kelak! Betapa hebatnya ledakan pemberontakan bersenjata itu sementara
pasukan Usamah masih berada di tengah-tengah mereka, terdiri dari kaum
Muhajirin dan Ansar, masing-masing sudah bersenjata lengkap, sudah dengan baju
besi dan sudah sama-sama siap tempur!
”. Andaikata kaum Muhajirin yang hadir di
Saqifah itu bukan Abu Bakr, bukan Umar dan bukan Abu Ubaidah, melainkan
orang-orang yang belum punya tempat dalam hati segenap kaum Muslimin seperti pada
kedua wazir (pendamping) Rasulullah dan orang-orang
kepercayaan umat ini, niscaya timbul perselisihan hebat antara mereka dengan Ansar,
niscaya berkecamuk pertentangan.antara kaum Muslimin dengan segala akibatnya —
yang sampai sekarang belum terpikirkan oleh para sejarawan — dan niscaya
sebagian besar yang hadir dalam pertemuan Saqifah itu tak akan berhenti hanya
pada peristiwa dan pertukar pikiran yang berakhir dengan dilantiknya Abu Bakr
itu saja. Tetapi mereka yang dapat menilai peristiwa itu sebagaimana mestinya
akan melihat pengaruh pertemuan bersejarah itu dalam sejarah Islam, seperti
pada waktu Ikrar Aqabah dan pada hijrah Rasulullah dari Mekah ke Medinah.
Orang akan melihat bahwa
sikap Abu Bakr menghadapi situasi itu adalah sikap seorang politikus, bahkan
seorang negarawan yang punya pandangan jauh, yang dapat memperhitungkan
hasil-hasil dan segala kemungkinannya, dengan terus mengarahkan segala usahanya
dengan tujuan hendak mencapai yang baik dan mencegah bahaya dan segala yang
buruk.
C. REPUTASI
KHALIFAH ABU BAKAR
Abu
Bakar ash-Shiddiq ra. adalah sahabat yang pertama kali masuk Islam, dan selalu
menyertai Rasulullah sepanjang hidupnya baik di Makkah maupun di Madinah. Tidak
hanya itu, beliau adalah sahabat Rasulullah saw. sekaligus teman bermusyawarah
dan wazirnya. Di tangannya para senior sahabat masuk memeluk Islam seperti
Usman bin Affan, az-Zubair bin al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa'ad bin Abi
Waqqash, dan Thalhah bin Ubaidillah.26 Setia mendampingi Rasulullah saw. dalam
menghadapi berbagai macam halangan dan rintangan, siap membela beliau dengan
sepenuh jiwa, bahkan beliau pula yang telah membebaskan banyak budak-budak yang
di siksa karena masuk Islam seperti Bilal, Amir bin Fuhairah, Ummu Ubaisy.
Zinnirah, Nahdiyyah dan kedua putrinya, serta budak wanita milik Bani Muammal27
Beliaulah yang menemani Nabi di kala hijrah, dan turut serta dalam setiap peperangan
bersama Rasulullah saw. seperti Badar, Uhud, Khandaq, Hudaibiyyah, Penaklukan
kota Makkah, Hunain, Tabuk dan pertempuran besar lainnya.
Setelah menjabat sebagai khalifah
maka beliaulah yang bertugas dan bertanggung jawab terhadap seluruh negeri
Islam dan wilayah kekhalifahannya sepeninggal Rasulullah saw. meskipun masa
pemerintahannya sangatlah singkat, hanya berkisar 2 tahun 3 bulan.
Namun, walaupun berjangka pendek maka tercatat sejumlah reputasi beliau yang
gemilang di antaranya:
1. Melanjutkan
Misi Pasukan Usamah
Sebelumnya Rasulullah saw.
telah memerintahkan pasukan Usamah agar berjalan menuju tanah al-Balqa yang
berada di Syam, persisnya di tempat terbunuhnya Zaid bin Haritsah, Ja'far dan
Ibnu Rawahah. Dengan misi agar pasukan Usamah segera menaklukkan wilayah
tersebut. Maka berangkatlah pasukan Usamah ke Jurf dan mendirikan perkemahan di
sana. Di antara pasukan tersebut terdapat Umar bin al-Khaththab dan ada pula
yang me-ngatakan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. turut pula di situ, namun Rasulullah
saw. mengecualikannya agar menjadi imam shalat.
