Wednesday 29 October 2014

Benarkah Nabi Muhammad Buta Huruf (Ummi)?

"Benarkah Rasul Bodoh?"

oleh: M.e. Widjaya


Benarkah Nabi Muhammad Buta Huruf (Ummi)?
Oleh: Estanu Wijaya 

I.                   PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kita sebagai mahasiswa di perguruan tinggi Islam tentu sudah tidak asing dengan satu kata ummi dan definisinya. Banyak definisi atau tafsiran yang ditawarkan oleh para mufassir (ahli tafsir) untuk mengartikan satu kata tersebut. Salah satunya adalah definisi yang menyatakan bahwa, ummi adalah orang yang tidak bisa membaca dan menulis (buta huruf)[1]. Namun, definisi ini dirasa tidak logis, jika dinisbatkan pada objek yang mustahil mempunyai sifat sebagaimana dalam definisi tersebut, yaitu seorang Rasul sebagai manusia pilihan Tuhan. Karena sebagaimana kita ketahui Rasul memiliki empat sifat wajib yang diantaranya adalah fathonah (pintar, jenius atau cerdas) dan mustahil bagi Rasul memiliki sifat baladah (bodoh). Sedangkan, menurut logika kita, tidak bisa membaca dan menulis adalah sebagian dari kebodohan.
B.     Rumusan Masalah
a.       Apa pengertian ummi (buta huruf)?
b.      Apa makna ke-ummi-an Nabi Saw.?
C.     Tujuan atau Manfaat Penulisan
Bisa berbagi pendapat tentang makna ummi dengan para pembaca. Sehingga pembaca dapat lebih memahami arti ummi. Karena sering kali dijumpai dalam kajian ilmu kalam, mempermasalahkan benarkah Rasul yang atas kemuliaannya, sampai namanya disandingkan dengan nama Tuhan, tidak bisa membaca dan menulis? Sedangkan pemahaman kita, jika seseorang buta huruf (tidak bisa baca tulis), berarti orang itu bodoh. Sehingga kadang mereka bingung dengan makna ke-ummi-an Rasul saw. padahal dalam Al-Qur’an maupun hadits, Rasul memang dinyatakan ummi. Hal inilah yang melatarbelakangi pentingnya pembahasan ini.
II.                PEMBAHASAN
a.      Definisi Ummi
Secara bahasa kata(أمّي)  ummi terambil dari kata (أمّ) umm/ibu dalam arti seorang yang tidak pandai membaca dan menulis, yang mana keadaan ini sama dengan keadaannya ketika baru dilahirkan oleh ibunya atau sama dengan keadaan ibunya yang tidak pandai membaca dan menulis. Dalam pendapat lain kata ummi dari kata (أمة) ummah yang menunjuk kepada keadaan masyarakat ketika itu. Sebagai mana dilukiskan oleh sabda beliau Rasul Saw.: “Sesungguhnya kita adalah umat yang Ummi, tidak bisa membaca dan berhitung.[2]
Di dalam Al-Qur’an kata ummi disebutkan dalam enam ayat yang tersebar dalam surat-surat yang berbeda, yaitu surat al-A’rof ayat 157 dan 158, Aali ‘Imran ayat 20 dan 75, al-Jumu’ah ayat 2, dan al-Baqoroh ayat 78. Dari enam ayat tersebut, hanya dua ayat yang membahas ummi Rasul saw. yaitu ayat yang disebutkan pertama dan kedua[3]. Untuk ayat ketiga, keempat dan kelima adalah orang Arab. Sedangkan yang dikehendaki ayat keenam adalah golongan dari Yahudi yang tidak bisa baca tulis[4].
b.      Makna ke-ummi-an`Nabi Muhammad saw.
