Thursday, 13 November 2014

Kehendak Berkuasa (will to Power) Nietzsche



Apa itu kehendak berkuasa?

Dalam bukunya Beyond Good and Evil, Nietzsche menyebutkan bahwa hakikat dunia adalah kehendak berkuasa. Dalam The Genealogy of Morals dikatakan bahwa hakikat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Begitu pun, dalam The Will to Power ia menyebutkan bahwa hakikat tedalam dari ada (being) adalah kehendak untuk berkuasa. Singkatnya, kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari dunia, hidup dan ada. Kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari segalanya.
Dari tiga kutipan buku Nietzsche yang berbeda itu, kita belum mendapatkan jawaban tentang ke-apa-an atau whatness dari ­­kehendak untuk berkuasa. Sebab dengan bertanya “apa itu...?”  kita mengharapkan pengetahuan tentang hakikat dari yang kita tanyakan. Sedang suatu hakikat yang sifatnya tetap, selalu sama dan tidak berubah.
Nietzsche menolak pertanyaan seperti ini. Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan kaum metafisisi. Mereka seolah-olah dapat membaca dunia seperti apa adanya. Padahal, menurut Nietzsche, setiap kegiatan bertanya secara filosofis adalah kegiatan penafsiran terhadap dunia (word hermeneutics). Dan yang kita peroleh dari kegiatan semacam ini adalah makna dan arti dari apa yang kita tanyakan. Di balik makna dan arti yang kita peroleh kebenarannya, menurut nietzsche, tak ada yang berarti dan bermakna.
Kehendak dalam kehendak untuk berkuasa dapat dirumuskan sebagai kekuatan yang memerintahkan (dirinya sendiri) tanpa mengandaikan pasivitas atau stabilitas. Kalau kehendak berarti kekuatan yang memerintahkan, bukankah harus ada pihak yang bersifat pasif dalam mentaati perintah itu? Mentaati menurut Nietzsche, juga dibutuhkan kekuatan memerintah diri.  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kehendak dalam kehendak berkuasa  selalu bersifat memerintah dan mentaati tanpa mengandaikan pasivitas apapun.
Gagasan kehendak berkuasa ini sebenarnya dipengaruhi oleh gagasan Schopenhauer. Mula-mula Schopenhauer menilai bahwa kehendak adalah sebuah sikap yang harus dihindari. Hal ini disebakan karena kehidupan itu tragis, berbahaya, mengerikan, dan ini semua dikedalikan oleh kehendak. Oleh karena itu jika hidup ingin lepas dari penderitaan dan nafsu-nafsu maka manusia harus menolak kehendak. Apa yang menjadi gagasan Schopenhauer seluruhnya bersifat metafisis, tetapi Nietzsche menyangkal hal itu.


Dunia adalah kehendak untuk berkuasa
Nietzsche mewarisi gagasan tentang kehendak untuk berkuasa dari pemikiran Schopenhauer. Berbeda dengan Schopenhauer, Nietzsche memakai gagasan tentang kehendak untuk berkuasa bukan sebagai prinsip metafisika melainkan hanya sebagai prinsip untuk menjelaskan atau menafsirkan dunia, karena dia hanya mengakui adanya satu dunia, yaitu dunia fenomena.
Bagi nietzsche dunia fenomenal yang berubah-ubah ini adalah satu-satunya dunia. Segala sesuatu yang terjadi adalah gejala atau penampakan atau topeng saja. Fenomena itu sendiri menurut Nietzsche, adalah kenyataan yang sejati.
Hidup adalah kehendak untuk berkuasa
Nietzsche mendefinisikan hidup sebagai “sejumlah kekuatan yang disatukan oleh suatu proses-pemeliharaan”. Yang di maksud dengan proses pemeliharaan adalah kehendak untuk mengoperasikan kekuatan-kekuatan. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan kehendak untuk berkuasa dari seluruh kekuatan yang termasuk dalam proses itu.
Berdasarkan pemahan hidup ini, Nietzsche mengakui bahwa pada prinsipnya manusia dan hewan adalah sama. Keduanya merupakan sekumpulan kekuatan (kraf) yang disatukan oleh suatu proses-pemeliharaan. Yang membedakan di antara keduanya adalah bahwa manusia mempunyai potensi untuk mengatasi diri dan mempunyai tujuan yang hanya dapat dicapai oleh manusia itu sendiri. Kedu unsur ini tidak ada dalam binatang.
Kehendak untuk berkuasa adalah hidup itu sendiri, dan bukan merupakan sesuatu yang dimiliki (possesion). kehendak untuk berkuasa tidak keluar dari ego, melainkan ego  keluar dari kehendak untuk berkuasa. Namun ego ini merupakan suatu menjadi, dan bukan merupakan suatu yang tetap.
Tujuan hidup adalah menyadari kenyataan bahwa hakikat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Dengan kata lain, tujuan hidup adalah berkata “Ya” bahwa hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Dan di sanalah orang merasa bahagia. Sebab menurut Nietzsche kebahagiaan adalah “perasaan akan bertambahnya kekuasaan”. Tujuan hidup itu “bukan kepuasan, melainkan untuk menjadi lebih berkuasa; sama sekali bukan kedamaian, melinkan perang”. Lebih lanjut Nietzsche menulis:
“hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan dirimu sendiri!”

Kehendak  untuk berkuasa dalam pengetahuan
Bagi Nietzsche tujuan pengetahuan bukanlah untuk mengetahui kebenaran mutlak, melainkan untuk menguasai kenyataan. Nietzsche tidak mengakui adanya kebenaran mutlak. Bagi Nietzsche kebenaran adalah kekeliruan yang tidak terbantah dan tidak boleh tidak harus diterima oleh manusia guna meningkatkan kehendaknya untuk berkuasa. Apa yang telah dicapai oleh para pemikir dalam sepanjang sejarah tidak lebih daripada kekeliruan-kekeliruan. Namun, kekeliruan ini diterima sebagai kebenaran, karena telah terbukti berguna dan membantu untuk mempertahankan hidup dan menguasai kenyataan.
Menurut Nietzsche, kriteria kebenaran adalah semakin tingginya kesadaran orang akan adanya kekuatan. Tingginya kekuatan ini dapat dilihat dari sudut perasaan, pikiran, indera:
“Dari sudut pandang perasaan: [kebenaran adalah] apa yang menggugah perasaan secara kuat (“ego”).
Dari sudut pandang pikiran: [kebenaran adalah] apa yang memberikan kepada pikiran perasaan yang paling kuat akan adanya kekuatan.
Dari sudut pandang sentuhan, penglihatan, dan pendengaran: [kebenaran adalah] apa yang mengundang pada resistensi terbesar.”
Jadi, kriterium yang meyakinkan orang untuk percaya akan kebenaran atau realitas suatu objek adalah terletak dalam perasaan akan kekuatan, perjuangan dan resistensi.
Moralitas adalah ungkapan kehendak untuk berkuasa

Referensi:
-          St. Sunardi, Nietzsche, Yogyakarta: LkiS.

No comments:

Post a Comment