Ketika Rasulullah saw. sakit
mereka masih berdiam di Jurf, persis setelah Rasulullah saw. wafat maka menjadi
keadaan kacau balau. Kemunafikan mulai kelihatan di Madinah. Bahkan tidak
sedikit dari suku-suku Arab sekitar Madinah yang murtad keluar dari Islam.
Ditambah lagi sebagian dari mereka tidak mau membayar zakat kepada Abu Bakar
ash-Shiddiq ra.. Dan ketika itu shalat Jum'at tidak lagi didirikan kecuali di
Makkah dan Madinah. Tersebut-lah sebuah kota yang bernama Juwatsan di Bahrain,
kota ini termasuk kota yang pertama kali yang mendirikan Jum'at setelah situasi
agak tenang dan orang-orang kembali kepada kebenaran, sebagaimana yang
termaktub dalam Shahih al-Bukhari.
Di antara negeri yang tetap
istiqamah di atas Islam adalah negeri Tsaqif di Thaif, mereka tidak lari dan
tidak pula murtad. Ketika berbagai masalah besar ini terjadi, banyak
orang-orang mengusulkan kepada Abu Bakar agar menunda keberangkatan pasukan
Usamah, karena umat membutuhkan mereka untuk mengatasi masalah yang lebih
pentíng. Dengan alasan bahwa pasukan yang disiapkan nabi tersebut sebelumnya di
persiapkan ketika negera Islam Madinah dalam kondisi aman. Termasuk di antara
orang-orang yang mengajukan usul tersebut adalah Umar, ia mengusulkan penundaan keberangkatan
pasukan Usamah
itu. Namun Abu Bakar ash-Shiddiq ra.
dengan tegas menolak sarán tersebut.
Hal ini dilakukan Abu Bakar
sebagai usaha untuk menampakkan kepada semua pihak bahwa kekuatan Islam masih
tetap kokoh dan sulit dikalahkan baik secara material maupun spiritual.
Ternyata pasukan ini memetik kemenangan yang sangat gemilang. Kemenangan ini telah
membuat banyak orang kokoh berpegang kepada agama Islam.
2. Kebijakannya
Memerangi Kaum Murtad
Sebagaimana di atas disebutkan ketika Rasulullah saw.
wafat maka orang-orang Arab murtad, Yahudi dan Nasrani menampakkan taringnya, sementara
kemunafikan mulai tersebar, kaum muslimin ibarat domba yang kucarkacir diguyur
hujan lebat pada malam yang pekat dan dingin. Sebagian orang murtad ini kembali
kepada kekufuran lamanya dan mengikuti orang-orang yang mengaku nabi, sebagian
yang lain hanya tidak mau membayar zakat.
Para sahabat menasihati Abu Bakar agar dia tidak
memerangi mereka karena kondisi umat Islam yang sngat sulit dan karena sebagian
pasukan islam sedang diberangkatkan untuk berperang melawan tentara Romawi yang
dipimpin oleh Usamah bin Zaid. Namu Abu Bakar menolak usulan mereka, dia
mengatakan sebuah perkataan yang sangat masyhur, “Demi Allah, andaikan mereka
tidak menyerahkan tali unta yang pernah mereka serahkan kepada Rasulullah,
pasti aku berjihad melawan mereka.”
Dan akhirnya Abu Bakar berhasil menyatukan mereka
kembali.
3. Ekspansi
Islam
Perang melawan orang-orang
murtad berakhir. Namun tak ada pilihan lain kecuali melanjutkan jihad.
Sedangkan, musuh pemerintahan Islam saat itu adalah Persia dan Romawi. Keduanya
adalah kekaisaran terbesar pada masa itu. Untungnya keduanya selalu terlibat sengketa
yang sengit. Kondisi inilah yang memudahkan ihad Muslimin. Mereka menyerbu
kedua kekaisaran itu pada saat yang bersamaan.
a. Di
Wilayah Timur (Persia)
Persia mendominasi wilayah
yang sangat luas yang meliputi Irak, bagian utara jazirah Arab. Di samping itu,
sejumlah besar kabilah-kabilah Arab juga tunduk di bawah kekuasaan mereka.
Kabilah-kabilah ini bekerja dengan dukungan dari kaisar Persia.