Selama ini kita difahamkan bahwa ummi itu berarti orang yang tidak tahu membaca dan menulis. Orang Arab pada masanya disebut ummi karena kebanyakan dari mereka tidak bisa baca dan tulis. Budaya tulis-menulis belum berkembang pada zaman itu, bahkan kemampuan menulis dan membaca bisa dianggap aib yang menunjukkan lemahnya daya hafal orang tersebut. Sebab saat itu daya hafal bangsa Arab sangat kuat; seperti kemampuan mereka dalam menghapal hingga ratusan syair dan silsilah nasab mereka di kepala mereka, bukan dalam tulisan. 
Sebagaimana Prof. Quraish Shihab dalam bukunya  Wawasan Al-Qur’an mengatakan, “Harus disadari bahwa masyarakat beliau ketika itu menganggap kemampuan menulis sebagai bukti kelemahan seseorang. Pada masa itu sarana tulis-menulis amat langka, sehingga masyarakat amat mengandalkan hafalan. Seseorang yang menulis dianggap tidak memiliki kemampuan menghafal, dan ini merupakan kekurangan. Penyair Zurrumah pernah ditemukan sedang menulis, dan ketika ia sadar ada orang yang melihatnya, ia bermohon, jangan beri tahu siapa pun, karena ini (kemampuan menulis) bagi kami adalah aib. Memang, nilai-nilai dalam masyarakat berubah, sehingga apa yang dianggap baik pada hari ini, boleh jadi sebelumnya dinilai buruk. Pada masa kini kemampuan menghafal tidak sepenting masa lalu, karena sarana tulis-menulis dengan mudah diperoleh.”
Nabi Saw. juga begitu, dia tidak membaca dan tidak menulis. Keadaan Beliau yang  tidak dapat membaca dan menulis merupakan di antara penjelasan yang menunjukkan bahwa Beliau benar-benar utusan Allah Swt. yang datang dengan membawa Al-Qur’an dari sisi-Nya, oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman: “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).” (QS. Al Ankabut: 48) yaitu seandainya Beliau bisa membaca dan menulis maka mungkin saja dia datang membawa Al-Qur’an yang berasal dari tulisan dan hasil bacaannya sendiri, tetapi Beliau Saw. tidak bisa membaca dan tidak pula menulis[5]. Oleh karenanya, ke-ummi-an Nabi Saw. bukanlah cela dan aib, justru menunjukkan keutamaan Beliau sebagai utusan dan pembawa wahyu Allah Swt. dan menegaskan bahwa Al-Qur’an benar-benar wahyu Allah Swt. tanpa campur tangan manusia.
III.             PENUTUP
Demikian penjelasan singkat dari penulis, semoga dari penjelasan ini, kita menjadi paham bahwa pada hakikatnya Nabi Muhammad Saw. memang ummi atau tidak bisa membaca dan menulis. Dan hal ini ternyata tidak bertentangan dengan logika kita yang menyatakan tidak bisa menulis dan membaca adalah bodoh bila kita menggunakan perspektif sosio-history pada masa itu. nilai-nilai dalam masyarakat berubah, sehingga apa yang dianggap baik pada hari ini, boleh jadi sebelumnya dinilai buruk.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Farmawi , Abdul Hayyi. 1977. Al-Bidayatu fii Tafsiiri al-Maudhuu’iy. Mesir: al-Hadhorotu                      al- Arobiyyah.

Al-Qurthubi. 2003. Al-Jaami’u li Ahkami Al-Qur’an. Riyadh: Daaru ‘Aalamu al-Kutub.

Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta:       Lentera            Hati.


[1] Abdul Hayyi Al-Farmawi, Al-Bidayatu fii Tafsiiri al-Maudhuu’iy (Mesir: al-Hadhorotu al-Arobiyyah, 1977), hlm. 96.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2002), Vol. 4 Hlm. 324-325.
[3] Al-Qurthubi, Al-Jaami’u li Ahkami Al-Qur’an (Riyadh: Daaru ‘Aalamu al-Kutub, 2003),  Jilid. 7 hal. 296.
[4] Id. at vol. 2, hlm. 5.
[5] Quraish Shihab, Op. Cit. 325.

2 comments: