Di Institute Pertanian Bogor (IPB), gerakan Islam radikal yang masuk melalui organisasi
mahasiswa sudah dirasakan oleh Zimamul Adli, aktivis Keluarga Mahasiswa
Nahdlatul Ulama (KMNU) ITB yang menjadi pembicara pada seminar Nasional
bertajuk "Dakwah Online Kalangan Masyarakat Menengah" di Pondok
Pesantren As-salafiyyah, Bode Lor, Plumbon, Cirebon, Jawa Barat (19/12/2015)
dalam rangkaian acara Forum Silaturrahim Nasional (FORSILATNAS) ke-5
Persaudaraan Profesional Muslim (PPM) Aswaja.
Dalam kesempatan tersebut, Zimam menuturkan strategi
dakwah di kampus yang tidak bisa dan memang tidak boleh berhadap-hadapan
langsung dengan aktivis radikal semacam HTI, KAMMI dan lainnya.
Menurutnya, di IPB, tidak ada dosen yang
terang-terangan mengaku kalau dia berafiliasi kepada organisasi Aswaja
Nahdlatul Ulama. Sekali ngaku, gampang "habis semua" dalam tempo
secepatnya. Karena organisasi mahasiswa yang sudah menguasai kampus, sistem
sudah ditutup rapat untuk kalangan sarungan seperti Zimam.
"Di kampus, kita tidak boleh menggunakan strategi
provokatif. Dulu sarung dan kopyah (peci) tidak pernah dikenakan anak kampus.
Namun karena kita keseringan posting di Facebook, menggunakan pakaian sarung
pergi ke kampus, kini bisa lebih diterima. Bahkan, ketika mengadakan acara pun,
yang bekerjasama dengan KAMMI, kita menggunakan istilah do'a bersama. Padahal
isinya ya tahilan. Mereka menerima dan tidak ada yang menuduh negatif karena
judul bacaan tahlil di lembaran dzikir yang dibagikan ke mereka, kita hapus.
Ini artinya, mereka itu hanya mengikuti apa yang didapatkan. Mereka tidak
terlalu paham dengan yang mereka yakini," tegas Zimam.
Cerita Zimam tentu tidak akan dijumpai jika para
mahasiswa -calon masyarakat menengah itu,- sejak sekolah mendapatkan pemahaman
memadai tentang ajaran-ajaran Islam yang ramah, rahmat tanpa marah. Chasan
Habibie yang dalam seminar itu mewakili Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
memberikan data survei dari Setara Institute.
Dia menuturkan, jika setengah dari jumlah pelajar di
Jakarta ternyata mengamini pemahaman Islam radikal sebagaimana konsisten telah "difitnah-hoax"kan
oleh situs-situs radikal yang rajin mencuci otak pembaca. Parahnya, kata
Chasan, satu dari 14 pelajar SMA di Jakarta setuju dengan gerakan ISIS menurut
penelitian itu.
"Bayangkan bila di Indonesia ada 14 juta siswa,
berarti ada 1 juta siswa kita di SMA yang setuju dengan gerakan ISIS. Ini akan
lebih mengkhawatirkan jika data ini masih konsisten hingga 5 atau 10 tahun
mendatang. PPM Aswaja untuk dakwah online saya kira sudah memberikan dampak
walaupun saya katakan belum menjadi pemenang sepenuhnya. Survei Setara ini
sudah menjadi keprihatinan tersendiri oleh Pak Mendikbud. Dan, saya berharap
PPM menggarap di kalangan pelajar agar radikalisme tidak kian
membahayakan," tutur Chasan.
Selain itu, Dosen Institute Teknologi Surabaya (ITS),
Agus Zainal Arifin, juga memberikan pesan agar dakwah tidak berakhir pada upaya
menuduh atau menembak lawan. Sekarang ini, kata Agus, ada kecenderungan dakwah
tanpa etika.
"Para wali itu kalau memberikan keterangan
mengajak selalu akhirnya positif. Sunan Kudus melarang orang Islam menyembelih
sapi untuk menghormati, bukan menembak lawan," katanya.
Jika dakwah sudah demikian strategis namun tidak ada
yang mau mendekat, maka jangan dipaksa. Agus mencontohkan Tahlilan. Menurut
Agus, tidak semua orang menerima konsep Tahlil.
"Tahlil itu konsep penting. Menyetujui tahlilan
bagian dari keimanan berat. Iman itu kan suka-suka Allah yang diberikan kepada man
yasya' (yang dikehendaki). Soal hidayah itu yahdii man yasya' wa
yudhillu man yasya' (memberikan hidayah kepada yang dikehendaki dan
menyesatkan kepada yang dikehendaki). Sementara, jika iman sudah diterima,
termasuk soal tahlilan, orang tersebut akan mendapatkan ketentraman batin. Yang
menerima tahlilan adalah mereka yang tathmainnul qulub (yang tenang
hatinya)," terang Agus.
Anak-anak kampus IPB begitu tenang membaca tahlilan
karena hidayah datang dari strategi dakwah tanpa tuduhan dan fitnah bin hoax.
oleh : Abdalla Badri
editor : M.e. Widjaya
Bahaya gan
ReplyDelete