Apa itu kehendak berkuasa?
Dalam bukunya Beyond Good
and Evil, Nietzsche menyebutkan bahwa hakikat dunia adalah kehendak berkuasa.
Dalam The Genealogy of Morals dikatakan bahwa hakikat hidup adalah kehendak
untuk berkuasa. Begitu pun, dalam The Will to Power ia menyebutkan bahwa
hakikat tedalam dari ada (being) adalah kehendak untuk berkuasa.
Singkatnya, kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari dunia, hidup dan ada.
Kehendak untuk berkuasa adalah hakikat dari segalanya.
Dari tiga kutipan buku
Nietzsche yang berbeda itu, kita belum mendapatkan jawaban tentang ke-apa-an atau whatness dari kehendak untuk berkuasa. Sebab dengan bertanya
“apa itu...?” kita mengharapkan
pengetahuan tentang hakikat dari yang kita tanyakan. Sedang suatu hakikat yang
sifatnya tetap, selalu sama dan tidak berubah.
Nietzsche menolak pertanyaan
seperti ini. Pertanyaan seperti ini adalah pertanyaan kaum metafisisi. Mereka
seolah-olah dapat membaca dunia seperti apa adanya. Padahal, menurut Nietzsche,
setiap kegiatan bertanya secara filosofis adalah kegiatan penafsiran terhadap
dunia (word hermeneutics). Dan yang kita peroleh
dari kegiatan semacam ini adalah makna dan arti dari apa yang kita tanyakan. Di
balik makna dan arti yang kita peroleh kebenarannya, menurut nietzsche, tak ada
yang berarti dan bermakna.
Kehendak dalam kehendak
untuk berkuasa dapat dirumuskan sebagai kekuatan yang memerintahkan (dirinya
sendiri) tanpa mengandaikan pasivitas atau stabilitas. Kalau kehendak berarti
kekuatan yang memerintahkan, bukankah harus ada pihak yang bersifat pasif dalam
mentaati perintah itu? Mentaati menurut Nietzsche, juga dibutuhkan kekuatan
memerintah diri. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kehendak dalam kehendak berkuasa selalu bersifat memerintah dan mentaati tanpa
mengandaikan pasivitas apapun.
Gagasan kehendak berkuasa ini
sebenarnya dipengaruhi oleh gagasan Schopenhauer. Mula-mula Schopenhauer
menilai bahwa kehendak adalah sebuah sikap yang harus dihindari. Hal ini
disebakan karena kehidupan itu tragis, berbahaya, mengerikan, dan ini semua
dikedalikan oleh kehendak. Oleh karena itu jika hidup ingin lepas dari
penderitaan dan nafsu-nafsu maka manusia harus menolak kehendak. Apa yang
menjadi gagasan Schopenhauer seluruhnya bersifat metafisis, tetapi Nietzsche
menyangkal hal itu.
Dunia adalah kehendak untuk
berkuasa
Nietzsche mewarisi gagasan
tentang kehendak untuk berkuasa dari pemikiran Schopenhauer. Berbeda dengan
Schopenhauer, Nietzsche memakai gagasan tentang kehendak untuk berkuasa bukan
sebagai prinsip metafisika melainkan hanya sebagai prinsip untuk menjelaskan
atau menafsirkan dunia, karena dia hanya mengakui adanya satu dunia, yaitu
dunia fenomena.
Bagi nietzsche dunia
fenomenal yang berubah-ubah ini adalah satu-satunya dunia. Segala sesuatu yang
terjadi adalah gejala atau penampakan atau topeng saja. Fenomena itu sendiri
menurut Nietzsche, adalah kenyataan yang sejati.
Hidup adalah kehendak untuk
berkuasa
Nietzsche mendefinisikan
hidup sebagai “sejumlah kekuatan yang disatukan oleh suatu proses-pemeliharaan”.
Yang di maksud dengan proses pemeliharaan adalah kehendak untuk mengoperasikan
kekuatan-kekuatan. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan kehendak untuk
berkuasa dari seluruh kekuatan yang termasuk dalam proses itu.
Berdasarkan pemahan hidup
ini, Nietzsche mengakui bahwa pada prinsipnya manusia dan hewan adalah sama.
Keduanya merupakan sekumpulan kekuatan (kraf) yang disatukan oleh suatu
proses-pemeliharaan. Yang membedakan di antara keduanya adalah bahwa manusia
mempunyai potensi untuk mengatasi diri dan mempunyai tujuan yang hanya dapat
dicapai oleh manusia itu sendiri. Kedu unsur ini tidak ada dalam binatang.
Kehendak untuk berkuasa adalah hidup itu sendiri,
dan bukan merupakan sesuatu yang dimiliki (possesion). kehendak untuk berkuasa tidak keluar dari ego, melainkan ego keluar dari kehendak untuk berkuasa. Namun ego
ini merupakan suatu menjadi,
dan bukan merupakan suatu yang tetap.
Tujuan hidup adalah
menyadari kenyataan bahwa hakikat hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Dengan kata lain, tujuan hidup adalah
berkata “Ya” bahwa hidup adalah kehendak untuk berkuasa. Dan di sanalah orang merasa bahagia.
Sebab menurut Nietzsche kebahagiaan adalah “perasaan akan bertambahnya
kekuasaan”. Tujuan hidup itu “bukan kepuasan, melainkan untuk menjadi lebih
berkuasa; sama sekali bukan kedamaian, melinkan perang”. Lebih lanjut Nietzsche
menulis:
“hiduplah dalam perang melawan sesamamu dan
dirimu sendiri!”
Kehendak untuk berkuasa dalam pengetahuan
Bagi Nietzsche tujuan
pengetahuan bukanlah untuk mengetahui kebenaran mutlak, melainkan untuk
menguasai kenyataan. Nietzsche tidak mengakui adanya kebenaran mutlak. Bagi
Nietzsche kebenaran adalah kekeliruan yang tidak terbantah dan tidak boleh
tidak harus diterima oleh manusia guna meningkatkan kehendaknya untuk berkuasa.
Apa yang telah dicapai oleh para pemikir dalam sepanjang sejarah tidak lebih
daripada kekeliruan-kekeliruan. Namun, kekeliruan ini diterima sebagai
kebenaran, karena telah terbukti berguna dan membantu untuk mempertahankan
hidup dan menguasai kenyataan.
Menurut Nietzsche, kriteria
kebenaran adalah semakin tingginya kesadaran orang akan adanya kekuatan.
Tingginya kekuatan ini dapat dilihat dari sudut perasaan, pikiran, indera:
“Dari sudut pandang perasaan: [kebenaran adalah] apa yang
menggugah perasaan secara kuat (“ego”).
Dari sudut pandang pikiran: [kebenaran adalah] apa yang
memberikan kepada pikiran perasaan yang paling kuat akan adanya kekuatan.
Dari sudut pandang sentuhan, penglihatan, dan
pendengaran: [kebenaran adalah] apa yang mengundang pada resistensi terbesar.”
Jadi, kriterium yang
meyakinkan orang untuk percaya akan kebenaran atau realitas suatu objek adalah
terletak dalam perasaan akan kekuatan, perjuangan dan resistensi.
Moralitas adalah ungkapan
kehendak untuk berkuasa
Referensi:
-
St. Sunardi, Nietzsche, Yogyakarta: LkiS.
No comments:
Post a Comment