Untuk melakukan jihad di
tempat itu, Abu Bakar mengangkat Khalid bin Walid dan Mutsanna bin Haritsah
sebagai panglima. Mereka mampu memenangkan peperangan dan membuka Hirrah serta
beberapa kota di Irak. Di antaranya adalah Anbar, Daumatul Jandal, Faradh, dan
yang lainnya. Setelah itu khalifah Abu Bakar memerintahkan kepada Khalid bin
Walid untuk bergabung dengan pasukan Islam yang ada di Syam.
b. Di
Wilayah Barat (Romawi)
Abu Bakar memberangkatkan
pasukan-pasukan Islam berikut ini.
1. Pasukan di bawah pimpinan
Yazid bin Abu Sufyan ke Damaskus.
2. Pasukan di bawah pimpinan
‘Amr bin Ash ke Palestina.
3. Pasukan di bawah pimpinan
Syahrabil bin Hasanah ke Yordania.
4. Pasukan di bawah pimpinan
Abu Ubaidah ibnul-Jarrah ke Hims.
4. Jam’ul Qur’an (pengumpulan al-Qur'an)
Satu kerja besar yang dilakukan pada maa pemerintahan Abu
Bakar adalah penghimpunan al-Qur’an. Ibnu Katsir berkata, Pada tahun 12 H Abu
Bakar ash-Shiddiq ra. memerintahkan Zaid bin Tsabit agar mengumpulkan al-Qur'an
dari berbagai tempat penulisan, baik yang ditulis di kulit-kulit, dedaunan,
maupun yang dihafal dalam dada kaum muslimin.
Peristiwa itu terjadi setelah para Qari' penghafal
al-Qur'an banyak yang terbunuh dalam peperangan Yamamah, sebagaimana yang
disebutkan dalam kitab Shahih al-Bukhari.
Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk menjaga kelestarian
al-Qur’an. Sejak itulah al-Qur’an dikumpulkan dalam satu mushaf. Inilah untuk
pertama kalinya al-Qur’an dihimpun atas usulan Umar.
5. Pembentukan
Perangkat Kepemerintahan dan Baitul Mal
Sebelum Abu Bakar diangkat sebagai khalifah, profesi
beliau dalam mencari nafkah adalah seorang pedagang, setelah dilantik sebagai
khalifah maka sebagaimana biasanya beliau berangkat ke pasar untuk berdagang,
dijalan beliau bertemu dengan umar bin al-Khaththab dan Abu Ubaidah bin
al-Jarrah, keduanya menghampirinya dan berkata, "Profesimu sebagai
pedagang kini sudah tídak sesuai lagi sejak engkau mengemban amanat yang amat
besar ini." Abu Bakar ash-Shiddiq ra. menjawab, "Jika tídak dengan
berdagang seperti ini bagaimana aku dapat menghidupi anak istriku?"
Keduanya menjawab, "Mari ikut kami agar kami siapkan untukmu gaji."
Maka sejak itu Abu Bakar diberi upah setengah kambing dan
dijamin baginya pakaian beserta sandang pangan, Umar berkata, Biarlah aku yang mengurusi
masalah qadha (peradilan), selanjutnya Abu Ubaidah
berkata, "Serahkan kepadaku urusan pajak." Umar berkata, "Sejak
aku menjabat sebagai Qadhi di peradilan, selama sebulan penuh aku duduk
menganggur tídak satupun terjadi persengketaan antara dua orang."
Dan yang menjadi sekretaris
dan juru tulisnya adalah Zaid bin Tsabit, Usman bin Affan atau siapa yang hadir
ketika itu di sisinya.
Adapun gubernur untuk wilayah Makkah adalah Itab bin
Sa'id, untuk wilayah Tha'if adalah Usman bin Abi al-Ash, untuk wilayah adalah
Shan'a Muhajir bin Abi Umayyah, untuk wilayah Hadramaut adalah Ziyad bin
Lubaid, untuk wilayah Khaulan adalah Ya'la bin Umayyah, untuk wilayah Zubeid
dan Rima' adalah Abu Musa al-Asy'ari, untuk wilayah al-Janad adalah Mu'adz bin
Jabal, untuk wilayah Bahrain adalah ai-Ala' bin al-Hadrami. Beliau juga
mengutus Jabir bin Abdillah al-Bajalli ke Najran, Abdullah bin Tsaur -salah
seorang dari Bani al-Ghauts- diutus ke daerah Jurasy, kemudian beliau mengutus
Iyadh bin Ghanm al-Fahri ke Daumatul Jandal, wilayah Syam diserahkan kepada Abu
Ubaidah bin al-Jarrah, Syarahbil bin Hasanah, Yazid bin Abu Sufyan, Amru bin
al-Ash, seluruhnya adalah pemimipin pasukan di bawah satu komandan yaitu Khalid
bin Walid.
