Friday 17 June 2016

Sholihin; Pendiri Sekolah Alam Tamatan SD



Sholihin (kanan) memamerkan miniatur rumah karya tangan muridnya yang terbuat dari limbah kardus.

Oleh: Estanu Wijaya (Ojay)
 

Satukan hati dengan alam sekitarmu........” penggalan kata yang terlontar dari lisan kalbu Sholihin.

Muhammad Sholihin Asror adalah seorang santri salaf yang hanya mengenyam pendidikan formal SD (Sekolah Dasar). Wong ndeso yang lahir di sebuah pedukuhan yang kurang memerhatikan dunia pendidikan. Masa pendidikannya ia jalani di pesantren. “Sebenarnya saya pernah masuk SMP, tapi kena DO (Drop Out) karena kebandelan saya dulu, akhirnya saya masuk pesantren,” terang pemuda berkacamata yang sedang mengenang masa lalun yang suram itu.

“Kenapa sampeyan  tidak melanjutkan di perguruan tinggi aja?,” tanya saya di sela-sela ceritanya. “Saya hanya bisa kuliah dalam imajinasi saja,” jawab pemuda berusia 24 tahun itu sambil tertawa ngakak.
Saya mengunjungi Sholihin pada hari Sabtu, 29 Maret 2014. Jalan menuju dukuh Kedempel, Harjosari, Doro, Pekalongan yang jauh dari keramaian. Kerikil dan lubang di jalanan menghiasi, kebun di kanan dan kiri meneduhi. Sinyal pun sulit didapatkan. Tak pernah terbayang sebelumnya, dengan akses yang sulit seperti ini. Sungguh melelahkan dan membuat hati resah, takut ban motor pecah.
Rumah dengan dua kamar kecil berukuran dua setengah meter persegi. Buku bacaan, berkas-berkas tulisan dan karya tangan berserakan di setiap sudut kamar, membuat kamar tampak berantakan dan sempit. Terlihat kaca rumah depan yang sudah pecah, dibalut isolasi bening yang menguning. Angin malam yang meniupkan suara jangkrik mengantarkan saya dalam tidur yang lelap.

*****

Fajar menyapa  pagi, suara adzan shubuh dan keruyuk ayam berlomba membangunkan saya dari lelapnya tidur, sisa lelah perjalanan jauh Semarang-Pekalongan. Nampaknya Sholihin sudah bangun sejak dari tadi. “Dia qiyamul lail,” dalam benakku.
Saat sinar matahari masih samar-samar, beberapa gadis belia berkerudung datang ke rumah mengambil sesuatu. Lalu kembali membawa sesuatu, yang kemudian saya tahu, rupanya berkas karya ilmiah dan hasil keterampilan tangan mereka. “Kita tunggu di lapangan ya pak,” seru salah satu gadis itu. Semangat sekali anak-anak itu.

Minggu, 30 Maret 2013 Jam 07.00 pagi, dari  jarak sekitar 200 meter, nampak sekumpulan anak di sebuah lapangan bola desa Harjosari. Riang. Canda-tawa terdengar sampai jarak dimana saya mengamati mereka. Menunggu Sholihin untuk menemani mereka belajar.

“Hiduplah Indonesia raya,” salah seorang murid memimpin pelantunan lagu. Pembacaan puisi, narasi, presentasi karya tangan, semuanya bertemakan alam. Keprihatinan. Kekecewaan.  Kehawatiran. Perjuangan. Semuanya mereka luapkan dalam karyanya. Keindahan karya Tuhan, lebih nampak ketika sya’ir demi sya’ir dibacakan. Subhanallah sungguh luar biasa.
Sholihin sedang menyimak pembacaan puisi tema alam dan beberapa muridnya

*****
 “Sebenarnya apa yang menginspirasi anda mendirikan sekolah alam ini?,” tanyaku usai acara sekolah alam itu.


“Dulu di Harjosari kalau pagi membuka pintu, yang tercium bau segar pepohonan, tapi sekarang yang tercium sudah bau knalpot kendaraan. Saya melihat potensi anak-anak desa yang luar biasa, mulai dari dunia tulis-menulis, keterampilan tangan dan lain-lain. Dan, Saya membaca bahasa tubuh mereka mengingatkan Harjosari tempo dulu yang masih asri,” jawab Sholihin. 

Namun dalam perjalanannya mendirikan sekolah alam, seringkali cobaan menghadang. Pernah suatu hari ia mendapatkan fitnah, dituduh sebagai teroris. “Saya pernah tertimpa fitnah. Sebagian masyarakat menduga, apa yang saya ajarkan tentang keterampilan tangan adalah pelajaran merakit bom. Saya diusir dan dicegah untuk mengajar kembali siswa-siswi SMP yang ikut belajar bersama saya. Tapi saya tetap tegar dan sabar, karena orang tua, keluarga dan muri-murid saya sangat men-support saya, padahal saya berjuang sendiri ikhlas lillahi ta’ala tanpa sepeser pun biaya yang saya minta dari mereka,” kenangnya.

Sholihin adalah sosok santri yang amat begitu tinggi perhatiannya terhadap pendidikan dan  besar cintanya terhadap lingkungan. Sehingga, selain mengisi pengajian-pengajian tafsir dan mengajar di sebuah lembaga Taman Pendidikan Qur’an (TPQ), ia juga membuat sebuah perpustakaan desa yang ia namakan Taman Baca Cerdas (TBC) dan mendirikan sebuah wadah belajar anak untuk menanamkan kecintaan mereka terhadapa alam, yang ia namakan “NGAJI ALAM”.

Tak pernah terbayangkan, ada seorang santri yang hanya berpendidikan formal SD, di usianya yang terbilang muda, ternyata mempunyai kecerdasan intelektual dan spiritual yang luar biasa. Kita yang sering memandang sebelah mata status pendidikan, telah dibuat melek olehnya. Bahwa, pendidikan bukan hanya di bangku sekolah. Pendidikan adalah bagaiamana kita bisa memperkaya pengetahuan dan bisa mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat.

Sikap Sholihin yang begitu peduli dengan lingkungan dan pendidikan, harus kita tanamkan dalam jiwa dan kepribadian kita. Kita disadarkan, bahwa sebenarnya orang yang berpendidikan tinggi, jauh lebih berkesempatan untuk lebih maju, jika dibandingkan dengan  orang yang berjenjang pendidikan rendah. “Kalau saya yang hanya tamatan SD saja bisa berbuat seperti ini. Lalu bagaimana dengan mereka yang berpendidikan tinggi? Bukan begitu?,” pungkasnya.





No comments:

Post a Comment