Ketika itu Abu Bakr belum mendirikan baitul mal secara
independen, melainkan hanyalah mengambil sebuah kamar kecil di rumahnya yang
berada di Sunuh, ketika salah seorang sahabat berkata padanya, "Tidakkah
engkau memerlukan penjaga Baitul mal tersebut?" Dia menjawab, "Tidak,
sebab kamar tersebut memiliki gembok yang terkunci. Namun ketika beliau pindah
ke rumahnya yang di samping masjid Nabawi maka beliau harus memindahkan baitul mal
tersebut ke sana. Ketika Abu Bakar wafat, maka Umar membuat para penjaga baitul
mal secara khusus, ketika baitul mal di buka tenyata mereka tidak menemukan
apapun.
D. WAFATNYA
Abu
Bakar ash-Shiddiq ra. wafat pada hari senin di malam hari, ada yang mengatakan
bahwa Abu Bakar wafat setelah Maghrib (malam selasa) dan dikebumikan pada malam
itu juga yaitu tepatnya 8 hari sebelum berakhirnya bulan Jumadil Akhir tahun 13
H, setelah beliau mengalami sakit selama 15 hari. Pada waktu itu Umar
menggantikan posisinya sebagai imam kaum muslimin dalam shalat. Ketika sakit
beliau menuliskan wasiatnya agar tampuk pemerintahan kelak diberikan kepada
Umar bin al-Khaththab, dan yang menjadi juru tulis waktu itu adalah Usman bin
Affan, Setelah surat selesai segera dibacakan kepada segenap kaum muslimin, dan
mereka menerimanya dengan segala kepatuhan dan ketundukan.
Tatkala
Abu Bakar merasa bahwa kematiannya telah dekat dan sakitnya semakin parah, dia
ingin untuk memberikan kekhalifahan kepada seseorang sehingga diharapkan
manusia tidak banyak terlibat konflik. Maka, jatuhlah pilihannya kepada Umar
bin Khathab. Dia meminta pertimbangan sahabat-sahabat senior. Mereka semua
mendukung pilihan Abu Bakar. Maka dia pun menuliskan wasiat untuk itu, lalu dia
membaiat Umar. Bebeapa hari setelah itu Abu Bakar meninggal.
Masa kekhalifahannya
berjalan selama 2 tahun 3 bulan38, dan beliau wafat pada usia 63 tahun39 persis
dengan usia Nabi, akhirnya Allah mengumpulkan jasad mereka dalam satu tanah,
sebagaimana Allah mengumpulkan mereka dalam kehidupan. Sebelum wafat beliau
telah mewasiatkan agar seperlima dari hartanya disedekahkan sembari
berkata,"Aku akan menyedekahkan hartaku sejumlah yang Allah ambil dari
harta fai' kaum muslimin.
PENUTUP
Saran
Sungguh kehidupan Abu Bakar
begitu penuh dengan ibarat, penuh dengan nasihat, penuh dengan ajaran dan
banyak hal yang bisa dan harus kita teladani. Kita di jaman yang penuh dengan
kecurangan pemerintah ini, sangat mengharapkan sosok pemimpin-pemimpin seperti
Abu Bakar.
Namun kita jangan hanya berhenti
untuk terus berharap Allah mengutus seorang pemimpin yang luar biasa seperti
Abu Bakar dan sahabatnya. Tetapi, mulailah desain diri kita sendiri untuk
menjadi seorang pemimpin itu, walau hanya untuk memimpin diri kita sendiri.
“Maju tak gentar membela yang benar”.
DAFTAR PUSTAKA
Sa'd
bin Ubadah adalah pemimpin Khazraj yang sudah mereka calonkan untuk memegang
pimpinan Muslimin sesudah Rasulullah.
Saqifah,
'serambi beratap' (A) (LA) atau 'ruangan besar beratap' (LA), semacam
balairung.